Minggu, 29 Agustus 2010

Puasa dan Generasi Baru


Affandi Mochtar

PUASA merupakan ibadah yang senantiasa diperintahkan oleh Allah dari generasi ke generasi secara estafet dan kontinu. Tidak ada satu generasi manusia di muka bumi ini yang luput dari perintah berpuasa. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan bagi kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.” Hal ini mengandung makna yang tersirat secara eksplitis maupun implisit bahwa puasa bagaikan sarana untuk menciptakan dan mewujudkan generasi baru dalam akselerasi peradaban. Puasa merupakan satu proses penggemblengan, penggodokan, pendadaran, dan pematangan yang nantinya diandaikan terjadinya transformasi dinamis ke arah yang lebih matang dari generasi lama ke generasi baru yang lebih baik.

Terciptanya generasi baru, sejatinya tidak baru sama sekali. Akan tetapi lanjutan dari generasi lama. Sebagaimana puasa, yang selalu hadir menyertai perjalanan peradaban manusia, doktrin yang tidak baru sama sekali, lantaran kehadirannya bagaikan ibu yang selalu mengandung dan akan terus melahirkan generasi-generasi tangguh dan matang.

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Syubbân al-yawm, rijâl al-ghad” (pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok). Masa muda merupakan masa penentu bagi hitam-putih dan maju-mundurnya peradaban, lantaran investasi ide, gagasan dan mimpi besarnya akan dapat dipanen tepat pada masa dimana ia mendapatkan peran sebagi pemimpin di masa depan.

Korelasi generasi baru dan generasi lama tepat sekali digambarkan dalam satu ungkapan bijaksana, “Al-muhâfazhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih, wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah.” Bagi generasi baru ada dua tugas sekaligus, yaitu mempertahankan apa yang dicapai generasi lama yang konstruktif dan masih relevan, dan mengambil hal baru yang lebih konstruktif dan lebih relevan yang tidak atau belum dicapai oleh generasi lama. Sebab, generasi baru sejatinya adalah generasi yang berada di tengah-tengah himpitan antara realitas yang diciptakan generasi lama dan mimpi yang dicita-citakannya sendiri untuk diejawantahkan ke permukaan realita, yang keduanya (realita dan cita-cita) harus senantiasa diharmonisasikan.

Pemuda memang tidak bisa menentukan dan mengatur sepenuhnya hasil yang dicita-citakan: terlalu banyak kemungkinan dan konsekuensi yang tak diketahui di masa depan. Isaiah Berlin berkata, “We cannot legislate for the unknown consequences of consequences of consequences.” Selarik kata-kata ini rupanya benar dan realistis. Lantaran, rupa-rupanya, dalam kenyataan bahwa hidup seakan-akan selalu mengelak untuk kita pahami sepenuhnya. Hidup tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Al-Qur`an mengingatkan, “Mâ tadrîy nafs-un mâ dzâ taksib-u ghadâ” (Kamu tidak tahu apa yang akan kamu kerjakan esok). Memang, problem terbesar bagi pemuda adalah “masa depan yang belum jelas”, dan karena ketidak jelasannya itu mendorong pemuda untuk terus mengejarnya dengan melalui proses pembelajaran, pendidikan, pematangan pemikiran-mental-spiritual dan pergulatan panjang dengan realitas sembari mencari cara penyikapan dan penyelesaiannya agar menjadi jelas dan terang. Seperti dalam teori iluminasi dikatakan bahwa sejatinya tidak ada kegelapan, cahaya hakikatnya ada namun intensitas sinarnya saja yang berbeda. Siapapun yang terus mendekat pada pusat cahaya, maka ia akan semakin mendapatkan intensitas pendaran sinar yang lebih maksimal dibanding dengan seorang yang jauh dari pusat cahaya. Puasa merupakan perlambang bagi satu usaha keras yang payah dan terasa berat, dalam upaya mendaki tangga-tangga mendekati pusat cahaya. Dalam arti, meski gamang dan masa depan belum jelas, tapi secercah cahaya harapan akan tetap selalu ada bagi pemuda yang tidak mengenal lelah terus berjuang menghampiri dan meraihnya.

Proses pergantian generasi (re-generasi) pun bagaikan proses evolusi Kepompong: dari ulat menjadi kempompong dan berubah menjadi kupu-kupu. Apa yang telah dicapai oleh generasi lama, yang bersifat konstruktif, mestinya harus difahami, dipertahankan dan dapat dilalui secara maksimal oleh para pemuda sebagai pemimpin masa depan. Dalam level ini generasi baru dan lama sama-sama menjadi kepompong, tidak ada lonjakan kemajuan yang cukup berarti. Dan setelah menyelesaikan apa yang telah dicapai generasi lama itu, kemudian menganalisa dan mengevaluasi apa kekurangan dan kelebihannya, pada titik inilah sebagai titik penentu terciptanya generasi baru. Jika mereka dapat menyadari betul (dan harus) mampu melampaui generasi lama, dengan visi dan misi yang matang dan mampu menjangkau seluruh aspek niscaya mereka layak disebut sebagai “generasi emas” yang bagaikan kupu-kupu yang bisa terbang dengan sayap-sayapnya membumbung tinggi melintasi cakrawala peradaban, dan dengan sayapnya ia dapat membawa cita-citanya terbang tinggi setinggi kemauan dan keinginanya untuk kemajuan dan kemaslahatan. Karena itu, sudah barang tentu ada proses yang komprehensif, tidak sepenggal-sepenggal dan setengah-setengah. Puasa, dalam konteks ini, hendak membekali visi dan misi ke depan dalam satu kata kunci “takwa”. Takwa memberikan dua sayap, yaitu sayap cinta dan cita-cita, sayap harapan dan kewaspadaan, sayap khauf dan raja’ yang akan membawa seseorang pada puncak kesadaran paripurna.

Ketakwaan, dengan berpuasa, meniscayakan adanya upaya pemuda sebagai generasi baru untuk menghindar dari sifat-sifat destruktif, puasa dari perbuatan kotor, nista, dehumanis, dan keji. Puasa juga mengandaikan pemuda untuk melatih diri agar tidak tergoda dari iming-iming duniawi-materi yang kenikmatannya sesaat pada akhirnya akan menuai penyesalan yang berlarut-larut. Pepatah Cirebon telah mengingatkan bahwa “enake saklenteng, getune saendeng-endeng” (enaknya sekecil biji kapuk/klenteng, tapi seumur hidup penyesalannya). Karena itu, pemuda harus tertanam sifat sabar. Kesabaran sebagai buah dari hikmah berpuasa merupakan kunci yang harus ada di genggaman tangan pemuda agar dapat membuka gedung kesuksesan yang abadi. Lantaran tanpa ada kesabaran, ia hanya mendapatkan “kesuksesan semu” dan temporal.
Spirit puasa hendak mensinergikan antara kedua kecenderungan yang bergelut hampir di segenap pemuda, yaitu kecenderungan idealisme dan pragmatisme. Tarik-ulur dan benturan keduanya (idealisme dan pragmatisme) niscaya terjadi, dan akan terus menyeret pemuda, generasi baru, pada posisi yang mau-tidak-mau harus memilih. Dan akhirnya sadar bahwa hidup adalah soal pilihan. Sebab pilihan adalah jalan hidup seseorang yang dapat menentukan alur cerita dan cita-cita besarnya pun akan hanyut terbawa arus jalan yang dipilihannya itu. Puasa hendak mempertahankan agar idealisme tetap terjaga, dan tidak tergoda oleh pragmatisme sesaat.

Adalah sebuah keniscayaan seorang pemuda, sebagai generasi baru, ditumbuhkan kesadaran akan tanggungjawab akan cerah atau muram-durja masa depan sendiri dan masa depan peradabannya sekaligus, ia akan mampu memperjuangkan dan membumikan idealisme ke ranah riil, secara gradual, bertahap dan kontinu, idealismenya tidak hanya ada di menara gading, mengawang-awang. Justru, generasari baru yang penuh dengan vitamin wacana dan setamina wawasan akan dapat memberikan kontribusi ide-ide segar sebagai terobosan yang mencerahkan bagi peradaban manusia dan bangsanya secara khusus. Dan yang memprihatinkan jika generasi baru hanya bersandar pada pola pragmatisme politik praktis tanpa konsep idealisme. Karena itu, sejatinya puasa ingin mengawal idealisme yang berorientasi kemajuan jangka panjang dengan melalui pelatihan diri agar dapat menahan dari iming-iming duniawi yang kenikmatannya sesaat.
________
Penulis adalah Sekertaris Dirjen Pendis Kemenag RI dan Wakil Sekretaris Tanfidhiyah PBNU. Tulisan ini telah dimuat di Koran Sindo, edisi Sabtu 28 Agustus 2010

AL-MUNQIDH MIN AL-DHALAL: Melerai Perdebatan Filsafat dan Tasawuf


Mukti Ali el-Qum

AL-GHAZALI adalah salah seorang raksasa intelektual Islam Sunni. Di Indonesia, nama al-Ghazali masuk dalam daftar ulama klasik yang dianggap sebagai ikon sufi yang diperhitungkan. Kitab monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin, hampir dikaji di semua pesantren salaf-tradisional, dan bahkan menjadi “kitab suci” dalam literatur sufisme. Mayoritas umat Islam menaruh hormat dengan penuh takdzim dan khidmat terhadapnya dan banyak mengikuti doktrin-doktrin yang ada di dalam karyanya tersebut. Selain kitab Ihya, al-Ghazali juga pernah menulis dalam bidang yang sama, Minhaj al-‘Abidin. Kitab ini disambut hangat bagi para pegiat tasawuf di seluruh dunia. Bahkan, salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia, Syekh Ihsan Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri atau yang lebih dikenal dengan Syekh Ihsan Jampes memberikan komentar terhadap karya al-Ghazali tersebut, yang diberi tajuk Sirajut at-Thalibin, dengan jumlah dua jilid.

Bagi para pengagumnya, al-Ghazali seringkali diberi predikat sebagai maha guru atau bahkan disebut sebagai “bukan manusia biasa”, oleh karena kepiawaiannya dalam menyusun banyak karya intelektual. Tak heran jika di tengah kalangan pengagumnya bermunculan sikap yang cenderung mengkultuskannya, meski ia sendiri tidak begitu menyukai sikap “kultus individu” ini. Hal ini cukup beralasan karena dibalik layar karya-karya intelektualnya sesungguhnya ia memiliki epistemologi keilmuan yang merupakan fondasi bagi pemikiran religiusitasnya. Al-Ghazali dengan demikian tidak ubahnya sebagai salah seorang ulama yang juga berpredikat sebagai “manusia biasa”.

Selain karya al-Ghazali di atas, karya lainnya yang sangat memadai untuk disimak dalam bidang filsafat dan tasawuf adalah al-Munqidl min ad-Dzalal (Mengelak dari Ketersesatan). Meski karya ini ditulis dalam catatan hariannya, kitab ini dianggap bagi sebagian kalangan sebagai bentuk respon atas perkembangan filsafat kala itu.

