Selasa, 09 November 2010

FENOMENA TERORISME DI INDONESIA

Antara Gerakan Teologi-Politik dan Religious Extremist

Oleh: Ibi Syatibi


A. Prakata
SALAH satu kajian yang amat menarik memasuki abad ke-21 adalah bagaimana menjelaskan aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia. Tuduhan terorisme yang dialamatkan kepada Islam, bagi sebagian kalangan sesungguhnya muncul sebagai akibat dari perilaku sebagian umat Islam. Di samping itu, kesalahpamahan umat Islam sendiri yang cenderung literalistik dalam memahami teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan al-Hadis) telah menambah faktor menguatnya isu terorisme.[1] Hal ini diperparah lagi dengan sikap dan ekspresi keagamaan “sebagian” umat Islam yang cenderung eksklusif dan seringkali menjustifikasi pemahaman keislaman-nyalah yang dianggap paling benar. Anasir-anasir itulah yang telah menebar, tidak hanya pertarungan antar ideologi keagamaan tetapi juga membuka secara lebar wacana terorisme di belahan dunia. Terutama dalam konteks global, pasca tumbangnya WTC di USA pada tahun 2001, terorisme yang mendapat dukungan dari gerakan radikalisme dan fundamentalisme agama kerap menjadi obyek dari tuduhan pelaku pengeboman. Tentu saja fenomena tersebut di satu sisi semakin memperkuat kecurigaan Barat terhadap dunia Islam,[2] di sisi lain dapat dibantah banyak kalangan terutama internal Islam sendiri yang mengatakan bahwa tidak semua aksi teroris itu mewakili umat Islam.[3]

Aksi teror di Indonesia sepanjang satu dasawarsa ini dapat telah terjadi pda tragedi JW Marriot bombing, Bali bombing I, Kuningan bombing, Bali bombing II, dan terakhir di hotel Ritz-Carlton Jakarta. Aksi teror ini tidak ubahnya merupakan opera dan orkestra vulgar dari sebuah proyek dehumanisasi global, total, syumul dan kaffah. Tidak jarang para pelaku teror tersebut melakukan semua itu untuk memenuhi tuntutan teologi yang mereka pahami. Islam seakan mengajarkan kepada para pengikutnya yang setia dan fanatik untuk melakukan tindakan-tindakan teror itu sebagai wujud dari keimanan. Doktrin teologi mereka bahkan mengklaim kebenaran bahwa Tuhan telah menyuruhnya untuk melakukan apa saja yang mungkin demi membela agama-Nya.[4] Hal inilah yang membawa kita untuk terus berujar, jika mereka melakukan itu semua dengan atas nama membela Tuhan dan mengaplikasikan pesan Sang Rasul, maka hal ini merupakan penghinaan, pengkoyakan, pencabikan dan pendistorsian terhadap nilai suci teks agama.[5]

Dalam perkembangannya, kasus WTC baik episode I tahun 1993 maupun episode II tahun 2001, Pentagon dan pengeboman-pengeboman di tanah air telah membentuk sebuah opini bahwa Islam-–tepatnya umat Islam fundamentalis—telah menjadi “terdakwa” atas berbagai peristiwa terorisme tersebut. Tuduhan semacam ini sebenarnya bukan hal yang baru bagi umat Islam. Sejak masa-masa awal ketika hegemoni peradaban Barat semakin menggurita di berbagai belahan dunia Islam, muncul kelompok-kelompok umat Islam yang mencoba melakukan perlawanan secara ideologis terhadap Barat dan tidak jarang dengan cara-cara yang dapat memancing kekerasan. Begitu juga dengan konsep jihad, seringkali dihubungkan dan bahkan dijadikan legitimasi berbagai kasus yang menjurus pada terorisme.

Makalah ini berupaya menelusuri diapora gerakan terorisme yang dipengaruhi gerakan teologi-politik dan religious extremist. Meski tidak mudah menguraikan penjelasan mengenai tema ini, penulis berupaya memotret secara kasuistik di Indonesia dan menghubungkannya dengan gerakan global terorism yang diperankan Al-Jama’ah Al-Islamiyah dan Al-Qaedah, dua organisasi ektrim yang mengatasnamakan Islam dan sering bertanggung jawab dalam berbagai aksi teror di berbagai belahan dunia, terutama Barat dan Timur Tengah. Hal ini mengingat bahwa gejala Islam radikal di Indonesia bukanlah gejala baru, sebab gerakan ini mempunyai ikatan historis muslim di negeri ini dan mendapat pengaruh dari gerakan fundamentalisme Islam dan terorisme global. Karenanya, persoalan terorisme dengan fundamentalisme Islam dan bahkan Islam radikal tidak dapat dipisahkan.


B. Fundamentalisme Islam dan Terorisme: Antara Image dan Realitas
DALAM satu dasawarsa ini, istilah fundamentalisme dan terorisme sangat lekat dengan dunia Islam. Fenomena ini di satu sisi memberikan dampak negatif dengan posisi yang tersudutkan dan mengganggu dan Islam dan pemeluknya, di sisi lain istilah ini juga berlaku bagi bentuk-bentuk kejahatan yang pada dasarnya merugikan terhadap kelangsungan sejarah peradaban manusia secara universal. Dalam konteks ini, pendekatan dan metodologi dalam studi dan pemahaman Islam menjadi penyebab utama munculnya ber-bagai aksi teror. Fenomena ini memang sering terjadi dalam lintasan sejarah umat Islam. Hanya karena perbedaan pendapat, terkadang harus “diselesaikan” dengan aksi-aksi teror. Konsep yang muncul dalam studi Islam sering memicu perdebatan yang pada akhirnya menjadi semacam bola salju untuk dijadikan bahan konflik. Karena itu, di Indonesia hal seperti ini sering memicu konflik di tengah-tengah umat Islam. Isu-isu klasik seperti; jihad, qisash, syari’at, khilafah, dan daulah, sering menjadi penyebab munculnya konflik di tengah-tengah umat, apalagi, jika konsep-konsep tersebut dijadikan sebagai agenda perjuangan politik. Munculnya tuduhan teroris terhadap sebagian umat Islam seringkali dikaitkan dengan fenomena maraknya gerakan radikalisme di sebagian umat Islam. Padahal, kemunculan fundamentalisme Islam tidak saja dipengaruhi faktor internal umat Islam--dalam hal ini Barat--, tetapi juga muncul dipengaruhi oleh geopolitik global. Banyak kalangan yang mensinyalir bahwa apa yang dilakukan kalangan fundamentalisme Islam kontemporer sesungguhnya hanya meneruskan dan menindaklanjuti cita-cita gerakan yang digagaskan oleh para tokoh mereka terdahulu. Sementara itu, bagi para pengamat yang menaruh faktor eksternal dalam fenomena fundamentalisme Islam biasanya menisbatkan alasannya pada pendapat yang mengatakan bahwa kemunculannya ditengarai sebagai bentuk counter-part terhadap pemikiran liberal-modern dan Dunia Barat modern.[6]

