Rabu, 27 Oktober 2010

NGAJI KITAB MISYKAT AL-ANWAR

Oleh Mukti Ali el-Qum



Allah SWT dawuh, “Allah iku cahaya langit lan bumi, olehe madangi kelawan cahaya Allah iku kaya misykat, kang ing dalem jeroane ana lampu (mishbah). Lampue ana ing dalem jerone kaca (zujajah). Kacae kaya dene Lintang Durry kang denurubaken saking lengae wiwitan Zaitunah kang akeh berkahe, ora kang ana arah wetan lan kulon, kang lengane wiwitan iku ora denkenani geni. Cahayae Allah ing saduwure cahaya. Allah ngawehi pituduh kelawan cahayae maring wong kang denkersaaken, lan Allah dadeaken tulada maring menusa. Allah dzat ingkang ngaweruhi sekabehane perkara.”
--Al-Quran, Ayat 35, Surah an-Nur

"Jika akal tidak terkontaminasi ilusi, fantasi, fatamorgana dan hayalan, maka ia tidak akan terperosok ke dalam kubangan kekeliruan dan kesalahan, serta akal akan membuktikan hakikat sesuatu dengan apa adanya."
--Abu Hamid al-Ghazali

“...kesamaan antara illuminasi al-Ghazali dan filsafat Persia dan Yunani kuno hanya sebatas pada tataran istilah dan terminologi, seperti terma nur (cahaya) dan kegelapan (dzulm). Sedangkan esensi atau substansi wacana dan pemikiran yang terkandung sangat berbeda. Dengan demikian, tidak tepat jika ada asumsi bahwa filsafat illuminasi di Islam adalah adopsi dari tradisi filsafat Persia dan Yunani kuno.”
--Abu al-‘Ala ‘Afifi, Pakar Mistisisme Islam



IMAM Abu Hamid al-Ghazali menulis filsafat gnostik-illuminasi (isyraqiyyah) dalam kitab Misykat al-Anwar. Tidak berlebihan, dengan kitab karyanya tersebut, al-Ghazali layak masuk dalam daftar nama-nama filsuf besar Islam klasik. Lantaran kita tahu bahwa filsafat Islam klasik terdapat beberapa aliran, yaitu filsafat aliran illuminasi (al-isyraqiyyah) seperti pandangan al-Ghazali dalam kitab tersebut dan Sihabuddin Suhrawardi al-maqtul (sang martir), aliran filsafat peripatetik (masyaiyyah) seperti Ibnu Rusdi dan pengikut Aristotelian, aliran filsafat setoicisme (rawaqiyyah), dan hikmah al-muta’aliyyah (the philosopi transendental), sebuah aliran filsafat yang terakhir yang berusaha mensintesakan aliran-aliran filsafat sebelumnya, seperti Mulla Sadra dan Mulla Hadi Syabzawari.

Konsekwensi dari perbedaan aliran filsafat dalam batang tubuh agama Islam tersebut, sehingga tidak dapat dihindari satu dengan yang lainnya saling mengkritik. Justru ciri khas filsafat terdapat pada daya nalar dan kritisismenya. Aliran filsafat Illuminasi mengkritik Peripatetik, sebaliknya Peripatetik mengkritik Illuminasi. Stocisisme mengkritik Peripatetik dan sebaliknya. Dengan demikian, tercipta dinamika pemikiran Islam yang bergairah dan maju.
*****


Banyak pakar mengatakan bahwa penggagas pertama filsafat isyraqiyyah (Illuminasi) dalam peradaban dan pemikiran Islam adalah Sihabuddin Suhrawardi al-maqtul (sang martir), pada abad ke-7 Hijriyah. Namun tidak bisa kita pungkiri bahwa dua abad sebelumnya, al-Ghazali dengan karyanya ini, Misykat al-Anwar, telah merintis ke arah filsafat illuminasi, dan dimatangkan oleh Suhrawardi sang martir—meski dengan pola pikir dan pandangan serta produk pemikiran yang berbeda.