Catatan hariannya tersebut berisi tentang “keresahan” seorang intelektual yang cukup kritis berkaitan dengan kondisi dirinya yang tengah bingung dalam pencarian epistemologi ilmu. Percaturan ide dan gagasan pada zamannya telah memaksanya berpikir ulang mengenai relasi agama dan filsafat. Bahkan kondisi zamannya inilah telah membuat al-Ghazali sendiri bersikap skeptis (syak) yang berlangsung lama, selama kurang lebih dua bulan lamanya. Ia menjadi seperti golongan Sopis (safsatha) yang menjaga jarak dari semua asumsi tentang kebenaran. Postulat-postulat dan doktrin agama dipertanyakan kembali validitas dan diujicoba daya tahan argumentasinya seberapa kuat pada saat dikritisi dan didekati dengan berbagai macam perspektif dan metodologi. Selama dua bulan itu ia membisu, tidak menulis dan memberikan ceramah agama. Ia bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan. Pada masa-masa itulah ia hendak mendenahkan antara keyakinan yang suci, bening dan orisinil hasil dari pencarian, penalaran dan penemuannya sendiri dan keyakinan warisan konstruksi para pendahulu baik guru dan kedua orang tua. Keduanya hendak dipisahkan dengan tegas.

Meski di tengah kegalauan intelektualnya yang cukup serius al-Ghazali masih terus berempati dengan teks-teks hadist Nabi dan kandungan kebenarannya. Salah satu hadist yang menjadi pegangan dan sekaligus membantu landasan epsitemologi keilmuannya adalah perkataan nabi Muhammad SAW, “kullu mauludin yuladu ‘ala alfitrah. Fa abawahu yahudanihi, wa yunshiranihi, wa yumajjisanihi” (setiap anak itu yang dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orang tua lah yang mempengaruhi menjadikan Yahudi, Nashradi, dan Majusi seorang anak). Bagi al-Ghazali, hadist ini memiliki dua makna yakni bahwa setiap insan memiliki keyakinan orisinil yang bersifat fitrah dan keyakinan aksidental (al-‘aridliyyah) yang mendapat pengaruh dari orang tua dan guru.

Bagi al-Ghazali, keyakinan aksidental merupakan hasil dari taklid kepada para pendahulu (guru dan orang tua), dan karenanya ia menyarankan untuk meninggalkannya. Di balik itu, ia berambisi untuk merancang bangun keyakinan yang orisinil dan fitrah. Sebab, menurutnya syarat bagi orang yang bertaklid adalah bahwa ia tidak tahu dirinya menjadi muqallid (orang yang taklid). Jika sudah mengetahui bahwa dirinya bertaklid, maka dengan sendirinya pecahlah kaca bertaklid yang mengkerangkengnya. Bagi al-Ghazali, proses mengetahui bahwa seseorang bertaklid ini dan lepas darinya tidaklah mudah. Selain ia membutuhkan proses yang panjang, juga melewati pergulatan keilmuan yang tidak jarang mengernyitkan dahi.

Masa skeptis al-Ghazali inilah bagi banyak kalangan disebut sebagai masa transisi di antara kesadaran yang muncul di dalam dirinya dan kebutuhan untuk meninggalkan bertaklid. Al-Ghazali yang dalam pengakuannya masih bertaklid, berambisi untuk melepas taklidnya dan berhijrah untuk berpikir secara orisinil dan independen.
Setelah sembuh dari skeptis dan kebingungannya dalam urusan taklid dan teologi, al-Ghazali berupaya menyuguhkan orisinilitas pemikirannya. Sebagai buah pemikirannya, ia melakukan pemetaan epistemologi, antara lain: (1) kelompok para teolog (mutakallim) sebagai ahli ar-ra’yi dan an-nadzlar; (2) kelompok sekte Syi’ah Bathiniyyah, yang menganggap bahwa kebenaran teks primer agama hanya berlaku pada makna bathin, dan mensakralkan imam; (3) kelompok filosuf, sebagai ahli mantiq (logika) dan burhan (demonstratif); dan (4) kelompok sufi, sebagai golongan yang mampu menyibak kebenaran dengan intuisi. Dari pemetaan epistemologi berdasarkan klasifikasi aliran teologis inilah, al-Ghazali selanjutnya menganalisis dan mengkritisi keempat aliran tersebut.

Pertama, kelompok mutakallimin. Bagi al-Ghazali, kelompok ini cenderung menguatkan argumentasi teologi untuk mencari kelemahan argumentasi lawannya. Sekte-sekte Islam tumbuh subur dan mengklaim paling benar sendiri (truth claim), menyatakan sebagai sekte yang paling selamat (firqah an-najiyyah), dan sekaligus menafikan sekte yang lain. Teori depensif dan apologetik teologi ini menurut al-Ghazali tidak menghasilkan ilmu hakiki, lantaran sifatnya yang hanya responsif dan reaksionis atas asumsi lawannya. Meski menurutnya ilmu kalam bagi sebagian golongan cukup memuaskan dan dapat menjadi obat yang dapat menyembuhkan penyakit skeptisnya, dalam kenyataannya bukanlah sebagai obat manjur yang dapat menyembuhkan dari sakitnya. Ia berdalih bahwa epistemologi yang dihasilkan bukanlah berasal dari ilmu yaqin.

Kedua, filsafat dan para filosuf. Dalam menyoal aliran ini, al-Ghazali mengklasifikasi filosuf ke dalam tiga golongan, yaitu (1) Ad-dahriyyun. Kelompok filosuf ini menganggap bahwa alam semesta itu wujud dengan sendirinya, tanpa ada pencipta yang mewujudkan. Mereka meyakini teori evolusi, seperti hewan berasal dari setes air mani, dan mani berasal dari hewan, dan seterusnya; (2) At-Thabi’iyyun.
Kelompok filosuf ini getol membahas tentang naturalisme, alam semesta, dan ketakjuban hewan serta tumbuh-tumbuhan. Dengan cara merenungi keindahan alam, mereka meyakini bahwa alam semesta ada penciptanya yang Maha Indah. Hanya saja, mereka tidak mengimani permasalahan eskatologis, seperti mengingkari adanya surga, neraka, kebangkitan kubur dan lain-lain. Sedangkan persoalan eskatologis merupakan hal-hal yang harus diyakini dalam agama (Islam); dan (3) Ilahiyyun. Kelompok filosuf ini getol membahas tentang ketuhanan. Tokoh-tokoh dalam aliran ini yaitu seperti Plato, Socrates dan Aristoteles. Pemikiran para filosuf Yunani itu dalam perkembangannya memberikan pengaruh terhadap golongan filosuf Islam, seperti Ibnu Sina, al-Farabi, dan lain-lain. Dari pemaparan peta ketiga aliran di atas, al-Ghazali tampaknya tidak memahami pemikiran filsafat Yunani dari akses langsung buku-buku Yunani sebagai referensi primer. Dalam mengetengahkan peta filsafat Yunani, al-Ghazali lebih banyak memanfaatkan literatur-literatur sekunder seperti buku-buku yang ditulis oleh Ibnu Sina, al-Farabi, dan lain-lainnya.

Dalam pandangan al-Ghazali, setidaknya terdapat tiga poin produk pemikiran para filosuf ilahiyyun yang dianggap menyesatkan dan kafir, yaitu (1) keyakinan mengenai tidak adanya siksa jasmani dan hanya ada siksa ruhani yang akan diterima kelak di akhirat. Sebab, doktrin agama menurut al-Ghazali menegaskan akan adanya kebangkitan jasad (khasyr), siksa dan nikmat akan diguyurkan kepada jasad dan jiwa manusia, bukan hanya jiwanya saja; (2) mereka meyakini bahwa Tuhan hanya mengetahui kullyat (universalitas), dan tidak mengetahui partikular-partikularnya (juziy). Ayat-ayat al-Quran dan hadits serta didukung dengan logika yang benar, kata al-Ghazali, mustahil jika pengetahuan Tuhan sepenggal-sepenggal. Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu; dan (3) mereka menyakini qadim dan azali alam semesta. Dengan lain ungkapan, mereka meyakini keabadian kosmos. Dalam menyoal agama dan logika, al-Ghazali menyatakan bahwa tidak masuk akal jika ada dua dzat yang sama-sama qadim, azali, dan abadi, yaitu Tuhan dan alam semesta. Sementara itu, dzat yang abadi dan qadim hanya Tuhan, Sang Pencipta. Tiga pemikiran inilah yang dianggap sebagai pemikiran yang kafir menurut al-Ghazali. Sedangkan pemikiran-pemikiran filsafat yang lainnya bebas, tidak masuk pada kategori kafir (takfir).

Pengkafiran (takfir) yang dituduhkan al-Ghazali kepada para filosuf tidak dalam konteks mengkafirkan secara membabi buta dan serampangan. Hanya terdapat tiga pemikiran saja yang menurutnya tidak tepat di mata agama. Sedangkan seluruh produk-produk pemikiran filsafat yang tak terbatas (unlimited) oleh al-Ghazali diberi keleluasaan dan kelonggaran. Pengkafiran dalam pandangan al-Ghazali juga harus dibaca dalam konteks sosio-historisnya, dimana pengkafiran merupakan fenomena yang terus menghiasi perjalanan peradaban Islam pada masa sebelum dan tepat pada masa al-Ghazali hidup. Bukan hanya al-Ghazali, namun hampir seluruh pemikir Islam dari berbagai kecenderungan dan sekte telah terjebak pada lingkaran setan yang bernama takfir (pengkafiran). Bahkan di setiap ada perbedaan pandangan dan pendapat seringkali berujung pada saling menuding kafir. Dalam konteks ini al-Ghazali nampaknya menangkap adanya gejala yang cukup janggal dan ketidakjelasan batasan takfir. Karena itu al-Ghazali membatasi dan meminimalisir wilayah takfir hanya pada tiga poin produk pemikiran tersebut.

Setelah menjelaskan filsafat ketuhanan, al-Ghazali menjelaskan filsafat non-ketuhanan, seperti ilmu eksakta, kedokteran, ilmu alam, politik, dan lain-lain. Menurutnya ilmu-ilmu tersebut sangat mendukung bagi kemajuan peradaban manusia. Hanya saja bukan sebagai tujuan, melainkan diposisikan sebagai pelantara untuk mengenal tanda-tanda kebesaran Tuhan. Meskipun ilmu-ilmu tersebut menurut al-Ghazali bukan ilmu-ilmu agama, namun bagi umat Islam harus mempelajari dan harus ada yang menguasai serta menjadi pakar. Sehingga kedudukan hukum mempelajarinya adalah fardlu kifayah.

Al-Ghazali selanjutnya menjelaskan tentang sekte Syi’ah Bathiniyah yang berkembang pada masa al-Ghazali hidup. Kita mengetahui bahwa di dalam internal sekte Syi’ah memiliki sejumlah sekte cabang yang cukup banyak, di antaranya: Syi’ah Zaidiyyah, Fathimiyyah, Imamiyyah, Bathiniyyah, dan lain-lain. Ketika menguraikan sekte syiah ini, al-Ghazali tidak mengkritik aliran ini secara keseluruhan. Melainkan hanya salah satunya saja, yaitu Bathiniyyah. Setidaknya ada dua poin pemikiran sekte Syi’ah Batiniyah yang dikritik al-Ghazali, yaitu mensakralkan atau mengkultuskan imam (ma’shum) dan menganggap tidak adanya kebenaran dalam makna tekstualitas teks primer agama (al-Quran dan al-Hadits) dan kebenaran yang sesungguhnya hanya terletak pada makna bathinnya. Dalam konteks ini, menyakini hanya dipahami sebagai sisi makna esoteris teks primer agama. Karenanya, mengingkari sisi eksoterisme teks bagaikan mata seseorang yang salah satu matanya buta. Berbeda dengan meyakini adanya kebenaran pada dua sisi makna tersebut dipahami bagaikan seorang yang kedua matanya benar-benar berfungsi.