Kajian historis yang pernah dilakukan Murba Abu,[7] menulis sepuluh faktor yang mempengaruhi tumbuhnya radikalisme di kalanga umat Islam di Indonesia. Kesepuluh faktor tersebut diajukan dengan menyebut beberapa aktor yang terlibat. Namun karena adanya kadekatan faktor yang terkait, penulis meringkasnya menjadi lima faktor. Pertama, akibat kekecewaan politik pada persoalan “Piagam Jakarta” yang tidak berhasil dijadikan sebagai dasar negara Indonesia. Kartosuwiryo, tokoh Masyumi garis keras menumpahkan kekecewaannya dengan memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) pada bulan Agustus 1948. Gejala ini semakin melebar di Aceh yang dipimpin Daud Beureuh dan Kahar Muzakkar di Sulawesi. Gerakan radikalisme ini dapat dirunut dengan momentum pembentukan DI/TII yang menjadi cikal bakal perjuangan untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia.[8] Kedua, akibat perilaku dan tekanan politik Orde Baru. Partisipasi politik umat Islam pada era ini dianggap tidak menguntungkan pemerintah dan sebagai akibatnya aparatus negara menutup kran-kran politik umat Islam.[9] Kelompok ini ditekan oleh pemerintah RI dikarenakan memiliki agenda mengubah asas Pancasila dan mendirikan Negara Islam. Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir yang pernah hengkang dari tanah air dan hidup di negeri Jiran ditengarai sebagai korban politik Orde Baru. Meski sulit dibuktikan, tak heran jika keduanya melakukan konsolidasi sumber daya dan memobilisasi melalui jaringannya untuk mendapat kesempatan latihan militer di Peshawar.

Ketiga, kelompok yang terinspirasi dari Gerakan Revolusi Iran pada tahun 1979 dan gerakan Islam Timur Tengah. Selain inspirasi revolusi yang dipelopori Khomeini di Iran, kelompok ini juga mendapat inspirasi gerakannya terutama model al-ikhwan al-Muslimun yang dibentuk Hasan al-Banna di Mesir. Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, kelompok ini melakukan metamorfosis yang variatif, dari partai politik, organisasi sosial keagamaan, hingga gerakan dakwah kampus. Gelora yang dihembuskan kelompok ini berbasis pada keterpurukan umat Islam lebih disebabkan sistem politik Barat yang sekuler. Sebagai counter-nya, mereka mengembangkan kebangkitan Islam yang berbasis pada formalisme Islam dan menyatunya gerakan Islam dan politik.[10] Menurut Murba Abu, kelompok ini setidaknya menyebar dalam tiga segmen sebagai implikasi dari kohesivitas yang berbeda, yaitu melakukan aksi dalam organisasi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), melalui partai politik, PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Di awal pembentukannya, partai ini menghembuskan isu tentang Islam formal, syariat Islam, hingga khilafah, namun belakangan isu itu tenggelam dan mengklaim membuka diri sebagai partai “inklusif”. Dan ketiga melalui organisasi Islam, seperti MMI, Laskar Jihad, FPI, dan lainnya. Sejarah Laskar Jihad misalnya, pernah ‘melibatkan diri’ atau dilibatkan ‘aparat’ dalam medan konflik di Maluku dan Ambon, sebagai respon atas isu sentimen agama, yaitu kristenisasi.[11]

Keempat, kelompok dari pesantren. Kelompok ini dimunculkan sebagai akibat dari munculnya para pelaku bombing di berbagai tempat di Indonesia merupakan alumni dari beberapa pesantren yang berhaluan kanan. Tidak heran jika Amerika Serikat dan sekutunya menuduh pesantren sebagai sarang teroris. Anggapan global ini dalam kenyataannya sangat sulit diterima, mengingat sejarah pesantren di Indonesia memiliki akar yang kuat dengan tradisionalisme Islam dan dakwah akulturatif. Namun demikian, setidaknya ada tiga pondok pesantren yang sering disebut dalam diskursus Islam radikal di Indonesia, yaitu pesantren Ngruki di Surakarta pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, al-Zaitun di Indramayu pimpinan Abu Toto, dan pesantren Al-Islam di Lamongan.[12]

Kelima, sebagai bagian dari organisasi transnasional Islam. Organisasi transnasional Islam ini mengalami diaspora yang subur, jauh sebelum isu terorisme di Indonesia muncul. Beberapa organisasi transnasional Islam ini banyak berkiprah dalam bidang dakwah, seperti Ahmadiyah di India, Darul Arqom di Malaysia, Hizbu al-Da’watil Islamiyah di Iraq, Jama’at Islami di India dan Pakistan, Jama’at al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir, Jam’iyat al-Da’wah al-Islamiyya di Libya, al-Majlisul A’la Shu’un al-Islamiyyah di Mesir, dan Rabitatul ‘Alami Islami di Saudi Arabia.[13] Sumber daya yang dimiliki organisasi-organisasi ini terbilan sangat kuat, baik dalam bidang jaringan maupun financial supporting dalam pentas internasional. Chris Wilson memiliki dugaan kuat bahwa radikalisme dan terorisme di Indonesia memiliki hubungan yang sangat terkait dengan jaringan terorisme internasional.[14] Selain organisasi-organisasi transnasional Islam tersebut, dua organisasi lainnya, yaitu al-Qaedah dan al-Jama’ah al-Islamiyyah sering mengisi isu radikalisme dan terorisme yang bersifat transnasional. Bahkan, secara organisatoris memiliki pos-pos penting yang dapat membantu perjuangannya dan buku pedoman yang sebagai kitab perjuangannya.