Bahkan, jika kita tarik ke belakang, di peradaban Persia kuno telah bercokol filsafat illuminasi, yang menyatakan dualisme Tuhan; cahaya (nur) dan kegelapan (zhulum). Namun, yang membedakan antara Persia kuno dan para filsuf Islam dalam hal entitas cahaya dan kegelapan yang disematkan pada dzat Tuhan. Jika Persia kuno menganggap bahwa ada dualisme Tuhan; Tuhan cahaya dan Tuhan kegelapan, yang berdiri sendiri dan independen. Sedangkan para filsuf Islam menganggap bahwa cahaya hakiki adalah Tuhan, sedangkan kegelapan bisa mewujud karena jauh dari sumber cahaya yaitu Tuhan. Jadi hakikat cahaya sekaligus sumber cahaya adalah Tuhan. Cahaya yang disematkan pada selain Tuhan adalah sebatas penisbatan yang tidak hakiki (majaziy), sebagaimana pendapat yang dikemukakan al-Ghazali dalam kitab Misykat al-Anwar. Tidak ada dualisme cahaya. Dengan demikian, filsafat Illuminasi Persia kuno dan illuminasi versi para filsuf Islam seperti al-Ghazali teramat berbeda, karena itu Abu al-‘Ala ‘Afifi berkomentar dalam mukaddimah kitab Misykat al-Anwar, "Kesamaan antara illuminasi al-Ghazali dan filsafat Persia dan Yunani kuno hanya sebatas pada tataran istilah dan terminologi, seperti terma nur (cahaya) dan zhulm (kegelapan). Sedangkan esensi atau substansi wacana dan pemikiran yang terkandung sangat berbeda. Dengan demikian, tidak tepat jika ada asumsi bahwa filsafat illuminasi di Islam adalah adopsi secara bulat-bulat dari tradisi filsafat Persia dan Yunani kuno."

Di Persia kuno, terdapat agama Majusi atau Zoroaster penyembah api. Bagi agama Majusi, api merupakan perlambang Tuhan yang telah memberi cahaya pada umat manusia dalam menerangi jalan kehidupan. Di malam hari, tanpa ada cahaya api niscaya akan gelap-gulita, tanpa sedikitpun obyek yang dapat dilihatnya. Proses dan mekanisme ritual ibadahnya bersifat “gradatif” sekaligus “diskriminatif” melihat perbedaan kelas sosial di masyarakat. Bagi sebagian masyarakat yang masuk pada kasta tinggi, seperti para agamawan, pejabat kerajaan dan orang-orang kaya, mereka menyembah Menara tempat api yang tinggi selaras dengan kastanya; bagi masyarakat yang termasuk kasta pertengahan, seperti pedagang, petani, dan orang-orang awam yang hidup berada di kelas menengah, mereka beribadah dengan menyembah Menara tempat api yang ukurannya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, alias tingginya di bawah kelas pertama; sedangkan masyarakat umum dan awam yang berada di bawah garis terrendah dalam kelas sosialnya, seperti kaum buruh, pengemis, dan miskin, maka mereka beribadah dengan menyembah Menara yang cukup pendek.

Pandangan diskriminatif dalam ibadah tersebut sangat jauh berbeda dengan pandangan al-Ghazali. Al-Ghazali tidak membeda-bedakan manusia dalam kasta sosialnya, tapi yang membedakan adalah kadar kedekatan dan kualitas ketakwaan seseorang dalam meningkatkan spiritalitas dan kemuliyaan di sisi Tuhan. Seseorang yang semakin dekat dengan Tuhan, sebagai sumber cahaya, niscaya ia akan mendapatkan intensitas cahaya yang maksimal. Sedangkan bagi seseorang yang jauh dari sumber cahaya, niscaya intensitas cahaya akan redup. Ritual dan tatacara beribadah bagi seluruh umat Islam sama, tidak dibeda-bedakan satu kelas dengan kelas yang lain. Yang membedakan bukan kelas sosial sebagaimana pandangan Majusi, melainkan kualitas dan kedekatan pada sumber cahaya, Tuhan.
*****