Setelah menguraikan beberapa aliran filsafat di atas, sampailah pada penghujung petualangan intelektualnya. Al-Ghazali akhirnya mendapatkan epistemologi yang tepat dan cocok. Bahkan penyakit skeptis mutlak yang pernah dideritanya tersembuhkan. Ia telah mendapat penyegaran pemikiran kembali setelah melalui petualangan intelektualnya yang berjasa melalui pintu epistemologi yang jernih, yaitu tasawuf. Skeptis (syak) yang dirasakan al-Ghazali bukanlah keragu-raguan yang berlarut-larut, namun skeptisnya dalam upaya mencari kebenaran sejati. Secara teoritis, ada dua macam skeptisisme. Pertama, skeptisisme mutlak yaitu sikap skeptis terhadap segenap dogma-dogma kebenaran dan jargon-jargonnya, tidak meyakini adanya sebuah kebenaran. Berawal dari ragu, di tengah-tengah ragu, dan berakhir dengan ragu yang tanpa ujung. Skeptis macam inilah yang dialami oleh golongan Sopis dan al-Ghazali sendiri selama dua bulan lamanya—seperti yang disinggung di atas. Dan kedua, skeptisisme metodis syak manhaji), yaitu sikap skeptis yang bertujuan mencari kebenaran dan keyakinan dengan melalui berbagai proses pengalaman dan pergulatan pemikiran sang pelaku. Dengan kata lain, keyakinan akan muncul setelah sebelumnya melampaui proses keraguan. Dan apa yang diyakininya merupakan kebenaran. Dalam kasus al-Ghazali, ia tidaklah larut ke dalam skeptisisme yang tanpa makna, melainkan dari skeptis yang dialaminya telah memacu untuk terus mencari dan akhirnya menemukan kebenaran yang layak diyakini. Di samping itu, ia juga menemukan metode yang tepat untuk dijadikan sebagai perspektif dan mesin reproduksi pengetahuan yang benar.

Di akhir uraiannya, al-Ghazali memberikan advise yang bersifat epistemologik. Ia menyatakan bahwa puncak ilmu pengetahuan manusia adalah tasawuf. Petualangan dan pergulatan pemikiran yang matang menurutnya akan berlabuh pada tasawuf. Sebab tasawuf dapat melampaui dan menyempurnakan syariah, ilmu kalam, dan filsafat.
__________
Penulis adalah alumni Universitas al-Azhar al-Syarief Mesir, koordinator Kajian dan Penelitian Rumah Kitab, Bekasi

Kamis, 26 Agustus 2010

Transformasi Diri Menuju Kebahagiaan Hakiki: Kajian atas Kitab Kimia Sa'adah Karya al-Ghazali


Oleh: Ali Mursyid

Kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia. Karenanya orang mau melakukan apapun untuk mencapainya. Banyak cara, kiat-kiat, teknik-teknik bagaimana menggapai kebahagiaan dalam hidup. Motivasi untuk mencapai kebagaiaan, sesungguhnya motivasi hidup manusia yang tertinggi. Bahkan dikatakan bahwa Islam hadir bertujuan untuk menciptakan “sa’adatun nas fi al-darain” (kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat)

Kebahagiaan diukur dengan cara yang berbeda dan pada hakekatnya ukuran kebahagiaan bisa berjenjang. Ada manusia yang mengukurnya sebatas capaian materi atau materialistik, dan merasa telah cukup sampai di sana, namun ada yang menganggap capaian kebahagiaan berbasis materi tak akan membawa manusia dalam kebahagiaan sejati. Capaian kebahagiaan terakhirlah yang kerap dinamakan sebagai kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan keruhanian.

Nilai-nilai kebahagiaan banyak diajarkan ajaran-ajaran luhur. Ini sebenarnya sudah dipraktikkan sejak ribuan tahun lalu, mulai dari kebebasan Stoic, Kimia Kebahagiaan (Kimia Sa’adah) Al-Ghazali, Pencerahan ala Budha bahkan kepuasan ajaran kuno Epicularean. Namun gelombang modernitas perlahan-lahan menggerusnya. Akibatnya, kini prinsip-prinsip adiluhur tersebut bagaikan harta-karun yang terlupakan.

Tulisan ini akan memaparkan tentang salah satu konsep kebahagiaan, yang bersumber dari ajaran luhur para pendahulu, yaitu konsep Kebahagiaan menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya “Kimia Sa’adah” (Kimia Kebahagiaan).

Pilihan kata “Kimia” sendiri, menurut pengkaji pemikiran al-Ghazali di Mesir, Sulaiman Dunia, ini dengan maksud untuk menunjukkan bahwa kebahagiaan bisa dicapai dengan perubahan kimiawi di dalam diri seorang manusia, dan bukan perubahan fisikawi. Perubahan kimiawi yang dimaksud al-Ghazali adalah perubahan yang tidak bersifat fisik, bukan perubahan dalam arti perubahan jasad wadag, akan tetapi perubahan yang bersifat non fisik, non materi, perubahan jiwa, batin, pikiran dan perasaan, yang dapat menghantarkan sesorang dapat menggapai kebahagiaan sejati. Jadi maksud dari “Kimia Kebahagiaan” adalah sebuah konsep untuk yang menghantarkan transformasi ruhani seseorang agar dapat menggapai kebahagian hakiki.

Untuk menghantarkan pada tujuan tersebut al-Ghazali membagi pembahasan bukunya ke dalam beberapa bagian berikut; Penduhuluan; Bagian pertama mengantarkan ke pembahasan pokok; Bagian kedua penjelasan bagaimana mengatahui diri atau jiwa kita; Bagian ketiga penjelasan mengenai hati dengan berbagai ‘bala tentara’ pendukungnya; Bagian keempat tentang keajaiban-keajaiban hati.

Pada bagian pendahuluan, al-Ghazali membuka kitab Kimia Sa’adah (kimia kebahagiaan) ini dengan basmalah, hamdalah, shalawat dan salam. Ini disampaikan dengan bahasa yang indah, dengan diksi yang terpilih dan irama kata yang menggugah. Sayangnya pada bagian pendahuluan ini tidak dijelaskan apa motif al-Ghazali menuliskan buku ini, apakah karena al-Ghazali menganggap penting untuk menuliskan buku ini atau karena ada permintaan dari penguasa atau pihak-pihak lainnya? Karena tidak ada penjelasan maka tidak bisa diketahui latar belakang mengapa buku ini ditulis dan untuk kepentingan siapa.

Pun demikian, bila dilihat dari sejarah hidup beliau, buku Kimia Sa’adah ini ditulis setelah al-Ghazali menulis buku al-Munqidh min al-Dhalal. Kalau buku al-Munqidh min al-Dhalal berisi pencarian dan kritik al-Ghazali mengenai epistemologi kebenaran, dan berkesimpulan bahwa epistemologi sufilah yang dipilih, maka dalam buku Kimia Sa’adah, al-Ghazali boleh jadi hendak menegaskan pilihan jalan sufinya itu, dengan menawarkan konsep kebahagiaan menurut sufi. Jadi, Kimia Sa’adah adalah penegasan akan kebenaran epistem sufistik yang dipilih al-Ghazali. Dengan buku ini, al-Ghazali hendak menyatakan bahwa jalan sufi bukan hanya benar, tetapi dapat menghantarkan pada kebahagiaan sejati.

Pada bagian pengantar, al-Ghazali menjelaskan bahwa pembicaraan mengenai Kimia Kebahagiaan adalah pembicaraan yang sangat berharga, dan bukan pembicaraan rendahan. Racikan kebahagiaan ini juga, menurutnya, adalah racikan yang hanya disandarkan pada ajaran Nabi Muhammad saw. Karena menurutnya, jalan menuju kebahagiaan dapat ditempuh dengan benar bila merujuk pada ajaran Muhammad yang dihayati dengan benar. Di antara yang diajarkan Muahammad adalah bahwa kebahagiaan atau keberuntungan bukan hanya berarti keburuntungan material, tetapi yang lebih penting adalah keberuntungan spiritual.

Pada bagian selanjutnya, bagian ketiga, al-Ghazali mulai menjelaskan bagaimana seseorang dapat meraih kebahagiaan melalui jalan spiritual. Mula-mula dijelaskan apa itu bahagiah dengan berbagai ragamnya. Dikatakan dalam buku ini:

“Kebahagiaan itu berbeda-beda bagi setiap makhluk hidup. Ada yang bahagia bila terpenuhi urusan makan, minum dan segala kebutuhan biologisnya, maka ini adalah kebahagiaan kelompok binatang ternak (baha’im). Ada yang merasa bahagia bila berhasil melakukan penyerangan, bisa mengalahkan dan bahkan membunuh lawan, ini adalah kebahagiaan bagi kelompok binatang liar (siba’). Ada yang merasa bahagia dengan melakukan tipu daya dan muslihat, ini adalah kebahagiaan bagi syaitan. Sementara kebahagiaan bagi para malaikat adalah kebahagiaan bisa taat kepada Tuhan sepenuhnya, tanpa bisa membangkang, tidak memiliki syahwat dan tidak pernah marah.” (hlm. 4)

Setelah menjelaskan model dan ragam kebahagiaan di atas, al-Ghazali memberi pilihan kebebasan bagi kita. Silahkan apakah kita mau memilih kebahagiaan yang model mana? Jika kita hanya sibuk mencari materi untuk sekedar memenuhi kebutuhan makan, minum dan bahagia hidup berumah tangga, maka apa beda kita dengan binatang ternak? Bila kita hanya sibuk dan senang berbuat anarkhis maka mungkin kita ini tidak ada bedanya dengan binatang buas. Jika kita senang dan bahagia dengan melakukan penipuan, sering berbuat curang untuk keuntungan pribadi, maka mungkin kita tidak berbeda dengan syaitan. Dan jika kita ini merasa berbagaia dengan berbuat baik, senang melakukan ketaatan kepada Allah, menjalankan sunnah Nabi, berbuat baik kepada sesama, maka mungkin yang menguasai diri kita adalah unsur kebahagiaan malaikat.

Manusia sendiri, menurut penulis buku ini, sesungguhnya terdiri dari berbagai unsur di atas, unsur binatang ternak, binatang buas, syaitan dan malaikat. Unsur mana yang paling dominan dalam diri setiap orang akan mempengaruhi bagaimana ia menggapai kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Ghazali menyebutkan bahwa tempat kebagiaan tertinggi bagi orang pada umumnya (awam) adalah kebahagiaan surga, sementara kebahagiaan tertinggi bagi orang-orang spesial (khawash) adalah menggapai ridha Allah swt.

Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa untuk menggapai kebagiaan tertinggi, manusia harus terlebih dahulu mengenal dirinya, mengenal jiwanya. Dalam hal ini al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa (nafs) manusia, terbagi menjadi dua hal, yaitu hati (qalb) dan ruh. Hati (qalb) di sini bukan berarti qalb dalam arti fisik yang terdapat dalam dada tiap manusia, tetapi qalb dalam arti ruhani dan bathini. Qalb semacam inilah yang merupakan bagian dari nafs yang dibebani taklif untuk ta’at kepada Allah swt, yang akan menerima pahala dan dosa, yang dapat merasakan bahagia dan sengsara. Qalb lah yang dapat ma’rifat kepada Allah swt.

Terkait dengan qalb ini, dijelaskan bahwa Allah swt mencipatakan dua alam yang berbeda, ‘alam khalqi dan ‘alam amri. Ini sesuai firman Allah swt: alâ lahû al-khalqu wa al-amru. Manusia sejatinya terdiri dari alam khalqi dan alam amri sekaligus. Alam khalqi adalah ciptaan Allah swt yang mengenal dimensi panjang, lebar dan terukur serta bisa dihitung. Sedangkan alam amri sebaliknya, yaitu ciptaan Allah yang tidak mengenal dimensi panjang, lebar, tidak terukur dan tidak bisa dihitung. Qalb insan adalah tergolong alam amri dan bukan alam khalqi, karena qalb yang dimaksud bukanlah hati dalam arti fisik.