C. Al-Qaedah: Aliansi Politik dan Agama
AL-QAEDAH dan Al-Jama'ah Al-Islamiyah merupakan dua nama organisasi yang kerap dikaitkan dengan jaringan terorisme transnasional. Terlebih merujuk pada laporan ICG (International Crisis Group) pimpinan Sidney Jones, kedua organisasi ini tidak hanya disebut-sebut sebagai pihak yang bertanggung jawab terjadinya berbagai tindak teror di berbagai belahan dunia, tetapi juga memiliki jaringan yang sangat luas, tak terkecuali Indonesia. Negara yang memiliki latar historis dengan berbagai peristiwa pemberontakan terhadap pemerintah yang mengatasnamakan ‘Negara Islam” merupukan lahan yang strategis bagi persemaian Islam garis keras, terlebih negara ini memiliki penduduk yang mayoritas beragaman Islam. Tak heran jika momentum kejatuhan Orde Baru dianggap sebagai peluang politik bagi diaspora gerakan Islam fundamentalis dan radikal tumbuh. Dengan mengatasnamakan sistem demokrasi, organisasi radikal dengan berbagai jaringan yang dimiliki seakan menemukan rumput yang bergoyang dan dapat diperankan guna mengambil simpati umat Islam Indonesia.

Meskipun demikian, dalam laporan yang dimiliki Sidney Jones sendiri ia mengalami kesulitan untuk meyakinkan adanya keterhubungan dengan Al-Qaedah dan Al-Jama'ah Al-Islamiyah. Ia meragukan adanya hubungan yang intens antara Abu Bakar Ba’asyir, seorang pimpinan pondok pesantren Ngruki, dengan Hambali yang menurut Sidney merupakan tokoh yang disegani dalam lingkaran Al-Qaedah di Asia Tenggara.[15] Tak pelak, tuduhan AS dan negara Barat lainnya terhadap pesantren di Indonesia sebagai sarang teroris tidak dibenarkan. Meski demikian, muncul pertanyaan yang vulgar terkait dengan banyaknya aksi teror di Indonesia, terutama pasca keruntuhan Orde Baru. Dari jaringan teroris manakah yang bermain? Dan bagaimana pola diasporanya sehingga distribusi aktor-aktor teroris tersebut bisa secara bebas menyusun agenda bombingnya? Dua pertanyaan inilah yang secara mendasar diajukan, karena segi motif, strategi dan jenis bom yang digunakan memiliki kemiripan dengan tindakan bombing di Afghanistan. Peristiwa bom Bali misalnya telah menyebabkan munculnya konspirasi tentang pelaku bom, di mana pemerintah Indonesia segera menangkap Abu Bakar Ba’asyir setelah tidak lama bombing tersebut terjadi.[16]

Setidaknya terdapat tiga laporan yang dapat memberikan petunjuk adanya hubungan antara tokoh-tokoh Al-Qaedah dengan Indonesia. Pertama, laporan yang diturunkan Sidney Jones sendiri yang meski dalam waktu belakangan pengakuannya direvisi. Laporan tersebut tertera dalam ICG Indonesia Breafing: Al-Qaedah in Southeast Asia, 2002. Dalam laporannya, Sidney mengatakan bahwa jaringan terorisme di Indonesia telah dimulai sejak 1970-an, di mana kondisi politik Indonesia di bawah rezim Orde Baru menggunakan politik represif terhadap politik umat Islam. Pada era inilah, nama Abu Bakar Ba’asyir yang dikenal vokal dalam mengkritik Orde Baru ditangkap pemerintah pada tahun 1978. Ba’asyir menganggap bahwa rezim Orde Baru tidak adil dan melanggar syariat Islam, terutama pemaksaan asas tunggal Pancasila sebagai asas ormas dan orpol.[17]

Peristiwa penangkapan dirinya dalam kenyataannya memberikan inspirasi kepada banyak koleganya, Abdullah Sungkar, Abu Jibril dan lainnya. Tidak lama setelah dibebaskan dari penjara, Ba’asyir dan para koleganya hijrah ke Malaysia. Di negeri Jiran inilah yang ditengarai Sidney melakukan kontak gerakan dan tidak mustahil melakukan pengiriman santri-santrinya ke Pesawat, perbatasan Pakistan-Afghanistan untuk dilatih militer yang saat itu dunia Islam tengah genjar-genjarnya terlibat dalam pengusiran Uni Soviet yang berhaluan komunias. Dalam konteks ini, kepentingan dunia Islam dan Barat menemukan kesamaannya, yaitu penghentian invasi Uni Soviet di Afghanistan. Terkait dengan respon strategis jaringan Ba’asyir inilah, Sidney memperoleh kesimpulan sementaranya bahwa pintu masuk untuk membedah jaringan Al-Qaedah di Indonesia dalam kenyataannya melalui jalur Ngruki dan Majelis Mujahidin.[18] Pengakuan Nasir bin Abbas--seorang yang berkebangsaan Malaysia--ketika diwawancarai SCTV dalam hal ini menarik disimak, ia mengaku bahwa keberadaannya di Pakistan untuk mengikuti latihan militer diberangkatkan atas sponsor dari Abdullah Sungkar yang saat itu tengah di Malaysia. Koneksi inilah yang memungkinkan melahirkan tafsiran yang sulit terbantahkan jika tidak adanya hubungan yang erat jaringan Abdullah Sungkar dan Ba’asyir dengan jaringan Al-Qaedah, meskipun sulit dibuktikan.

Kedua, analisis yang dikemukakan Zachary Abuza dalam yang dibuat dalam NBR Analysis yang menggunakan pendekatan funding.[19] Dipilihnya pendekatan ini menurutnya sangat memungkinkan selain adanya aliran dana, maka dapat dimungkinkan adanya hubungan yang intens antar kedua organisasi yang berkepentingan tersebut. Setidaknya terdapat dua jaringan yang dimanfaatkan Al-Qaedah dalam mendukung gerakan dan operasi bombing di Asia Tenggara, dengan modus yang berbeda. Kasus di Filipina, Al-Qaedah mendukung operasi Abu Sayyaf dan MILF di Filipina melalui lembaga finansialnya yang bernama IRIC (International Relations and Information Center) yang dibangun oleh Jamal Khalifah. Berbeda dengan kasus Filipina, jaringan Al-Qaedah memanfaatkan jaringan perkawinan sebagai jalur transformasi finansial untuk mendukung gerakannya.