Di dalam Kitab yang cukup tipis Misykat al-Anwar itu, 55 halaman, al-Ghazali dapat menjelaskan dengan padat dan lugas kontemplasi filsafat isyraqiyyah (pencahayaan) yang berpijak pada satu takwilnya atas ayat 35, surah an-Nur. Allah SWT berfirman, “Allah adalah cahaya yang menerangi langit dan bumi. Cahaya-Nya bagaikan misykat yang didalamnya terdapat lampu (mishbah). Lampu yang ada di dalam kaca. Kacanya bagaikan Lintang Durry yang dinyalakan dari pohon Zaitun yang penuh berkah, yang tidak condong ke Timur dan Barat, yang minyaknya telah menerangi meski tak tersentuh api. Cahaya Allah di atas cahaya. Allah telah memberikan petunjuk jalan lurus kepada siapa pun yang dikehendaki. Allah memberikan tamsil bagi manusia. Dan Allah adalah dzat yang maha mengetahui segala sesuatu.” Dibahasakan dalam Kitab Kuning, dengan makna gundul oleh para kyai dan ustadz di Pesantren salaf: Allah SWT dawuh, “Allah iku cahaya langit lan bumi, olehe madangi kelawan cahaya Allah iku kaya misykat, kang ing dalem jeroane ana lampu (mishbah). Lampue ana ing dalem jerone kaca (zujajah). Kacae kaya dene Lintang Durry kang denurubaken saking lengae wiwitan Zaitunah kang akeh berkahe, ora kang ana arah wetan lan kulon, kang lengane wiwitan iku ora denkenani geni. Cahayae Allah ing saduwure cahaya. Allah ngawehi pituduh kelawan cahayae maring wong kang denkersaaken, lan Allah dadeaken tulada maring menusa. Allah dzat ingkang ngaweruhi sekabehane perkara.” Dan dalam ayat tersebut ada kata-kata kunci yang hendak dicoba takwilkan makna metaforis atau makna terdalam yang terkandung di dalamnya, yaitu terma misykat (lentera), zujajah (kaca), al-misbah (lampu), az-zayt (minyak) dan asy-syajarah (pohon). Kata-kata kunci tersebut mengandung makna filosofis mendalam yang akan diuraikan al-Ghazali. Dan hadits Nabi yang menyatakan, “Allah memiliki tujuh puluh hijab (penghalang) berupa cahaya-cahaya yang menyelimuti-Nya..”. Hadits ini pun dijabarkan pada bab terakhir dalam kitab ini.

Al-Ghazali dalam kitab Misykat al-Anwar, menjelaskan secara rinci dan singkat tapi mendalam. Pembahasan pertama, al-Ghazali menjelaskan poin pemikirannya yang menegaskan bahwa cahaya hakiki adalah Tuhan, sedangkan cahaya yang disematkan pada selain Tuhan bukan cahaya yang sebenarnya. Demi menuju kesimpulan tersebut, ia memberikan definisi cahaya selaras dengan tiga tingkatan kapasitas manusia, yaitu ‘awam (manusia pada umumnya), khash (elit), dan khawash al-khawash (istimewa).

Pertama, cahaya menurut awam dimaknai sebagai cahaya yang bersifat fisik-materil. Sedangkan fisik-materil bersifat tidak bisa independen, berdiri sendiri, tendensius (idhafiy) pada idrak (pengetahuan) dan alat penglihatan dan terbatas (limitad). Pengetahuan dan cahaya menurut awam yang bersifat fisik itu di antaranya adalah cahaya penglihatan mata (al-bashar). Dan segenap sesuatu yang dapat didapatkan dari penglihatan mata terdapat tiga bagian, (1). Sesuatu yang tidak dapat dilihat dengan sendirinya, seperti kegelapan itu sendiri; (2). Sesuatu yang dapat dilihat dan tidak dapat memberi penglihatan pada yang lain, seperti subyek yang diterangi seperti bintang-gemintang; (3). Sesuatu yang dapat dilihat dan memberi penglihatan pada subyek yang lain, seperti matahari.