Sementara itu ruh, adalah sebagian besar tetap menjadi rahasia Allah, yang juga terdapat dalam ‘alam amri. Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah swt: “wa yas’alûnaka ‘an al-rûhi qul al-rûhu min amri rabbi, wamâ utîtum min al-‘ilmi illâ qalîla”, ayat ini diterjemahkan al-Ghazali dengan: “orang-orang bertanya kepadamu Muhammad, tentang persoalan ruh. Katakanlah bahwa ruh itu merupakan ciptaan Allah yang tergolong ‘alam amri. Kamu sekalian tidak diberi pengetahuan mengenai hal ini kecuali sangat sedikit” Agama atau syariat Islam, tidak memerintahkan, menganjurkan dan tidak berkepentingan untuk mengetahui ruh ini. Karena kewajiban agama adalah bukannya mengetahui ruh, yang memang urusan Tuhan, tetapi kewajiban agama adalah beribadah, bermujahadah kepada Allah dan mengetahui tanda-tanda hidayah Allah. Sebagaimana dikatakan dalam firman Allah; “Wa al-ladzîna jâhadû fînâ lanahdiyannâ subulanâ”. Dalam hal ini al-Gazali menyatakan bahwa barang siapa tidak bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menggapai hidayah Allah maka tidak akan dapat mengetahui hakikat ruh (hlm. 11).

Penjelasan selanjutnya, bagian keempat, mengenai qalb dan para ‘bala tentara’-nya, atau dengan istilah lain, hati dan para anggota pelaksananya. Sebagaimana konsep sufi pada umumnya, al-Ghazali menyatakan bahwa jiwa (nafs) manusia itu bagaikan sebuah kota. Hati adalah rajanya, syahwat adalah wali kotanya, akal adalah panglimanya, kekuatan marah adalah para polisinya yang memiliki dendam kesumat. Hati sebagai raja menasihati sehingga kerajaan kotanya dapat tenang. Menasihati ini harus terus dilakukan oleh hati, karena wali kota-nya adalah syahwat, dan kekuatan marah menjadi polisi kota-nya, jika hati berhenti menasihati maka hancurlah kota tersebut, hancurlah jiwa manusia. Hati sebagai raja juga harus berembug dengan panglima (akal) dan menjadikan wali kota (syahwat) dan polisi (amarah) mesti terkendali oleh panglima (akal). Jika ini yang terjadi maka kota (jiwa manusia) akan tenang dan bahagia.

Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kebahagiaan sejati dapat diraih dengan memperhatikan tiga hal dalam diri kita, yaitu: kekuatan amarah, kekuatan syahwat dan kekuatan ilmu. Untuk mencapai kebahagiaan, orang harus mengurangi dan memenaj sedemikian rupa, kekuatan amarah dan kekuatan syahwatnya. Jika tidak maka, baik amarah maupun syahwat sesungguhnya cenderung merusak diri sendiri. Dengan memanej amarah, sesorang bisa bersikap sabar, tenang dan bahagia. Dan dengan menjaga syahwat seseorang dapat menjaga kehormatan dan muru’ahnya. Meski manusia, sebagaimana binatang, dibekali dengan sifat amarah dan sifat syahwat, tetapi manusia diberi kelebihan lain yang tidak dikaruniakan pada binatang. Yaitu ilmu yang puncaknya bisa mencapai ma’rifatullah. Inilah yang mengantarkan pada kebahagiaan sejati, menurut al-Ghazali.

Pada bagian akhir, al-Gazali menjelaskan keajaiban-keajaiban hati. Di antaranya dia menjelaskan bila hati seseorang suci, dituntun agama, menjahui segala kekotoran lahir dan bathin maka hatinya bersih bagai cermin. Sehingga terkadang timbul berbagai keajaiban, seperti bisa mengetahui kejadian yang belum terjadi, bisa mengetahui berbagai hal tanpa melalui proses belajar sekalipun. Ini karena hati bersih bagai cermin, sementara lauh mahfudz juga bagaikan cermin, maka teranglah bagi hati yang bersih segala ketentuan Allah swt yang ada di lauh mahfudz.

Demikianlah konsep racikan kimia kebahagiaan menurut Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Sebuah konsep kebahagiaan ruhani dengan pendekatan khas sufi dan berbasiskan ajaran Islam yang dibawa oleh Muhammad saw. Wallahu a’lam bi al-shawab
____________
Penulis adalah anggota kajian Rumah Kitab dan dosen UIN Syahid dpk di IIQ Jakarta. Tulisan ini adalah hasil kajian Kitab Mingguan di Rumah Kitab.

Rabu, 25 Agustus 2010

Kenapa Perempuan Diperkosa


Oleh: Lies Marcoes

Setidaknya ada dua pendekatan untuk memahami persoalan ini.Keduanya berimplikasi beda dalam pencegahan atau penangan perkosaan. Pandangan pertama, menganggap perempuan diperkosa karena salahnya sendiri. Cara pandang Bupati Aceh Barat yang sedang menuai protes hari-hari ini termasuk dalam kategor ini. Menurutnya perempuanyang berpakaian ketat atau minim mengundang untuk diperkosa. Cara pandang in iberangkat dari asusi bahwa sumber masalah perkosaan ada pada prilaku perempuan. Lanjutan dari cara pandangini adalah bahwa lelaki memperkosa sebagai sesuatu yang wajar akibat diundang perempaun. Selaras dengan cara pandang ini adalah bahwa watak dasar lelaki adalah pemerkosa.

Cara pandang kedua, perkosaan hanya terjadi manakala relasi antara pelaku dan korban dalam posisi timpang. Karenanya pakaian, prilaku bukan faktor penting dalam menentukan terjadinya perkosaan. Seorang pekerja TKW meskipun pakaiannya terbungkus dari ujung kaki ke ujung rambut jauh lebih rentan diperkosa majikannya yang masih remaja daripada perempuan yang berpakain minim namun punya posisi sosial politik setara dengan ayah sang pemerkosa TKW. Seorang santri seperti Ulfa, rentan terhada perkosaan "syech"Puji meskipun Ulfa menggunakan pakaian tertutup sebaga imana santri putri di pesantren. Di masa konflik di Aceh, perempuan Aceh jauh lebih rentan perkosaan meskipun mereka telah menggunakan pakaian bernuansa Syariah dibandingka nperempuan lain di luar wilayah konflik meskipun mereka tak menggunakan pakaian tertutup.

Dua pandangan ini mendominasi cara berfikir masyarakat tentang sebab musabab perkosaan. Tetap iimplikasi atas cara pandang ini akan sangat berbeda. Undang-undang anti Pornograf ipada dasarnya berangkat dari cara pandang pertama. Berusaha melindungi perempuan dengan menyalahkan prilaku perempuan. Karenanya yang diatur adalah tingka laku perempuan: tidak boleh bergoyang di depan umum, tidak menampakkan hal hal yang dapat mengundang syahwat lelaki. Dalam pandangan ini, diakui bahwa pada dasarnya akal lelaki begitu payah dan tak punya kesanggupan untuk mengontrol syahwatny sendiri. Dan atas kelemahan itu , kesadaran peremuan diminta untuk tidak mengusik syahwat lelaki. Cara pandang Bupati Aceh Barat, pada dasarnya berangkat dari cara pandang serupa itu. Dan manakala pandangan serupa itu dijadikan program kerja bupati, maka bentuknya kira-kira melakukan razia pakaian, membagi-bagikan rok panjang dan jilbab, atau jika lebih ekstrim lagi, melarang peremuan ke luar rumah, atau memisahkan ruang gerak lelaki dan perempuan.

Cara pandang pertama mengabaikann faktor lain di luar isu auruat yang dianggap sebagai pemicu perkosaan. Lalu pertanyaannya jika benar bahwa penyebab perkosaan perempuan disebakan cara perempuan berpakaian, mengapa fakta menunjukkan bahwa: perkosaan menimpa perempuan dari usia bayi 2 tahun sampai 70 tahun. Perkosaan lebih sering terjadi di dalam rumah dan oleh orang yang dikenal dari pada di luar rumah oleh orang yang baru dikenal. Perkosaan terjadi pada anak-anak -dilakukan oleh lelaki dewasa. Perkosaan oleh mereka yang punya hubungan kekuasaan dengan yang dikuasainya (buruh ole hmajikan, murid oleh guru, rakyat di daerah konflik oleh militer).

Cara pandang kedua melihat bahwa penyebab perkosaan adalah rendahnya relasi kuasa korban dan bukan karena cara berpakaian. Dengan cara pikir seperti itu, penanganan perkosaan bukan dengan menata cara perempuan berprilak umelainkan dengan mengatur hal-hal yang memungkinkan terjadinya kerentanan perempuan dalam posisi sosial dan politiknya. Bukan memaksa perempuan menutup aurat misalnya, tetapi menghukum seberat-beratnya lelaki memperkosa.

Harus diakui,cara candang pertama memang jauh lebih populer bukan saja karena cara pandang keagamaan menyumbang dalam konsep aurat perempuan, namun cara pandang ini juga tak membutuhkan kecerdasan untuk mencari akar masalah perkosaan. Persoalannya, cara pandang pertama ini takkan pernah bisa mengurangi apalagi mengakhiri perkosaan meskipun bisa digunakan untuk alat kampanye. Satu hal yang pasti, cara pandang serupa itu pasti dapat digunakan untuk membuktikan betapa naifnya seseorang untuk tidak dikatakan betapa dangkal cara berpikirnya.
______________
Penulis adalah aktivis perempuan, Pengurus Yayasan Rumah Kitab

Minggu, 15 Agustus 2010

Buku Baru Rumah Kitab; "Hidup Bersama Ramadhan"


Inilah buku baru produk Rumah Kitab yang segera diterbitkan penerbit Isfahan, ditulis oleh KH. DR. Affandi Mochtar, MA dan kawan-kawan aktifis Rumah Kitab, Mukti Ali, Ali Mursyid, Roland Gunawan dan Ibi Syatibi. Diedit oleh Ibi Syatibi, dan diarahkan oleh Lies Marcoes Natsir

Buku ini memuat berbagai tulisan menarik seputar Ramadhan, terutama mengenai rekonsepsi zakat, dengan berlandaskan pada khazanah klasik kitab-kitab pesantren. Tunggu kehadirannya di pasaran

Rabu, 11 Agustus 2010

Menyambut Ramadhan



Oleh Ali Mursyid

Jika hari-hari ini akan Anda menyempatkan diri berjalan-jalan di beberapa pusat perbelanjaan, maka akan banyak menemukan seperangkat baju takwa, baju koko atau disebut juga baju muslim, yakni baju dengan potongan kerah dan lengan yang ‘khas’, dilengkapi dengan sarung, kopyah plus tasbih yang diperuntukkan bagi pria. Sementara untuk wanitanya tersedia baju gamis, kebaya panjang, dilengkapi dengan kain kerudung atau jilbab dengan berbagai ukuran dan modelnya. Sepertinya sudah mentradisi jika menjelang bulan Ramadhan, baju-baju model demikian stoknya bertambah di pasaran. Ini karena memang permintaan konsumen bertambah.