Sebagai seorang yang expert dalam penelitian Al-Qaedah dan JI, Zachary Abuza mengatakan bahwa kepala pusat Al-Haramain Foundation adalah seorang warga negara Saudi Arabia yang dikenal dengan nama Syekh Bandar seringkali datang ke Indonesia karena mempunyai istri di Surabaya. Melalui jalur inilah, Syekh Bandar sering minta dikirimi tas berisi uang yang diserahkan oleh Ahmed Al-Moudi. Selain Syekh Bandar, Abuza menuding Rashid sebagai orang yang bertanggung jawab sebagai supplier dana dan amunisi serta bahan peledak dalam gerakan JI. Belakangan nama Rashid, menurut Abuza dapat diduga sebagai Umar Faruq, orang yang paling dicari sebagai aktor teroris di Asia Tenggara.

Ketiga, adanya kesamaan visi dan misi jaringan teroris dengan Al-Qaedah. Meski sulit diselidiki lebih dalam, setidaknya terdapat dua kata kunci yang menjadi misi Al-Qaedah, yaitu proyek dehumanisasinya dan penegakkan ‘khilafah global’. Kedua agenda ini tidak bisa lepas latar historis pendirian organisasi ini yaitu sebagai respon terhadap Barat yang sekuler, setelah kebuntuannya untuk mendapat kongsi dengan Barat oleh karena keberhasilannya memukul mundur Uni Soviet dari tanah Afghanistan. Secara kasuistik, kalahnya Uni Soviet di mata dunia Islam lebih merupakan sebagai prestasi yang luar biasa yang diraih umat Islam dalam menghapus jenis penjajahan, terlebih berhaluan komunias. Sementara itu bagi AS dan negara Barat lainnya mengungkapkan kepuasannya dalam memanfaatkan umat Islam yang tergabung dalam dua komunitas, Bait al-Anshar pimpinan Usamah bin Laden dan Maktab al-Khidmat (Service Centre) pimpinan Abdullah Azam pada tahun yang sama, 1984.

Tansiq atau aliansi kedua organisasi inilah yang menjadi kapital bagi gerakan Usamah dalam melancarkan operasi-operasinya melalui organ baru yang dinamakan Tanzhim al-Qaedah al-Jihadi, meski secara praktis yang banyak menopang kebutuhan para Arab Afghan sebagai peserta mayoritas berlatar belakang Al-Ikhwan Al-Muslimun yang juga dikoordinir Liga Arab Sedunia. Kedua organisasi bentukan Abdullah Azam dan Usamah tersebut dalam kenyataannya merupakan respon taktis bagi kebutuhan jangka pendek dari sebuah konspirasi global antara Usamah bin Laden, Pangeran Turki, Jenderal Gull untuk beraliansi menghadapi “the same enemy”.[20] Sayangnya, respon politik yang berdurasi jangka pendek ini tersebut tidak memperhitungkan dampak yang diakibatkan perselingkuhan agama dan politik di masa yang akan datang.

Pertama, organisasi-organisasi Islam yang sejatinya melakukan pemberdayaan anggotanya dan meningkatkan kualitas kehidupan mereka yang lebih baik dimanipulasi atau termanipulasi oleh kepentingan-kepentingan pihak luar. Akibatnya, organisasi-organisasi Islam yang berhaluan keras tersebut memiliki sejarah kelam, tidak saja mereduksi arti penting “Jihad” yang sesungguhnya, tetapi juga terjebak dalam permainan politik global, hanyalah dimanfaatkan sebagai rumput yang bisa digoyang oleh kekuatan besar yang bernama Barat dengan segala sumber daya yang dimilikinya. Dan kedua, AS dan pihak Barat pun tak bisa lepas dari jeratan dampak dari pecah kongsi dari konspirasi yang tidak menguntungkan semua pihak. Terutama bagi organisasi pimpinan Usamah bin Laden, Al-Qaedah, dalam kenyataannya menyerang balik pihak AS dan Barat. Langkah ini tampaknya dilakukan setelah menyadari jika organisasi dan jaringannya ini hanyalah dimanfaatkan semata dari persekutuan rahasia tiga negara, Pakistan, Inggris, dan AS. Berbagai peristiwa teror di AS sejak tahun 1998 hingga tahun 2000-an baik di WTC bombing maupun Pentagon bombing memperlihatkan ulah Al-Qaedah sebagai pihak yang bertanggung jawab.[21] Virus perselingkuhan inilah yang dimungkinkan menyebar kepada para alumni perang Afghan, tak terkecuali muslim militan Indonesia yang dikirim ke negara tersebut. Tak heran jika nama-nama pelaku teroris di Tanah air seperti Mukhlas, Amrozi, dan lainnya memiliki koneksi dan telah diberi ketrampilan militer yang memadai selama berada di Pakistan. Praktek kebencian terhadap Barat dalam kenyataannya dibawa ke Indonesia dan menyusun tindakan-tindakan yang tidak berkeprimanusiaan. Bombing-bombing dilakukan dengan tanpa ada pertanggungjawaban.

Namun demikian, dalam perkembangannya nama Al-Qaedah mengalami redup terutama setelah AS menginvasi Afghanistan pada tahun 2005. Media Barat mempublikasikan organ teroris yang berbahaya ini dengan sebutan Taliban. Organisasi ini bisa saja merupakan bentuk metamorfosis dari Al-Qaedah, organisasi yang sejak awal diperjuangkannya sebagai kepanjangan gerakan Islam. Sebagai salah satu organi terorisme kontemporer di Timur Tengah, Taliban dan para pasukannya dikejar dan kemudian dimusnahkan. Di mata Barat, melalui organisasi inilah rekrutmen anggota dan penyelenggaraan pelatihan militer dilakukan. Herannya, hingga saat ini, Barat belum menunjukkan kesuksesannya dalam menangkap Usamah bin laden dalam keadaan hidup, ‘sebuah usaha yang naif’, jika tidak dikatakan bahwa Usamah bin laden secara sengaja ditanam AS untuk kepentingan regional AS di kawasan tersebut, yakni kepentingan oil dan keamanan negara sekutunya, Israil.


D. JI dan Diaspora Religious Extremist
BANYAK kalangan sebelumnya meragukan akan eksistensi Al-Jama’ah Al-Islamiyah sebagai organisasi radikal menebar teror. Memang, dari segi namanya, organisasi ini hanyalah bersifat komunitas atau sekumpulan umat Islam. Terutama ketika Indonesia di bawah kepemimpinan Megawati, melalui Wapresnya, Hamzah Haz, mengatakan bahwa Al-Jama’ah Al-Islamiyah sebagai organisasi radikal itu tidak ada. Inilah pernyataan untuk pertama kalinya petinggi negeri ini disampaikan ke publik terkait dengan JI. Selang beberapa lama, kejadian teror bom terjadi di Bali dan tentu saja pernyataan Wapres tersebut banyak disangsikan banyak kalangan. Akhirnya, publik banyak bertanya-tanya mengenai keberadaan JI yang sesungguhnya dan bagaimana jaringan-jaringannya di Indonesia?.