Manusia umum, awam, menganggap bahwa cahaya adalah cahaya panca indera (mata) yang memberi penglihatan. Sementara panca indera terdapat berbagai macam kekurangan dan kelemahan. Terkadang ia tidak dapat melihat subyek yang jauh, tidak dapat melihat subyek yang berada di balik dinding penghalang. Dapat melihat hanya pada kulit luar lahiriyah, bukan substansi esoterismenya; dan panca indera hanya mampu melihat sebagian maujud-maujud saja, tidak semuanya.

Kalau kita cermati bahwa panca indera mata sangat terbatas dan sering sekali memberikan informasi yang tidak tepat dan keliru, terkadang melihat subyek lebih kecil dari kenyataannya, yang jauh terlihat dekat, dan yang diam terlihat bergerak atau sebaliknya yang bergerak terlihat diam. Dengan demikian, al-Ghazali bertanya-tanya sekaligus mengkritisi pandangan awam tersebut, bahwa apakah pantas pengetahuan yang diberikan oleh panca indera mata dinamakan dengan cahaya (nur)? Sedangkan keberadaannya serba terbatas dan memiliki kelemahan serta kekurangan yang cukup akut.

Di sisi lain, kata al-Ghazali, ada subyek yang jauh lebih bersih dari kekurangan dan kelemahan tersebut. Kita mengenalnya dengan mata hati (‘ayn fi qalbi al-insan) yang bersifat imateri dan lebih sempurna daripada mata panca indera yang bersifat fisik. Mata hati berupa akal, ruh, atau insting manusiawi (an-nafs al-insaniyyah).

Akal lebih layak dinamakan nur (cahaya) daripada mata panca indera jika dibandingkan antara keduanya, lantaran akal mampu menghilangkan atau menghindar dari kekurangan-kekurangan yang bersifat fisik-materil. Sekurang-kurangnya al-Ghazali membandingkan keduanya pada tujuh poin. Pertama, mata panca indera tidak dapat melihat dengan dan pada dirinya sendiri; sedangkan akal dapat mengetahui subyek lain dan sifat-sifat dirinya, ia mengetahui bahwa dirinya adalah subyek yang mengetahui dan berdaya cipta.

Kedua, panca indera mata tidak dapat melihat obyek yang jauh atau obyek yang sangat dekat; sedangkan di depan akal sama antara obyek jauh dan dekat: ia akan mendaki mikraj ke langit paling tinggi, dan turun menembus ke lapisan-lapisan bumi yang paling dasar.

Ketiga, mata tidak dapat mengetahui subyek yang ada di balik dinding penghalang. Sedangkan akal mampu berkelana dan menembus Arasy, kursi singgahsana Tuhan, menangkap apa yang ada di balik langit-langit tinggi, dan al-mala al-a’la. Bahkan seluruh hakikat kebenaran tidak tertutup dari akal yang sehat dan jernih.

Keempat, mata hanya mengetahui segenap sesuatu hanya lahiriah dan di permukaan bukan substansi dan esensinya, bahkan hanya mengetahui citra dan bungkus bentuknya bukan hakikat kebenaran yang sesungguhnya. Sedangkan akal menelisik ke dalam esensi dan rahasia-rahasia segenap sesuatu, mampu menganalisa serta mengetahui hakikat dan ruhnya. Ia juga dapat menalar dan menelusuri sebab-sebab, kausa-kausa, tujuan dan hikmah segenap sesuatu. Akal pun dapat mengajukan pertanyaan terhadap hidup dari apa kita diciptakan, kenapa diciptakan, kenapa diciptakan. Setelah manusia meninggal kemana ia akan kembali? Dengan pertanyaan, pemikiran dan perenungan itu, akal sampai bisa menggapai pengetahuan transendnental, yaitu sang maha pencipta, Tuhan.