Menghadapi bulan Ramadhan, orang berduyun-duyun memborong berbagai keperluan, terutama yang berkaitan dengan perlengkapan peribadatan, persiapan buka dan sahur dan yang semacamnya. Mereka rela merogo kantong menguras kocek untuk mendapatkan baju takwa kopyah, jilbab, mukenah dan sajadah baru. Meski harga baju takwa, apa lagi yang ekslusif dengan berbagai pernik-pernik, tidaklah murah. Namun bagi mereka ini tidak jadi masalah. Ini semua demi kekhusuan ibadah di bulan Ramadhan. Ini semua demi menyambut Ramadhan yang penuh berkah.

Tetapi ironisnya, mereka seolah tidak terganggu dengan pemandangan mengenaskan di jalan-jalan. Masih banyak anak jalanan terlantar, yang mengamen di bis-bis kota hingga larut malam, tukang ojeg yang rebutan penumpang, gelandangan dan para tuna wisma yang tinggal di kolong-kolong tol, mereka yang tinggal di kawasan kumuh dan tak layak jadi tempat tingal.

Kalau kita tanya apa agama mereka? Maka hampir dipastikan, Islam jawabnya. Lalu adakah mereka siap menyambut Ramadhan. Baju takwa, sarung dan kopyah baru macam apa yang akan mereka kenakan untuk taraweh berjama’ah. Mukenah, gamis, jilbab seharga berapakah yang dikenakan perempuan-perempuan dari kalangan kurang beruntung ini. Menu atau buah-buahan macam mana yang mereka suguhkan untuk acara berbuka dan sahur keluarga. Dari hal ini, adakah rasa keprihatinan di hati kita, yang mampu memborong segala perlengkapan untuk bulan Ramadhan walau dengan harga yang tidak murah?

Padahal kita tahu, ibadah puasa bukan hanya untuk orang yang berharta saja. Lebih-lebih bila mengingat saudara-saudara kita di beberapa daerah yang pernah kena bencana, yang menjadi korban meledaknya gas, dan berbagai kemalangan lainnya. Bagaimana persiapan mereka menyambut Ramadhan?

Bercermin Pada Si Miskin

Ramadhan merupakan bulan istimesa bagi umat Islam, kedatangannya selalu dinantikan oleh mereka yang beriman. Di bulan ini, Allah menurunkan al-Qur’an dan Lailatul Qadar, malam bernilai seribu bulan. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan , ikhlas dan sungguh-sunguh, pahalanya akan dilipatkan beribu kali. Bahkan untuk ibadah puasa, Allah sendiri yang akan membalas dengan pahala yang tiada terkira. Dikatakan dalam satu hadits bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu bernilai ibadah. Di mata Allah bau mulut orang yang berpuasa adalah harum bagai perfume misik, demikian dalam hadis lain. Karena itu, tidaklah heran, jika kemudian umat Islam menyiapkan diri secara khusus untuk menyongsong kedatangan Ramadhan al-Mubarak ini.

Namun disayangkan kalau persiapan itu hanya persiapan fisik, tanpa diberangi persiapan mental keruhanian. Bukankah ibadah puasa mengajarkan kita untuk dapat merasakan penderitaan dan keprihatinan orang lain? Dengan tidak makan dan minum di siang hari, bukankah kita sedang merasakan mereka yang lapar? Dengan tarawih, tadarus dan bangun malam di bulan Ramadhan, bukankah kita sedang belajar merasakan penderitaan mereka yang hingga malam terpaksa terus mencari nafkah, seperti orang-orang pinggiran yang digambarkan di atas? Persiapan mental keruhanian itu penting, agar puasa kita tidak hanya bernilai lapar dan dahaga. Nabi Muhammad saw mensinyalir hal ini dengan bersabda, “Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa, keculai lapar dan dahaga”.

Bukankah ibadah puasa yang dapat menyebabkan terhapusnya dosa-dosa itu adalah yang didasari atas keimanan dan kesunguhan mengharap ridha Allah swt. Lalu bagaimana ini dapat kita lakukan, sementara kita-kita membeli barang-barang mewah, walau itu untuk persiapan puasa, tanpa memperdulikan perasaan mereka yang lapar. Bagaimana kita dapat berpuasa atas dasar keimanan, kalau orang lapar, orang susah, anak yatim yang menderita di sekeliling kita, tidak mengganggu perasaan kemanusiaan kita sedikitpun.
Sedangkan Nabi Muhammad saw bersabda: “Seseorang tidak dapat disebut beriman jika masih ada tetangga yang masih lapar”. Jadi jangan-jangan persiapan menyongsong puasa yang kita lakukan justru merusak nilai ibadah puasa yang kita harapkan.

Untuk itu, mari bercermin pada orang-orang miskin yang memang sudah kenyang dengan penderitaan. Kita berpuasa, belajar memahami penderitaan mereka. Mereka inilah guru kita dalam menggapai ridhah Allah swt. Menyia-nyiakan, menelentarkan atau menganggap mereka hanya sebagai tempat beramal adalah tindakan dan anggapan yang keliru. Menjadikan mereka guru dalam menjalani penderitaan, bukan hanya memahami dan tidak menyakiti perasaan mereka, tetapi juga memberdayakan mereka secara bersama-sama kea rah kehidupan yang lebih baik. Pahala ibadah puasa memang hanya Allah yang dapat membalasnya, tetapi Allah dan Rasul-Nya selalu bersama mereka yang lapar dan miskin.
________
*Penulis adalah aktifis Rumah Kitab yang kebetulan bekerja sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah dpk di IIQ Jakarta

Rabu, 04 Agustus 2010

Sambut Ramadhan Rumah Kitab Selenggarakan Sema’an Kubro

BEKASI – Minggu 01/08/2010 Yayasan Rumah Kita Bersama (Rumah Kitab) di Taman Raflesia 18 A Bekasi menyelenggarakan acara penyambutan bulan suci Ramadhan tahun ini dengan menyelenggarakan acara Sema’an Kubro. Acara sema’an kubro ini tiada lain diniatkan untuk memperoleh berkah dari mengkhatamkan dan mendengarkan al-Qur’an, kata Kang Tolhah sebagai koordinator acara.

Acara Sema’an Kubro yang dihadiri tidak kurang tiga ratus hadirin ini mendatangkan puluhan hafidz dan hafidzah (para pengahfal al-Qur’an) dari Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) dan PTIQ Jakarta. Acara ini dimulai dengan sema’an al-Qur’an tahap pertama yang dimulai pagi-pagi sekali dan dibuka dengan pembacaan surah al-Fatihah oleh pengasuh Yayasan, DR. KH. Affandi Mochtar, MA. Saat itu yang hadir adalah warga sekitar.

Menjelang siang, sementara acara sema’an masih berlangsung, acara pembacaan tahlil pun dimulai, yang dipimpin langsung oleh Kang Pandi, panggilan akrab Affandi Mochtar. Setelah itu acara dilanjutkan dengan diskusi warga. Saat itu yang hadir adalah keluarga Kang Pandi dari Babakan Ciwaringin dan warga Babakan Ciwaringin Cirebon yang tinggal di Jadebotabek. Acara diskusi warga itu dipimpin oleh DR. KH.
Maksum Mochtar, MA, kakanda Kang Pandi. Hadir juga dalam acara tersebut, H. Kosim, kepala desa Babakan Ciwaringin Cirebon. Dalam diskusi warga tersebut, disepakati warga membentuk forum warga Babakan se Jadebotabek.

Saat dzhuhur tiba, acara diistirahatkan sebentar, untuk makan siang, istirahat dan shalat. Selanjutnya acara Sema’an dilanjutkan sampai ashar tiba, hingga para hufadz mengkhatamkan bacaan al-Qur’annya. Seiring dengan itu acara ramah tamah keluarga pun terus berlangsung. Ba’da Maghrib, acara khatmil Qur’an pun dilangsungkan dengan khidmat. Hadirin yang hadir saat itu adalah keluarga Kang Pandi, para hufadz dan para aktifis Rumah Kitab. Pembacaan ayat-ayat al-Qur’an dalam kathmil Qur’an itu dibacakan oleh keluarga Kang Pandi, satu demi satu, dari mulai Ibu Mertua Ny. Hj. Mahsunah dan Bpk. Mertua, KH. Muhtadi sampai pada keponakan-keponakan, seperti Ibi Syathibi. Acara ditutup dengann doa khatmil Qur’an oleh salah seorang hafidzh. (AMsid)

Minggu, 01 Agustus 2010

Hukum Kekerasan Atas Nama Agama


Mukti Ali el-Qum- Koord. Kajian Teks Kitab Kuning di Rumah Kitab.

Rumah Kitab menyelenggarakan Bahsul Masail dengan tema: Tindak kekerasan Atas nama Agama Dalam Pandangan Kitab Kuning. Kegiatan ini merupakan bagian dari unit Kajian bekerjasama dengan unit Pengembangan Masyarakat dari Yayasan Rumah Kitab. Kegiatan ini diikuti oleh sejumlah peserta dengan latar belakang alumnus Pondok Pesantren Tradisional-Salafiyah dari daerah Bekasi, Ciputat, Pulogadung dan Cakung yang berbasis pengetahuan Kitab Kuning. Untuk diketahui Bahtsul Masail merupakan ajang penggalian hukum yang genuin produk NU guna menjawab persoalan nyata dan kontemporer yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dan diasumsikan membutuhkan tanggapan dari pandangan agama.

Peserta Bahsul Masail ini adalah perwakilan Masjid al-Falah, Ustadz Ahmad Khudzlari dan Ustadz Syahrul Kamal; delegasi Pondok Pesantren An-Nida, Ustadz Ahmad Zakahsyari, Nurhidayah dan Ustadz Muhammad Trisna; pengurus NU Bekasi, Ustadz Muhammad; perwakilan Pondok Pesantren Miftah al-‘Ulum, ustadz Abdul Basith, dan staf Rumah Kitab. Seluruh peserta berjumlah tujuh belas orang.

Persoalan yang dibahas dalam Bahsul Masail kali ini adalah praktik kekerasanyang dilakukan atas nama pembelaan atau penegakkan ajaran agama menurut mereka. Praktik ini belakangan terjadi lagi dengan modus yang semakin melebar tak terbatas pada persinggungan antar agama. Jika sebelumnya kekerasa itu terkait langsung dengan gesekan antara keyakinan seperti penyerangan terhadap kelompok agama lain, perusakan rumah ibadat, pembubaran kegiatan yang diasumsikan sebagai kegiatan keagamaan, belakangan ini kekerasan sampai merambah kepada pengrusakan karya seni, atau pembubaran kelompok diskusi yang dianggap tidak cocok dengan pandangan mereka seperti pembubaran kelompok diskusi yang diikuti oleh kelompok gay dan lesbian, atau ex tapol Gerakan 30 September.

Persoalan kedua adalah, ketika hal ini terjadi masyarakat melihat dan menganggap bahwa aparat penegak hukum yang seharusnya memberikan perlindungan ternyata tidak bekerja sebagaimana mestinya.. Karenanya kekerasan horizontal kemudian terjadi. Fenomena kekerasan ini terus menghiasi pemberitaan di media massa baik cetak maupun elektronik.

Dan dari latar belakang tersebut muncul beberapa pertanyaan sebagai acuan diskusi dalam Bahsul Masail berikut:
1. Bagaimana hukumnya melakukan kekerasan atas nama agama dengan tanpa menghiraukan hukum yang sudah diatur oleh negara?
2. Bagaimana hukumnya aparatur negara yang membiarkan terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh sebagian warga negara kepada sebagian warga negara yang lain?
3. Bagaimana hukum penggunaan atribut keulamaan yang digunakan untuk melakukan pengerahan massa untuk tindakan kekerasan dan berprilaku preman?