Tulisan-tulisan yang dianggap cukup memberikan informasi mengenai keberadaan JI di Indonesia ini pada era tahun 2000-an awal kemudian banyak terbit, seperti laporan ICG, Zachariya Abuza, Ken Conboy,[22] Z.A. Maulani,[23] Riza Sahbudi, dan A. Maftuh. Semua tulisan tersebut menyatakan bahwa keberadaan JI tidak diragukan lagi ada di Indonesia. Sel-sel yang berserakan pasca perang Afghan melawan Uni Sovyet mendiaspora dan mempraktekkan ilmu-ilmu perang Afghan di banyak negeri yang memiliki penduduk muslim, terutama Indonesia. Indonesia dipandang sebagai lahan strategis, oleh karena mayoritas penduduknya umat Islam. Untuk menegakkan syariat Islam melalui sistem khilafah menurut mereka merupakan solusi atas kelangsungan krisis sosial-politik yang tak berkesudahan ketika itu. Meski begitu, dalam pandangan Z.A Maulani figur al-Farouk yang disebut-sebut sebagai jembatan Al-Qaedah dan JI ini perlu dipertanyakan. Bahkan, dia menuding jangan-jangan tokoh Al-Farouk ini seperti yang misterius dan dipublikan media Barat. Tokoh ini menurutnya bisa saja kemudian hilang dan dihilangkan. Tudingan ini dibantah oleh Ken Conboy, dengan mengatakan bahwa pandangan ZA Maulani yang terkesan konservatif ini bisa dianggap sebagai pembelaan atas stabilitas politik Indonesia, dan terutamanya psikologi umat Islamnya. Conboy di sini tampaknya ingin menegaskan bahwa JI betul-betul memiliki jaringan yang rahasia, tersebar di banyak tempat di Indonesia, tokoh-tokohnya merupakan alumni Afghan dan sebagiannya lagi adalah muslim Indonesia kembali Indonesia setelah beberapa lama mengungsi di Malaysia untuk menhindari politik represif Orde Baru.

Diaspora ideologi Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI) memang sudah menjadi sebuah realitas yang sulit terbantahkan. Berbagai ekspresi dan perilaku sebagian para aktivis JI tidak hanya menampilkan watak ideologisnya yang menghalalkan kekerasan tetapi juga melancarkan aksi-aksinya dalam upaya mewujudkan cita-cita sosial-politik Al-Khilafah Al-Islamiyah atau disebut juga “khilafah global”. Mereka tampak sekali menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi alternatif untuk mengubah tatanan peradaban manusia yang menurutnya telah gagal sebagai akibat intervensi Barat dan segala produknya, seperti demokrasi, HAM, dan Civil Society. Tak pelak, berbagai atribut yang dialamatkan terhadap Al-Jama’ah Al-Islamiyah sebagai sebuah organisasi clandestin yang berhaluan radikal semakin meneguhkan keberadaannya yang berbahaya terhadap Islam, komunitas Islam dan umat manusia lainnya. Hal ini diperkuat dengan beberapa catatan tentang gerakan JI ini yang bersifat internasional dan siap beraliansi dengan gerakan-gerakan radikal yang memiliki agenda yang sama. Di Indonesia, JI didirikan untuk pertama kalinya pada tahun 1970-an oleh Abdullah Sungkar (Alm) sebagai wadah perjuangan umat Islam. Namun, atas berbagai pertimbangan, JI awal ini menginduk pada Jama’ah Negara Islam Indonesia (NII) yang saat itu oleh pelaksananya, Ajengan Masduki. Langkah aliansi ini dipandang strategis, mengingat situasi dan kondisi perpolitikan di tanah air mengalami represif terhadap politik umat Islam.[24] Selain kran partisipasinya ditutup, juga melarang berbagai kegiatan-kegiatan keislaman yang bernada mengkritik pemerintah. Jika pun diperbolehkan harus melalui tahap perizinan yang sangat panjang melewati berbagai instansi.

Masuknya Abdullah Sungkar di dalam tubuh NII dalam kenyataannya melahirkan setidaknya dua faksi yang bersebrangan, keras dan agak moderat, sebagai akibat peran dan posisi Sungkar yang menguntungkan. Abdullah Sungkar dan koleganya, Abdullah Ba’asyir mengambil garis radikal dalam tubuh NII ini dengan melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Dengan dalih meneruskan niat luhur perjuangan Kartosuwiryo, faksi ini mendapat simpati bagi sebagian besar anggota NII. Langkah politik faksi ini setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu pertama, gelora jihad yang dipahami dan diperjuangkan menemukan letak strategisnya, yaitu melawan pemerintahan yang menurutnya dianggap telah melakukan kezaliman, dengan menekan umat Islam. Kedua, dalam pandangan Abdullah Sungkar, syariat Islam tak mungkin dapat ditegakkan tanpa dukungan kekuatan (kekuasaan). Pemahaman keagamaan inilah yang menandakan bahwa tak ada batas yang jelas antara agama dan politik. Bahkan, politik dalam pengertian kekuasaan dipahami sebagai \bagian yang tak terpisahkan dengan gerakan Islam. dalam konteks Indonesia, meski sangat beresiko, teologi-politik Abdullah Sungkar inilah yang telah menghipnotis ribuan pengikutnya. Tak heran, jika pandangan keagamaan seperti inilah yang menjadi basis ideologis faksi yang sebagian besar mendapat simpati anggota NII. Dan ketiga, untuk memperteguh perjuangan jihad di medan kezaliman ini, faksi ini memandang penting untuk mengirim tidak kurang dari 5000 anggota jama’ahnya yang telah dilatih kemiliteran, baik ke Afghanistan, Moro, maupun daerah konflik-konflik lainnya. Nama-nama seperti Mukhlas, Ali Imron, Imam Samudra dan lainnya merupakan pengikut setia Abdullah Sungkar dan telah memiliki pengalaman di kancah perang di Afghanistan, dibekali ilmu-ilmu teror dan ketrampilan merakit bom.[25]

Berbeda dengan para analis di atas, sidney Jones menggunakan teori Ngruki dan Afghan untuk meneguhkan pernyataannya mengenai keberadaan JI di Indonesia. Jaringan pesantren Ngruki menurutnya telah memberikan saham dan jalan bagi mulusnya kinerja islam radikal pimpinan Abdullah Sungkar dan Ba’asyir. Meski sulit dibuktikan, Sidney memberikan pesan bahwa tokoh-tokoh sebagai pelaku teror tidak bisa dipisahkan dengan lembaga pesantren ini. Teori Afghan menurutnya lagi layak diajukan, mengingat para alumni Afghan yang pulang ke Indonesia tidak malah beristirahat dan membaur dengan masyarakat di daerahnya. Malah, para alumni ini terus melancarkan agenda-agenda yang diamanatkan perang Afghan, melawan komunisme dan dominasi Barat yang sekuler. Demikian halnya teori Ngruki, tokoh-tokoh alumni Afghan adalah juga para pengikut Abdullah Sungkar yang sejak tahun 1980-an telah dikirim ke Afghan oleh faksi NII garis keras.