Kelima, mata dapat menangkap dan mengetahui sebagian maujud-maujud. Sedangkan segenap sesuatu yang masuk pada wilayah intelegible (ma’quliyat) hampir tidak dapat diakses oleh mata. Bahkan sesuatu yang imateri meski riil banyak sekali yang tidak dapat dilihat oleh mata, seperti suara, bau-bauan, wangi-wangian, rasa, dingin, panas, dll. Demikian juga sesuatu yang tergolong pada perasaan kemanusiaan tidak dapat dilihat oleh mata, seperti rasa cinta, benci, cemburu, resah, gelisah, gunda-gulana, bahagia, seding, kehendak, syahwat, dll. Karena itu, semua itu hanya dapat diketahui oleh akal.

Keenam, mata hanya melihat sesuatu yang terbatas. Ia dapat melihat obyek yang bersifat materi. Sedangkan materi tak lain adalah obyek yang terbatas. Sedangkan akal mengetahui segenap pengetahuan yang tak terbatas.

Ketujuh, mata terkadang melihat subyek yang besar terlihat kecil. Sebagaimana mata melihat matahari yang terlihat kecil dan jauh lebih kecil dari kenyataan sebenarnya. Sedangkan akal dapat mengetahui segenap sesuatu sesuai dengan kenyataan yang ada. Akal mengetahui bahwa matahari lebih besar daripada bumi. Meski terlihat oleh mata telanjang bumi lebih besar dari matahari, akan tetapi pada kenyataan yang sebenarnya bumi adalah planet kecil dan lebih kecil dari matahari. Bahkan mata melihat bayangan adalah diam, bayi adalah diam, dan bintang-bintang adalah diam. Akal mengetahui bahwa bayi pada kahikatnya bergerak, berubah, berevolusi, dan bertumbuh serta berkembang baik fisik ataupun non-fisiknya. Akal juga mengetahui bahwa bayangan selalu bergerak. Demikian halnya, akal telah mengetahui bahwa bintang-bintang di setiap detiknya bergerah berkilo-kilo mil. Nabi Muhammad saw. berkata kepada Jibril as., “Apakah matahari selalu bergerak?” Jibril as. menjawab, “Tidak, iya”. Nabi berkata, “Bagaimana bisa?” Jibril as. menjawab, “Semenjak saya berkata “Tidak” sampai dengan saya berkata “Iya” pada saat itu matahari telah bergerak kecepatannya lima ratus tahun.”

Yang menjadi pertanyaan besar adalah kenapa para tokoh rasionalisme (al-‘uqala) seringkali juga keliru-keliru dan memunculkan produk pemikiran yang tidak tepat? Al-Ghazali menjawab, “Ketahuilah bahwa mereka bukan para tokoh rasionalisme, melainkan para pengguna illusi, hayalan, fantasi (khayalat), al-awham dan dugaan yang bersifat fatamorgana, dimana mereka menganggap bahwa semuanya itu adalah hasil rasio (akal). Kesalahan dan kekeliruan akhirnya disematkan pada akal (rasio). Jika akal tidak terkontaminasi illusi, fantasi, dan hayalan, maka ia tidak akan terperosok ke dalam kubangan kekeliruan dan kesalahan, serta akal akan membuktikan hakikat sesuatu dengan apa adanya. Dan al-Ghazali menganjurkan kepada pembaca agar membaca dan memahami karyanya yang lain berjudul Mi’yar al-‘Ilm (Teraju Pengetahuan). Sebab di dalam karyanya tersebut mengupas tuntas seputar teori penggunaan logika yang benar dan terhindar dari kekeliruan.