Sebelum memperdebatkan jawabannya secara hukum, ada dua langkah yang dilakukan moderator sekaligus fasilitator Mukti Ali el-Qum. Pertama, memperjelas kronologi dan kedudukan masalah, khususnya ruang-lingkup definisi kekerasan. Kedua, memformulasikan persoalan dan pertannyaan agar mendapatkan jawaban yang tepat dan relevan sesuai dengan persoalan yang muncul di lapangan. Dua langkah tersebut harus ditempuh sebab dalam menghukumi sesuatu, terlebih dahulu harus dijelaskan secara komprehensif kedudukan mahkum ‘alaihi (obyek yang dihukumi). Cara seperti ini mutlak dalam metodologi pengambilan hukum yang dikembangkan oleh Bahsul Masail karena secara metodologis adalah tidak mungkin menghukumi sesuatu yang belum atau tidak diketahui (majhul) duduk masalahnya. Untuk kepentingan tersebut moderator meminta sa’il (narasumber) menjelaskan masalah yang disampaikan oleh Ali Mursyid.

Dalam penjelasannya Ali Mursyid mengatakan bahwa mendiskusikan dan melakukan pembelaan terhadap mereka yang mengalami tindak kekerasan (korban) oleh kelompok lain (pelaku) bukan berarti kita sedang bersetuju dengan pandangan, pikiran, keyakinan orang yang menjadi korban. Posisi Rumah Kitab adalah menilai atas tindakan yang dilakukan pelaku ketika mengambil alir peran negara dalam melakukan fungsi –fungsi pengamanan. Selain itu Ali Mursyi menyatakan bahwa,

 Belakangan negara Indonesia dengan umat Islam terbesar di dunia, dilanda isu dan kasus yang biasa media menyebutnya sebagai ‘kekerasan atas nama agama’.
 Beberapa kelompok yang menyatakan dirinya sebagai ‘kelompok umat Islam’ diberitakan melakukan tindak ‘kekerasan’ atas kelompok warga negara lainnya, baik yang beragama Islam atau non-Islam.
 Kekerasan atas nama agama terjadi: karena ada kelompok yang distigma sebagai kelompok sesat, dan dituduh secara sepihak sebagai yang membahayakan Aqidah.
 Kekerasan terjadi atas nama agama karena ada kelompok yang distigma sebagai yang melanggar moral atau melakukan perbuatan amoral.
 Kekerasan atas nama agama terjadi karena ada kelompok yang merasa paling benar sendiri sementara yang lain dianggap salah.
 Kekerasan atas nama Agama terjadi karena aparatur negara/negara lemah, baik dalam menegakkan hukum, juga lemah dalam bertindak tegas pada pelanggaran hukum dan moral
 Kekerasan atas nama Agama muncul karena Negara melakukan pembiaran.
 Kekerasan atas nama agama terjadi karena pemahaman/keyakinan yang mendukungnya.


Tinjauan Pengantar:

 Islam = Agama Damai (Rahmatan lil ‘Alamin)
 Dalam Islam ada ayat-ayat perang, dan ada ayat-ayat damai.
 “La Ikraha fi al-Din” (Tidak ada paksaan dalam agama)
 Hadits: Abghadul ‘Ibad Ilallah man kaana tsubuhu khairan min amalihi, tsubuhu tsubal anbiya wa ‘amaluhu amalal jabbarin.


Karena terkait dengan peran negara, maka diskusi ini terlebih dahulu mendudukan status pemerintah Indonesia di mata Kitab Kuning. Tentang kedudukan dan status Indonesia itu diangkat secara kritis oleh Muhmmad Tisna yang berawal dari konsep ketaatan kepada pemerintah atau ulil-amri. Kitab Kuning (KK) yang dianggap mu’tabarah sangat jelas menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia termasuk ke dalam pemerintah yang sah dan harus dipatuhi aturan dan undang-undangnya. Dalam pandangan KK legitimasi keabsahan pemerintah Indonesia diperoleh dari konsep Indonesia sebagai waliyul amri dhlaruri bisy syaukah (penguasa darurat sebab kekuasaannya). Hal ini antara lain diambil dari pandangan Imam al-Ghazali yang berpendapat bahwa,

“keberadaan syarat-syarat (yang seharusnya ada bagi seorang pemimpin) secara utuh dan komprehensif adalah sulit bagi umat Islam pada masa sekarang ini. Hal ini disebabkan karrena sudah tidak adanya mujtahid independen (mustaqil). Dengan demikian, rakyat harus merelaisasikan dan mematuhi semua kuputusan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh penguasa, walaupun penguasa itu bodoh atau fasik. Hal ini diperlukan agar kepentingan serta kemaslahatan umat Islam terpenuhi dan tidak disia-siakan. Menurut Imam Rafi’i pendapat tersebut adalah “lebih baik dan relevan” daripada meniadakan fungsi negara. Dan dalam keterang berikutnya dikatakan bahwa jika darurat maka hukum tetap sah direalisasikan selama maslahat manusia tidak terlantar, tidak disia-siakan dan terjaga. Dengan mengacu pada pendapat tersebut, maka kita dapat menyimpulkan bahwa menurut penjelasan yang termuat dalam Kitab Kuning menyatakan bahwa pemerintah Indonesia adalah sah dan harus dipatuhi kebijakan serta perintahnya. Dengan mengacu pada pendapat tersebut, maka pemerintah Indonesia adalah sah dan harus dipatuhi kebijakan serta perintahnya. Sehingga atas nama apapun, jika gerakan tertentu mengarah pada penentangan atas perintah dan kebijakan pemerintah maka tidak diperbolehkan.

Seacara de fakto pemerintah saat ini merupakan organisasi yang menjalankan mandat negara sebagai pihak yang memperoleh legitimasi melalui Pemilu untuk menjalankan pemerintahan. Antara lain Pemerintah mendapatkan mandat untuk melakukan fungsi-fungsi perlindungan dan pengamanan. Dengan demikian, maka siapapun dan atas nama apapun tidak ada unsur lain di luar badan negara yang berhak melakukan aksi atau gerakan tertentu yang mengarah pada tindakan-tingakan yang seolah-olah menjai perpanjangan fungsi negara dalam mengatur pengamanan. Ahmad Zamakhsyari, salah satu putra kyai Pondok Pesantren An-Nida Bekasi menyatakan bahwa penentangan atas perintah dan kebijakan pemerintah yang legitimate tidak dibenarkan.

Diskusi ini juga membahas tentang status negara Indonesia dalam perspektif KK. Seperti diketahui, paska reformasi persoalan status Indonesia sebagai negara dan bangsa sempat dimunculkan kembali. Antara lain isu ini diungkap dan dibahas secara terbuka oleh Hibu at-Tahrir meskipun tak mendapat resons serius oleh masyarakat luas. Mereka mengusung isu untuk mempertanyakan kembsli legitimasi negara atau setidaknya mengajukan tawaran alternatif dari negara-bangsa (nation-state) ke bentuk negara lain seperti Daulah Islamiyah. Isu ini diusung oleh sabagian partai yang bervisi Islam dan juga oleh sebagian gerakan radikal agama seperti Hizbu at-Tahrir . Golongan yang menghendaki perubahan status Indonesia ini dimunculkan oleh gerakan trans-nasional berhaluan Wahabisme yang berusaha membawa pemahaman ideologis yang dikembangkan oleh para pemikir ideologi Islamisme yang umumnya berkembang di Timur Tengah.

Karena basis pemikiran itu muncul dari tradisi Wahabisme yang dikembangkan dalam ideologi Islamisme di Timur Tengah yang seolah-olah melulu mengacu sepenuhnya kepada Al Qur’an dan al Hadits, maka sudah barang tentu mereka anti-Kitab Kuning atau bahkan menihilkan kaidah-kaidah ushul fiqh yang telah dikembangkan oleh para pemikir Islam yang kemudian didokumentasikan dalam Kitab Kuning. Padahal kaidah-kaidah yang dikembangkan Kitab Kuning itu merupakan bacaan teksual dan kontekstual para ulama baik klasik maupun kontemporer yang mengakar pada tradisi Islam lokal Indonesia yang bersumber dari al-Quran dan al-Hadits.

Sebagai Moderator Mukti Ali el Qum menyatakan bahwa bila mengacu pada penjelasan yang dikembangkan Kitab Kuning yang dikaji di pesantren-pesantren tradisional-salaf, kita akan menemukan pandangan yang kontekstual tentang status negara bangsa Indonesia. Seorang ulama Mufti Hadlramaut Yaman As-Sayyid ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin ‘Umar Ba’alwy menulis bahwa

“setiap tempat atau daerah yang pernah dihuni oleh umat Islam dengan nyaman dan damai serta dapat mencegah dari kafir harbi (non-Islam yang memerangi umat Islam) di satu masa di mana hukum-hukum (Islam) pernah dipraktikkan maka itu adalah dar Islam (daerah Islam). Meski pun kemudian dijajah oleh non-Islam tapi umat Islam berusaha membendungnya. Pada masa penjajahan itu (Indonesia) layak disebut sebagai wilayah dar harb (daerah konflik dan perang) namun dalam itu terjadi bentuknya saja. Sementara secara hukum (Indonesia) tetap merupakan sebagai dar Islam. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa “Bumi Betawi bahkan bumi Jawi secara keseluruhan adalah dar Islam sebab telah dikuasai oleh umat Islam, sebelum dikuasai dan dijajah non-Islam (Belanda)”. Jadi jelaslah bahwa Nusantara (disebutkan dengan istilah bumi Betawi dan Jawa) adalah daerah Islam (dar Islam) dan sama sekali tidak disebutkan sebagai Negra Islam (daulah Islam).

Setelah selesai mendudukkan hukum pemerintah dan negara Indonesia dalam konteksnya, peserta Bahsul Masail kemudian membahas hukum tindakan kekerasa atas nama agama. Dalam membahas persoalan tersebut, salah satu peserta, Ahmad Khludlari, mengusulkan agar sebelum memasuki pertannya tersebut terlebih dahulu dibahas konsep amar ma’ruf dan nahi munkar: Ini penting karena umumnya para pelaku tindak kekerasan itu menggunakan dalih bahwa tindakannya merupakan amar ma’ruf nahi munkar atau bakan jihad.

Akhirnya bahsul masail diarahkan pada pembahasan amar ma’ruf dan nahi mungkar dan kemudian jihad. Pertama, para peserta bersepakat bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai motif dan tujuan kekerasan atas nama agama tidak bisa dibenarkan. Benar bahwa,

Keduanya—artinya amar ma’ruf dan nahi munkar adalah pondasi agama dan bahkan sebagai tujuan diutusnya para Nabi, dan Allah berfirman: “Dan jadikanlah dari kalian segolongan umat yang mengajak kepada kebaikan, menganjurkan yang ma’ruf (kebenaran) dan melarang yang mungkar”. Ayat ini menunjukkan sebuah perintah (amar) dimana dalam paradigma ushul fikih bahwa kalimat perintah mengindikasikan hukum wajib dilakukannnya apa yang telah diperintahkan yang terdapat dalam substansi (al-amru lil-wujub/al-amru tadullu ‘ala al-wujub). Sehingga amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai sesuatu yang diperintahkan adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh umat Islam. Meski demikian, perintah tersebut masih bersifat gelobal (mujmal). Sehingga membutuhkan keterangan-keterangan yang lainnya yang dapat menjelaskan secara rinci isi kandungannya, semisal dari hadits-hadits Nabi dan ijtihad para ulama. Agar dapat direalisasikan sebuah perintah tentunya harus ada prosedur, mekanisme dan syarat-rukun yang harus dipenuhi. Roland Gunawan, salah satu staf Rumah Kitab menjelaskan bahwa amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai motif dan tujuan kekerasan atas nama agama tidak bisa dibenarkan. Sebab ada beberapa syarat dan etika bagi seorang yang merealisasikan amar ma’ruf dan nahi mungkar sebagaimana pendapat Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa

Ada tiga etika yang harus dimiliki seorang yang menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar yaitu 1. Berilmu; dengan ilmunya ia dapat mengetahui secara pasti hal-hal yang dilarang (munkar) dan hal-hal yang dianjurkan atau diwajibkan (ma’ruf). 2. Wira’i, yaitu hidup secara benar dan berada dalam rel syariat, 3. Memiliki etika yang baik (husnul al-khuluq) dengan berkarakter lemah lembut dan welas-asih. Dan etika yang baik ini adalah pondasi amar ma’ruf dan nahi munkar yang paling dasar dan paling asasi.