Senada dengan dengan pendapat-pendapat sebelumnya, A. Maftuh menggunakan pendekatan analisa dokumenter untuk menjelaskan keberadaan JI. Ia menyebut sebelas dokumen untuk mendukung pendapatnya. Metode yang ia gunakan adalah dengan menganalisa apa yang ada dalam teks atau yang lebih dikenal dengan inner document. Di samping itu, metode yang kedua digunakan dengan cara membaca dan menganalisa outsider document, situasi, kondisi, dan aktor-aktor yang terlibat dalam pendokumentasian JI. Kesebelas dokumen tersebut adalah Pedoman Umum Perjuangan Al-Jama'ah Al-Islamiyah atau yang lebih dikenal dengan PUPJI yang bertarikhkan 30 Mei 1996, Fikhul Jihad (fikih perang), Laporan Perkembangan Da’wah wa al-Irsyad, Wakalah Jawa Wustho periode Rabiul Awwal 1420/Juni 1999, dokumen laporan dan proposal anggaran Diklat yang dikirim oleh Qoid (Panglima) Mantiqi III/Wakalah Hudaibiyah kepada Amir JI dengan nomor surat A/03/SIII/06/1420, dokumen Rancangan Sistem Pembinaan Teritorial (SISBINTER), dokumen hasil evaluasi training kemiliteran yang diadakan oleh Tajnid ‘Am Yarmuk yang diikuti oleh 13 peserta, dokumen laporan TA Yarmuk Daurah I, dokumen teknik pembuatan dan merangkai bahan peledak bom, dokumen Pedoman Mengamalkan Islam menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dokumen yang merupakan catatan harian Umar Al-Farouk, dan dokumen yang berisi dari data base para ulama dan tokoh masyarakat yang berada di wilayah wakalah Jawus.[26]

Dari kesebelas dokumen tersebut, terdapat dua dokumen yang diduga memiliki kemiripan ideologis antara PUPJI-nya Al-Jama'ah Al-Islamiyah dengan PMIMADA milik Abu Bakar Ba’asyir. Kesamaan tersebut setidaknya dalam misi yang diperjuangkan organisasi ini yakni menegakkan Daulah Islamiyah (Negara Islam) dan bagi orang yang menolak perjuangan ini menurut Ba’asyir, “Orang semacam ini musuh Islam yang halal diperangi”. Meskipun direvisi oleh Irfan Awwas, pernyataan inilah yang diduga adanya kesamaan ideologis-politis Ba’asyir dengan JI. Dari analisis dokumenter yang telah dilakukan A. Maftuh ini setidaknya memberikan catatan penting mengenai jam terbang JI di Indonesia. Diakhir tulisannya mengenai JI, A. Maftuh memberikan kesimpulan, antara lain, pertama, keberadaan dan eksistensi organisasi yang bernama Al-Jama’ah Al-Islamiyyah adalah sebuah kenyataan yang sangat sulit untuk diingkari. Sebagai sebuah gerakan yang mempunyai jam terbang internasional (al-Alami), Al-Jama’ah Al-Islamiyah ternyata lebih senior ketimbang gerakan “Syann al-Gharah” atau penebar teror yang bernama Al-Qaedah. Hanya saja, JI nampak lebih lengkap dokumentasi gerakannya, mulai dari al-manhaj al-haraki sampai dengan nidlam asasi. Adapun historisitas kedua organisasi, Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI) dan Al-Qaedah adalah gerakan yang bersifat aliansi dan mempunyai hulu yang sama, yaitu menginginkan sebuah tatanan sistem kenegaraan yang bernama “al-Khilafah al-Islamiyah”, sebagai sebuah ending dari terbentuknya Daulah Islamiyah yang merupakan tujuan yang sama sekali tidak akan pernah bisa ditawar-tawar lagi. Hulu yang menghubungkan kedua organisasi, Al-Jama’ah Al-Islamiyyah (JI) dengan Al-Qaedah adalah keterpenga-ruhannya dengan “the same sources” yaitu pemikiran-pemikiran dan gerakan-gerakan radikal yang bermunculan di Mesir dan Pakistan, seperti sayap ekstrimnya al-Ikhwan al-Muslimun, Jama’ah al-Jihad, Al-Jama’ah Al-Islamiyah Mesir, Jama’ah al-Muslimin dan juga Jama’at el-Islami Pakistan. Pemikiran-pemikiran keras mulai Al-Maududi, Sayid Qutub dan Dr. Umar Abdurrahman tentang teori kedaulatan Tuhan (al-Hakimiyah) dapat secara mudah ditemukan dalam pola-pola gerakan Al-Jama’ah Al-Islamiyah yang mempunyai lahan garap utama di Asia Tenggara dengan empat Mantiqi sebagai basis sayap gerakannya.

Kedua, sebagai sebuah gerakan bawah tanah, Al-Jama’ah Al-Islamiyah ternyata di samping sudah mempersiapkan aturan-aturan mainnya berupa PUPJI dan Nidham Asasi, juga telah mempersiapkan secara sistematis dan terencana gerakan militernya yang telah dididik secara khusus dengan materi mulai dari WP (weapon Training), MR (Map reading), TI (Tehnik Infanteri) dan FE (Field Enginering). Hal yang lebih mengagetkan adalah pelatihan tentang teknik pengeboman yang dimulai dari cara dan teknik pembuatan sampai dengan praktikum langsung di lapangan. Kenyataan ini semakin memperkuat bahwa untuk merealisasikan tujuan JI dalam menciptakan Daulah Islamiyah menuju Khilafah Islamiyah dengan me¬makai kekuatan senjata sebagai sarana yang harus di¬libatkan. Ketrampilan dan kepiawaian dalam mengakrabi senjata baik ringan maupun berat pada kenyataannya merupakan profesi yang tidak asing lagi bagi para personal Al-Jama’ah Al-Islamiyah khususnya yang pernah terlibat langsung dalam kancah pertempuran di Afghanistan.