Dan etika bagi pelaku amar ma’ruf dan nahi munkar tersebut dipertegas, didukung dan bahkan ditambah poin-poinnya oleh Syekh ‘Abdul Qadir al-Jailani menjadi lima etika atau syarat, yang pertama sesuai dengan syarat yang ditetapkan al-Ghazali, yaitu orang yang mengetahui (‘alim) sejara persis apa yang diperintahkan dan yang dilarang; kedua bertujuan hanya semata-mata karena mencari ridla Allah, tidak bertujuan selain Allah seperti tujuan politik atau pamer; ketiga harus dengan cara-cara yang lembut dan bermartabat; keempat sabar dan bijaksana; kelima mengamalkan apa yang diperintahkan dan menjauhi larangan. Dibawah ini kita tampilkan kutipan penjelasan secara langsung:

Kedua, menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak boleh serta-merta dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Sebab ada beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui, yaitu,

Pertama: Harus diketahui secara pasti bahwa objek tindakan amar makruf itu adalah maksiat dan munkar. Untuk itu pun syaratnya sangat ketat. Seorang yang melakukan kemunkaran karena ketidaktahuannya maka amar maruf yang harus dilakukan adalah memberi pengetahuan hukum-hukum agama dan mengingatkan bahwa apa yang dilakukan itu adalah perbuatan munkar. Dalam upaya itu amar maruf harus dilakukan dengan cara-cara persuasif, pendekatan dari hati ke hati tanpa menyakiti perasaannya dan membuka aib. Tahapan ini sang penegak amar ma’ruf dan nahi mungkar dituntut untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pelaku munkar, sembari memberi masukan pengetahuan yang postif dan selaras dengan ajaran Islam yang benar.

Kedua: Lebih dulu melakukan pencegahan dengan cara memberi nasihat, mengingatkan pada pelaku bahwa perbuatannya dibenci Allah. Tahapan ini diberlakukan kepada pelaku munkar yang sebenarnya mengetahui bahwa perbuatnnya adalah munkar.

Ketiga: Amar ma’ruf disamapikan secara tegas manakala cara-cara persuasif dan nasihat tidak ditanggapi.

Keempat : Amar ma’ruf disampaikan dengan menyerahkan persoalan ini kepada pihak negara sebagai pihak yang diberi wewenang untuk menjalankan amar maruf..

Jika kita mengacu pada ayat al-Quran yang berbicara tentang strategi mengajak manusia untuk berbuat baik, sudah barang tentu kita tidak akan menemukan anjuran kekerasan atas nama agama malah justru kita akan menemukan anjuran agar berfikir stategis dan tidak anarkis, sebagaimana firman Allah:

Allah berfirman: “Ajaklah (umat manusia) ke jalan yang diridlai Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan), nasehat yang baik dan berdiskusi dengan baik”. Ayat di atas menyebutkan mekanisme bagaimana menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara-cara yang damai dan penuh, persuasif, dengan bernuansa ilmiah. Sebab hanya dengan pengetahuan kita dapat meluruskan dan memberitahukan atas amar ma’ruf dan nahi mungkar. Sehingga dalam hadits di bawahnya Rasulullah berkata bahwa “barang siapa yang memerintahkan yang ma’ruf, maka hendaklah perintahnya dengan cara ma’ruf (baik dan benar).” Hadits ini adalah batasan, baik pelaku amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah pemerintah atau rakyat—baik individu atau golongan—harus dengan cara-cara yang ma’ruf, tidak boleh dengan cara-cara yang mungkar. Meskipun pemerintah mempunyai otoritas untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan tegas akan harus dengan cara yang ma’ruf, tidak boleh semena-mena, sewenang-wenang dan jika penguasa melakukan kekerasan tanpa ada kemaslahatan bagi rakyat atau bahkan merugikan rakyat maka tidak boleh.

Tanggapan atas konsep amar ma’ruf dan nahi mungkar ini dikemukakan oleh Jamaluddin Muhammad staf peneliti Rumah Kitab. Menurutnya meskipun negara atau penguasa mendapatkan wewenangnya untuk melakukan tindakan tegas sebagai perwujudan amar marufnya, namun penguasa tidak boleh melakukan kekerasan tanpa ada kemaslahatan bagi rakyat atau bahkan merugikan rakyat. Sebab dalam kaidah ushul fiqh yang digunakan sebagai dalil dalam banyak Kitab Kuning disebutkan bahwa

tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil-maslahat (kebijakan pemimpin atas rakyatnnya harus selaras dengan kemaslahatan bagi rakyatnya). Dengan mengacu pada kaidah ini maka prinsip dasar yang harus ditegakkan adalah bahwa yang diutamakan adalah kemaslahat bagi rakyatnya. Dalam kaidah Kitab Kuning lainnya disebutkan, jika ada dua jalan yang hendak dilakukan untuk menegakkan kebenaran, maka memilih cara yang akan membawa kemaslahatan (cara damai, non kekerasan) itu lebih baik daripada memilih jalan kekerasan. Sebab setiap tindak kekerasan tidak bisa menjamin adanya maslahat, bahkan sebaliknya justru dapat memunculkan persoalan baru, sementara cara persuasuf sudah barang tentu akan membawa kemaslahatan.

Pengertian tentang kemaslahatan berdasarkan kaidah fikih ini merupakan asupan dari KH. Affandi Mochtar dimana beliau menambahkan bahwa pemerintah pun tidak boleh menggunakan kekerasan dalam menindas rakyatnya.Ketegasan diperlukan dengan berpegang teguh dan komitmen pada Undang-Undang dan hukum negara yang berlaku. Berdasarkan prinsip itu rakyat tidak boleh dinistakan, dianiyaya dan didzalimi, lantaran pada hakikatnya pemimpin adalah pelayan bagi umatnya. Sayyidul-ummah khadimuha (pemimpin umat adalah pelayannya). Pelayan dituntut untuk memberikan servis dan pelayanan yang baik bagi yang dilayani yaitu rakyat.

Karena menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara-cara yang tegas (bukan dalam pengertian kekerasan yang negatif) adalah hak perogratif pemerintah, maka siapa pun dan golongan manapun dari masyarakat sipil yang melakukan kekerasan atas nama agama dengan alasan menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah tindakan yang tidak diperbolehkan (haram).

Pemerintah sebagai pelayan rakyat dituntut untuk memberikan servis dan pelayanan yang baik bagi yang dilayani yaitu rakyat. Jika kita cermati dengan seksama bahwa kaidah di atas (tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bil-maslahat) mengandaikan bahwa maslahat sebagai landasan pokoknya adalah maslahat menurut rakyat, bukan maslahat menurut pemerintah. Kita harus menghindari “pelintiran” yang sering terjadi dan membalikkan keadaan yang akhirnya ternyata dalam alam riil sering kali pemerintah menetapkan kebijakan tidak atas dasar kemaslahat bagi rakyatnya, melainkan atas dasar kemaslahat bagi pemerintah atau bagi golongannya sendiri (atau juga karena kemaslahatan bagi pengusaha?) yang diatas namakan kemaslahatan rakyatnya. Sehingga ketika kemaslahatan menurut pemerintah direalisasikan menuai kritik dan protes keras dari rakyatnya. Dan hal ini tidak dibenarkan menurut syariat, sebab seperti yang tercantum dalam kutipan di bawah ini yang menyatakan bahwa siapapun pelaku amar ma’ruf dan nahi mungkar baik dari pemerintah dan aparatur negara, rakyat sipil baik golongan, ormas, dan individu, jika dengan tindakan amar ma’ruf dan nahi mungkar menimbulkan fitnah (kerusakan), caos dan disintegrasi bangsa (bahasa al-Ghazali dengan istilah yuhayyiju’ as-syar) maka tidak boleh. Meski menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dengan cara-cara yang tegas (bukan dalam pengertian kekerasan yang negatif) adalah hak perogratif pemerintah tetap tidak boleh jika akan menimbulkan bahaya yang jauh lebih besar seperti disintegrasi bangsa. Apalagi dari golongan manapun dari masyarakat sipil yang melakukan kekerasan atas nama agama dengan alasan menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah tindakan yang tidak diperbolehkan (haram) sebab ada pihak yang lebih berwenang yaitu pemerintah dan akan menimbulkan masalah yang lebih runyam. Di samping itu, seperti yang dikatakan Imam Fahruddin ar-Razi bahwa

“Sebagaimana yang telah kita ketahui dengan seksama bahwa mengajak pada kebaikan disyaratkan harus mengetahui kebaikan, ma’ruf dan munkar secara tepat. Sebab jika seseorang yang tidak punya kapasitas keilmuan yang mumpuni (jahil) sering kali bukan mengembalikan pada kebenaran tapi pada kesalahan (bathil), memerintahkan perkara munkar dan melarang atau mencegah perkara ma’ruf; terkadang hanya mengetahui hukum-hukum versi madzhabnya sendiri dan tidak mengetahui madzhab sahabatnya yang akhirnya ia melarang sesuatu yang bukan mungkar yang dilakukan sahabatnya; menyikapi kemungkaran yang seharusnya disikapi dengan lemah-lembut justru disikapinya dengan kekerasan; atau yang mestinya disikapi dengan ketegasan justru disikapi dengan lemah-lembut. Dan seterusnya akan terjadi kerancuan.” Pandangan Fahruddin ar-Razi itu dilontarkan Ahmad Khudari. Dan kita tahu bahwa dalam konteks Indonesia, kekerasan atas nama agama sering kali digerakkan oleh sebuah organisasi yang sebagian anggota-anggotanya banyak yang awam. Sehingga tindakan brutal dan anarkisme yang mestinya tidak dilakukan justru secara fulgar mereka lakukan dan yang disayangkan lagi mengatasnamakan agama dan umat.

Satu poin lagi yang tersirat dalam ‘ibarat (keterangan) di atas bahwa menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar hanya pada wilayah persoalan yang disepakati bersama umat Islam (mujma’ ‘alaihi), bukan wilayah mukhtalaf fihi (yang diperselisihkan dan diperdebatkan). Sehingga tidak boleh menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam wilayah persoalan yang diperdebatkan dan masing-masing madzhab memiliki pendapat sendiri-sendiri. Seorang yang bermadzhab Syafi’iyyah, misalkan, tidak boleh mengingatkan dan menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar pada seorang yang bermadzhab Hanafiyah. Sebab sesuatu yang di mata Syafi’iyyah adalah mungkar belum tentu di mata Hanafiyah juga mungkar, dan demikian juga sebaliknya. Di sini masing-masing dituntut untuk toleran dan menghargai perbedaan.

Di sela-sela pembahasan, Nur Hidayah seorang peserta bahsul hidayah melontarkan pertannyaan bahwa bagaimana solusi bagi kita yang tahu bahwa menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar tidak boleh dilakukan secara serampangan sementara saudara kita seagama sebagian telah melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar secara gegabah? Jawaban peserta Bahtsul Masail adalah bahwa kita berkewajiban untuk memberi tahu kepada mereka tentang pengetahuan amar ma’ruf dan nahi mungkar yang sesungguhnya.

Sejauh yang dikethaui para peserta Bahsul Masail, Kitab Kuning tidak penah membenarkan sikap keras atas nama agama dengan alasan jihad. Sebaliknya tindakan itu justru merupakan tindakan yang merusak lingkungan. Sebab jihad tidak harus identik dengan perang. Bahkan jihad jauh lebih luas pengertiannya daripada perang atau qital. Jamaluddin Muhammad membacakan keterangan dari kitab al-Bayjuri yang menegaskan bahwa jihad ada dua, yaitu jihad kecil berupa perang fisik dan jihad besar berupa memerangi hawa nafsu yang terus menerus ada dan akan selalu dihadapi oleh setiap manusia. Hadits Nabi menyatakan bahwa perang adalah jihad kecil dengan berkata raja’na min jihad al-ashghar ila jihad al-akbar (kita telah kembali dari jihad kecil berupa perang ke jihad akbar berupa berperang melawan nafsu). Hadits ini mengindikasikan bahwa jihad memiliki cakupan makna yang cukup luas tidak sebatas berperang. Oleh sebab itu kitab Fath al-Mu’ien dan dikomentari kitab I’anat at-Thalibin menyatakan bahwa

"jihad hukumnya fardlu kifayah, dan contoh jihad itu adalah seperti belajar ilmu agama, menjalankan syariat Islam, menyuarakan argumen-argumen dan hujah agama, melindungi warga sipil dari marabahaya yang mengancam, mengajurkan dan mengajak kebaikan serta melarang kemunkaran, menjawab salam dan menebar kedamaian bagi umat manusia. Terlihat bahwa pengertian jihad begitu luas sehingga jelaslah qital (perang) adalah bukan tujuan utama jihad.

Dalam realitas saat ini kita sering menyaksikan tindakan kekerasan seperti melakukan pengeboman yang menelan banyak korban warga sipil sekaligus kerugian materi yang tidak sedikit. Para pelaku umumnya meyakini bahwa tindakkan itu dibenarkan demi jihad dan diyakini matinya adalah syahid. Namun sejauh yang dipelajari dalam Kitab Kuning berpandangan itu tidak memperbolehkan bahkan diangap haram. Sebab dalam kaidah ushul fikh disebutkan bahwa la dzlarara wa la dzlirar (tidak boleh [jihad] dilakukan dengan membahayakan diri sendiri dan membahayakan lingkungan serta orang lain). Apa lagi dengan melakukan bom bunuh diri, sebab tindakan bunuh diri merupakan perbuatan tercela sebab bunuh diri adalah dosa besar dan perbuatan yang merusak . Al-Quran menegaskan bahwa wa la tulku bi aydikum ila at-tahlukah (tidak boleh tangan-tangan manusia untuk berbuat rusak) .

Golongan yang belakangan mendapatkan label terorisme sering kali melakukan aksi-aksi pengeboman atas nama jihad. Dan jika melihat secara cermat keterangan yang ada di atas bahwa Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa termasuk perbuatan yang merusak dan konyol yang tidak boleh dan tidak bisa dibenarkan (tahlukah) sebagaimana seorang muslim yang maju perang sendirian dalam medan perang yang terdapat golongan kafir yang banyak, dan ia sadar betul bahwa dirinya tidak ada kemampuan melawan, perang sendirian dan bahkan akan mati terbunuh. Atau sebagaimana orang buta yang hendak berperang yang untuk menjaga diri sendiri saja tidak mampu apalagi untuk berperang maka haram hukumnya maju ke medan perang karena termasuk pekerjaan yang merusak (tahlukah) dan tidak bisa dibilang sebagai jihad dan syahid. Kita bisa menganalogikan persoalan bom bunuh diri yang dilakukan terorisme dengan keterangan tersebut. Benang merah atau titik persamaan (jami’) antara keduanya adalah dalam hal sama-sama melakukan perbuatan yang merusak (tahlukah)—baik merusak diri sendiri bahkan merusak lingkungan dan orang lain. Karena itu, perbuatan bom bunuh diri atau ngebom sama sekali bukan termasuk pada kategori “jihad” dan syahid. Demikian moderator Bahtsul Masail, Mukti Ali el-Qum, menyimpulkan.

Kyai Muhammad, seorang peserta Bahsul Masail yang juga perwakilan NU Bekasi menggaris bawahi bahwa apapun alasannya bunuh diri adalah bunuh diri, karena itu tindakan itu tidak bisa dikatakan jihad. Meskipun mereka menyatakan demi amar ma’ruf dan jihad dalam pandangan Kyai Muhammad mereka sesungguhnya bukan mati dalam keadaan syahid. Kyai Abdul Basith, pengasuh Pondok Pesantren Miftah al-‘Ulum menyatakan bahwa dalam suasanan peperangan pun Islam telah mengatur etika perang, seperti dilarang membunuh warga sipil, membunuh kaum perempuan dan anak-anak, serta dilarang merusak lingkungan. Pada kenyatannya aksi bom atau bom bunuh diri itu sering kali menyasar warga sipil dan tidak beretika. Sehingga aksi tersebut kesalahannya berlipat ganda (murakab).

Bahtsul Masail ini juga menyoal munculnya gerakan-gerakan yang melakukan cara-cara pemaksaan kehendak dengan menebar teror dan kekerasan atas nama agama, atau menolak kedaulatan negara Indonesia dengan mengabaikan undang-undang atau peraturan yang telah dilahirkan secara konstitusional dalam Republik ini bahkan sebaliknya berusaha mengganti dengan hukum yang mereka ciptakan sendiri. Atas fenomena ini Bahtsul Masail ini kembali mengutip kekayaan khazanah Kitab Kuning yang menegaskan bahwa bahwa negara Indonesia adalah sah dan termasuk dar Islam. Oleh karena itu, barang siapa yang menentang, tidak mematuhi hukum dan undang-undangnya atau bahkan hendak membuat negara baru (negara di dalam negara) maka gerakan tersebut tergolong bughat (pemberontak) yang harus diberi sangsi hukum di Indonesia. Sebagaimana penjelasan KK di bawah ini yang menyatakan bahwa,

Barang siapa yang menentang, tidak mematuhi hukum dan undang-undangnya atau bahkan hendak membuat negara baru (negara di dalam negara) adalah sama artinya dengan membelot dengan undang-undang dan hukum negara, maka gerakan tersebut tergolong gerakan bughat (pemberontak) yang harus dihadapi dan bahkan diperangi atau dienyahkan dari Indonesia. Gerakan pembelot dari undang-undang dan hukum negara seperti duri yang ada di dalam daging negara, mengancam setiap saat dan akan terus menggerogoti negara dari dalam yang dikhawatrikan semakin melemah dan situasi tidak semakin membaik tapi disintegrasi bangsa dan kerusuhan dimana-mana. Madzlaratnya jauh lebih besar jika didiamkan daripada diperangi.

Para peserta Bahtsul Masail juga menyimpulkan bahwa penggunaan atribut keagamaan seperti pakaian ulama yang digunakan oleh orang dengan moralitas yang sebaliknya seperti preman, maka hukumnya haram. Ada dua alasan, yang pertama alasannya adalah bahwa Tuhan sangat benci kepada orang yang berpakaian atribut Nabi dan ulama, tapi berprilaku preman dan syaitan. Argumentasi ini dikemukan Kyai Khudlari dan Ali Mursyid dengan mengutip sebuah hadits yang berbunyi,

“Hamba yang paling dibenci dan paling membikin Allah murka adalah seorang yang pakaiannya lebih baik dari amalnya. Pakaiannya atribut para Nabi dan amalnya buruk seperti preman”. Akhir-akhir ini muncul istilah “preman berjubah” sangat selaras dengan apa yang diungkapkan dalam hadits tersebut. Penodaan terhadap antribut ulama dan Nabi tidak bisa dielakkan, dan akhirnya menimbulkan Islam fobia (takut terhadap Islam) karena nama baik Islam dengan pakaian sebagai simbol kesalehan telah tercoreng.

Alasan yang kedua, kesombongan yang tertanam dalam diri sang pemakai pakaian tercermin pada sikapnya yang sangat arogan dan seakan-akan hanya dia yang paling Islam. Kyai Abdul Bashith menganalogikan dengan pakaian yang tidak menutupi mata kaki karena pada masa Nabi bahwa orang yang berpakaian yang menutupi mata kaki identik dengan orang yang sombong. Demikian juga jika orang yang berpakaian yang tidak menutupi mata kaki tapi dimotifasi oleh rasa sombong di dada seakan paling Islam dan paling suci maka tidak boleh. Begitupun, meski berpakaian atribut Nabi dan ulama adalah baik dan disunnahkan, akan tetapi jika dengan atribut itu menjadikan manusia sombong dan arogan niscaya walaupun hukum awal adalah dianjurkan menjadi berubah hukumnya kontras tidak boleh. Di sinilah letak relevansi kaidah fikih yang menyatakan bahwa al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi wujudan aw ‘adaman (hukum akan terus dinamis selaras dengan ritme sebab-sebabnya yang memunculkan atau menenggelamkannya).

Setelah membahas hukum yang terkait dengan hubungan antara prilaku kekerasan atasa nama agama dengan peran negara dalam rangka melindungi rakyat, akhir dari Bahsul Masail ini sampai pada pertanyaan tentang prilaku aparatur negara yang cenderung mendiamkan kekerasan-kekerasan yang dilakukan segerombolan orang atas nama penegakan ajaran yang diyakininya. Dalam konteks ini Bahsul Masail mengutip pendapat Imam ‘Abdurrahman al-Jazairi bahwa seorang pemimpin wajib menghalau dan mencegah bahaya dan madzlarat yang akan menimpa rakyat yang dipimpinnya. Dari pemahaman ini bisa disimpulkan bahwa jika aparatur negara mendiamkan terjadinya kekerasan maka itu berarti aparat tidak menjalankan kewajibannya. Di bawah ini kita tampilkan kutipan secara langsung:

“kewajiban seorang pemimpin, baik pemimpin itu adalah seorang hakim atau yang lainnya, agar dapat menghalau dan mencegah bahaya dan madzlarat yang akan menimpa rakyat yang dipimpinnya. Mereka (para pemimpin) tidak boleh melukai rakyat, dan tidak boleh satu pun dari mereka yang dilukai oleh siapapun”. Dari pemahaman ini bisa disimpulkan bahwa jika aparatur negara mendiamkan terjadinya kekerasan sama artinya aparat tidak menjalankan kewajibannya.

Ibarat di atas, meski lahir dari pandangan ulama salaf, tetapi ternyata sejalan hak-hak asasi manusia yang tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Di mana salah satu hak warga negara adalah berhak mendapatkan keamanan, dan salah satu kewajiban negara adalah memberi dan menjamin keamanan warga nergaranya. Sehingga tidak ada satu orang atau pihak pun yang mengganggu dan membuat warga negara tidak aman dan nyaman. Karena itulah bila negara, dalam hal ini aparatus negara tidak menjamin keamanan warga negaranya, maka diamnya negara, atau pembiaran ini adalah hukumnya haram.