Ketiga, isu-isu sentral yang menjadi jargon Al-Jama’ah Al-Islamiyah adalah mengenai pengamalan Islam secara kaffah dan syumul, Daulah Islamiyah dan al-Khilafah al-Islamiyah. Kesemua tema itu dapat ditemukan secara mudah di PUPJI. Jargon-jargon sentral tersebut sebenarnya secara akademik masih perlu didiskusikan lebih dalam lagi terutama menyangkut landasan epistemologinya.

Keempat, munculnya Al-Jama’ah Al-Islamiyyah yang sering terlihat dengan karya-karya “violence”nya, merupa¬kan hasil dari pertemuan dan pergumulan para radikalis dan militan muslim sedunia dalam proyek peruntuhan negara komunis Uni Soviet. Gesekan-gesekan strategis dan taktis telah teramu dan teruji dengan baik dalam labo¬ratorium terbuka perang Afghanistan yang merupakan orkestra kekerasan dan melibatkan beberapa negara dengan kepentingannya masing-masing.


E. Kesimpulan
FENOMENA radikalisme Islam sebagai sebuah ekspresi dari gerakan politik sebagian umat Islam yang berujung pada upaya ideologisasi Islam secara formal pada dasarnya tidak dipisahkan dari faktor doktrin Islam, sikap politik dan gerakan politik yang dilancarkan. James P. Piscatori menegaskan bahwa sebagai sebuah sistem komunal, para pemeluk Islam menghadirkan ekspresi ke-Islaman yang varian. Banyak faktor yang mempengaruhi ekspresi politik umat Islam ketika berhadapan dengan realitas sosial dan politik yang berkembang. Tak pelak, seringnya terjadi peristiwa-peristiwa terorisme dan kekerasan lainnya tidak dipungkiri telah mengakibatkan banyak korban berjatuhan yang pada akhirnya telah menggiring kepada identifikasi minor bahwa potret Islam fundamentalis dan radikal lebih menjadi obyek kajian menarik –karena sebagai pihak tertuduh dalam beberapa kasus terorisme—ketimbang potret Islam substansialis.

Tawaran sekaligus menjadi solusi terhadap upaya meminimalisir gerakan terorisme dengan cara menolak kekerasan dan sebaliknya menjadi penting meruntuhkan landasan epistimelogi mereka dengan mengajukan empat hal yang menjadi pertimbangan dalam kaca mata akademis, yaitu; Pertama, jaringan radikalisme internasional yang bernama al-Qaedah dan al-Jama’ah al-Islamiyyah merupakan “buah” dari “pohon rindang” pemahaman skripturalistik verbalis terhadap teks-teks keagamaan yang dipaksakan untuk melegitimasi “violence action” dengan “menyeru jihad menebar teror (syann al-gharah) atas nama “Tuhan” dan atas nama “agenda Rasul”. Termasuk di dalamnya jaringan terorisme di Indonesia di mana aktor-aktornya adalah meruapakan alumni perang Afghan dan jaringan yang telah dipupuk sejak tahun 1970-an melalui Al-Jamaah Al-Islamiyah bentukan Abdullah Sungkar. Organisasi ini mendiaspora hingga saat ini dan sel-selnya bisa jadi masih tumbuh, oleh karena kinerjanya sangat rahasia. Penembakan terhadap Dr. Azhari, Dulmatin, hukuman mati, Mukhalas, Amrozi dan lainnya menunjukkan adanya dugaan kuat sel-sel tersebut. Demikian halnya, kejadian teros bom yang dilancarkan kelompok dan sel-selnya ini tak bisa dilepaskan begitu saja. Bom bunuh diri terakhir di hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton menunjukan bahwa ancaman keberadaan siluman jaringan tersebut masih tampak.

Kedua, pemahaman bahasa agama secara literalistik serta verbalis menjadi problematis ketika dihadapkan pada ranah sosial dan budaya yang heterogen. Karenanya sudah saatnya dan seharusnya ada garis demarkasi yang membedakan mana yang Islam dan mana yang Arab, karena Islam tidak identik dengan Arab dan sementara keduanya adalah komponen yang incomparrable. Buku ini dengan tegas mengatakan bahwa pemaksaan kebijakan-kebijakan yang berwarna “Arab” harus difahami sebagai sebuah kebijakan lepas dari warna “Islam”.

Ketiga, pemahaman keagamaan secara literalis-skripturalistik sering terjebak dalam ruang ideologis yang bercirikan subyektif, normatif dan tertutup. Ciri subyektif telah menyebabkan pemahaman seperti tidak besar kritik dan menafkan pilihan-pilihan tafsir keagamaan lainnya. Sementara itu, ciri normatif diperlihatkan pada pola berpikir positifstik an sich, bahwa yang paling benar adalah norma dan ajaran yang diyakininya.

Keempat, dalam wilayah sosial-politik, pemahaman literalis terhadap teks-teks al-Qur’an dan sunnah berakibat kepada aspek simplikasi terhadap Islam yang berujung kepada fundamentalisme. Islam akhirnya sering menjadi komoditas politik. Doktrin-doktrin Islam sering menjadi alat untuk menuju kekuasaan atau sebaliknya juga menjadi alat untuk melawan kekuasaan.

-----------------------------

[1] Kajian yang pernah dilakuklan Azyumardi Azra dan Bassam Tibi mengenai fundamentalisme Islam tampaknya sudah tidak memadai lagi untuk menjelaskan fenomena terorisme yang belakangan menggurita dan memiliki variasi gerakan. Kajian yang menekankan pada pendekatan historis tersebut bisa dibaca Azyumardi Azra, “Fenomena Fundamentalisme dalam Islam: Survey Historis dan Doktrinal”, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Vol. IV, Th. 1993, dan Bassam Tibi, The Challenge of Fundamentalism Political Islam and he New World Disorder (California: the Regent of University of California, 1998). Sebaliknya, untuk memahami fenomena terorisme dapat dibaca pada karya Dana R. Dillon, “The Shape on Anti-Terorist Coalition in Southeast Asia,” Heritage Lectures, 13 Desember 2002, dan dalam konteks Indonesia, karya Rizal Sukma cukup menjadi literatur awal yang bertitelkan “Indonesia’s Islam and September 11: Reactions and Prospect,” dalam Andrew Tan dan Kumar Ramakrishna (ed.), The New Terorism: Anatomy, Trends, and Counter-Strategies (Singapore: Eastern University Press, 2002).

[2] Samuel P. Huntington,
The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (London: Touchstone Books, 1998).

[3] Ian Markham dan Ibrahim Abu Rabi’ (ed.),
11 September: Religious Perspective on the Causes and Consequences (Oxford: One World, t.th).

[4] Machasin, “
Fundamentalisme dan Terorisme”, dalam A. Maftuh & A. Yani, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia (Yogyakarta: SR-Ins, 2004), hal. 791.

[5] Studi agama yang ditawarkan Syafa’atun El-Mirzanah, Ph.D mengenai kitab-kitab suci dalam tradisi agama bersifat korpus terbuka dan terikat dengan pendekatan polyinterpretable sangat memadai untuk menolak anggapan para pegiat fundamentalisme dan terorisme. Demikian pula karya para intelektual muslim progresif yang diedit Omid Safi cukup menarik untuk dikaji, Omid Safi (ed.), Progressive Muslims on Justice, Gender, and Pluralism (England: Oneworld Oxford, 2003).

[6] Richard T. Antoun,
Memahami Fundamentalisme: Gerakan Islam, Kristen dan Yahudi (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), hal. 23.

[7] Murba Abu, “
Memahami Terorisme di Indonesia”, dalam A. Maftuh & A. Yani, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia (Yogyakarta: SR-Ins, 2004), hal. 734-745.

[8] Lihat misalnya karya Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo: “
Angan-Angan yang Gagal,” (Jakarta: Sinar Harapan, 1995).

[9] Irfan Suharyadi Awwas (Peny.),
Risalah Kongres Mujahidin dan Penegakkan Syariah Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001).

[10] Ali Said Damanik,
Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia (Bandung: Teraju, 2003).

[11] Tulisan Martin van Bruinessen cukup mengeksplorasi metamorfosis gerakan-gerakan Islam radikal tersebut dalam “
Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Soeharto, 2002.

[12] E.S. Soepriyadi, Ngruki dan Jaringan Terorisme: M
elacak Jejak Abu Bakar Ba’asyir dan Jaringannya dari Ngruki sampai Bom Bali (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003); dan ICG Asia, Jamaah Islamiyyah in South-East Asia: Damaged but Still Dangerous, No.63, 26 Agustus 2003.

[13] Muhammad Khalid Masud (ed.),
Travellers in Faith: Studies in Tablighi as a Transnasional Islamic Movement for Faith Renewal (Leiden: Brill, 2000).

[14] Chris Wilson, “
Indonesia and Transnasional Terrorism,” Current Issues Brief, No.6, 2002.

[15] Sidney Jones, “
Hambali adalah Petinggi Al-Qaedah,” Tempo, 3 November 2002, hal. 54. Pengakuan Sidney ini dianggap masih teka-teki, mengingat secara psikologis keberadaannya di Indonesia ia sebagai peneliti dan tampaknya menyembunyikan kerahasiaan yang tidak laik untuk dipublikasikan.

[16] Dedi Supriadi,
Konspirasi di Balik Bom Bali: Skenario Membungkam Gerakan Islam, (Jakarta: Bina Wawasan Press, 2003).

[17] Indonesia Breafing:
Al-Qa’idah in Southeast Asia, 2002, hal. 1

[18] Ibid.

[19] Zachary Abuza, “
Funding Terrorism in Southeast Asia: The Financial Network of Al Qaeda and Jemaah Islamiyah,” NBR Analysis, Vol. 14, No.5, 2003, hal. 7-8.

[20] A. Maftuh (Peny.), “
Al-Qaedah: Arabists or Islamist” dalam A. Maftuh, Negara Tuhan: The Thematic Encyclopaedia, hal. 569. Konspirasi tersebut tentu saja ada satu atau dua pihak yang melakukan konspirasi lagi dengan kepentingan Barat. Hal ini sangat dimungkinkan, mengingat AS dan Barat sangat berkepentingan dalam pendudukan Afghanistan dan membebaskannya dari jeratan Uni Soviet yang memiliki ideologi komunis dan kepentingan yang berbeda. A. Maftuh menyebut ISI, sebuah badan intelejen milik Pakistan melakukan komunikasi intens dengan CIA dan M16 milik Inggris dan memberikan dukungan penuh terhadap ISI terutama dalam finansial dan proyek merekrut para muslim militan dan radikal dari semua kawasan negeri muslim untuk bergabung dengan para mujahidin Afghan.

[21] Kurang lebih selama satu dasawarsa ini permusuhan antara AS dan Barat dengan Al-Qaidah tak kunjung memperlihatkan kesudahannya. Terutama di era kepemimpinan Bush, politik standar ganda negara ini sangat tampak. Di satu sisi menyerang habis-habisan Al-Qaidah, pimpinan Usamah, di sisi lain memiliki mega proyek menginvasi Afghanistan demiki keuntungan oil dan keamanan regional Timur Tengah. Sangat tidak rasional bagi negara sebesar AS mengalami kesulitan dalam menangkap seorang Usamah. Bahkan media Barat terkesan mengalihkan isu dengan meletakkan Taliban sebagai organ yang berbahaya. Dari kasus ini, terutama Usamah dan jaringannya boleh jadi dipelihara dan sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan stabilitas AS dan negara sekutu lainnya di Timteng. Kebijakan Barack Obama, sang Presiden yang berhaluan moderat, juga belum memperlihatkan tanda yang lebih baik. Penarikan pasukan AS yang dalam janjinya dilakukan tahun 2010 bakal tertunda, setelah dalam perjalanan karir keprisidennya malah mengatakan penarikan baru akan dilakukan pada tahun 2011. Inkonsistensi politik dan kebijakan inilah yang menambah daftar AS dan sekutunya menyusun standar ganda, meskipun prajurit-prajuritnya menjadi korban hingga mencapai angka ribuan.

[22] Ken Conboy,
Intel: Inside Indonesia’s Intellegence Service (Jakarta-Singapore: Equinox Publishing, 2004).

[23] Z.A. Maulani dkk,
Terorisme: Konspirasi Anti Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002).

[24] A. Maftuh, hal. 947.

[25] Ibid., hal. 948.

[26] Ibid., hal. 827-829.