Akal yang jernih dapat dikatakan sebagai nur (cahaya). Sebagaimana al-Quran, sebagai sabda Tuhan yang agung adalah nur. Posisi al-Quran di hadapan mata akal menempati posisi cahaya matahari di hadapan mata indera manusia. Dengan kata lain, ayat-ayat al-Quran adalah cahaya yang memberikan penerangan sekaligus penglihatan terhadap akal, sebagaimana sinar atau cahaya matahari telah memberikan penglihatan terhadap panca indera mata manusia. Lantaran sejatinya, mata indera manusia tidak dapat melihat dengan sendirinya tanpa ada sinar matahari. Terbukti jika kita berada di kegelapan, mata kita tidak dapat melihat apa-apa. Mata kita dapat melihat segenap sesuatu karena diberi cahaya dari sinar matahari. Sebagaimana akal yang jernih tidak dapat melihat, mengetahui dan memahami dengan benar tanpa mendapatkan sinar penerang dari ayat-ayat al-Quran. Al-Ghazali menghasilkan pandangan demikian berdasarkan takwilnya terhadap firman Allah SWT, “Mereka beriman kepada Allah, rasul, dan nur/cahaya (al-Quran) yang telah kami turunkan”; S. At-Taghabun: 8. Ayat ini bermakna bahwa al-Quran adalah cahaya penerang bagi akal umat manusia.

Alih-alih al-Ghazali telah mengkategurisasikan cahaya menjadi dua, yaitu cahaya hakiki yang sebenarnya dan cahaya majazi yang tidak hakiki. Cahaya yang hakiki merupakan sumber bagi cahaya-cahaya lain, lantaran cahaya-cahaya lain itu sejatinya adalah pinjaman atau pemberian dari pendaran-pendaran cahaya yang disemburatkan oleh pusat cahaya. Sumber cahaya merupakan cahaya bagi, dengan, dan oleh diri-Nya. Gradasi cahayapun adalah sebuah keniscayaan tersebab cahaya mengharuskan adanya penampakan dan gradasi atau berjenjang yang tetap bersumber dari satu entitas cahaya.

Cahaya hakiki juga sejatinya adalah wujud yang sebenarnya. Wujud hakiki adalah mewujud dengan sendiriNya dan mewujudkan yang lain. Sebab, entitas yang tidak dapat menampakkan diriNya sendiri sudah barang tentu tidak dapat menampakkan entitas lain. Entitas yang diwujudkan itu pada tataran hakikinya adalah ketidak-adaan murni. Al-Ghazali mentakwil salah satu ayat “kullu syaiin halikun illa wajhah”; S. Al-Qashash: 88. Jika makna konvensional ayat tersebut berbunyi bahwa “segala sesuatu akan rusak dan binasa, kecuali DzatNya.”

Al-Ghazali sama persis dengan para sufi yang berpaham ittihad (penyatuan) bahwa yang dimaksudkan ayat tersebut adalah bahwa segala sesuatu hakikatnya tidak ada, kecuali DzatNya. Kebinasaan, nihilisme, dan ketiadaan itu tidak terjadi pada satu masa atau satu waktu tertentu sebagaimana pemahaman konvensional, melainkan tiada yang abadi/eterniti dan selama-lamanya. Lantaran wujud yang sejati hanya satu, The One, dan yang lainnya adalah nihil. Dengan kata lain, segala sesuatu memiliki dua dimensi, dia tidak ada jika dinisbatkan pada dirinya dan pada saat yang sama dia wujud atau ada jika dinisbatkan pada Dzat-Nya. Karena itu tidak ada wujud kecuali Allah. (hal. 55)

Kesimpulan yang cukup “menarik” dari al-Ghazali dalam kitab ini, setelah al-Ghazali menganalisa bahwa pandangan mata akan menyimpulkan bahwa wujud adalah majemuk. Kesimpulan ini menunjukkan keterbatasan pengetahuan dan diakses oleh panca indera mata. Sementara al-Ghazali berpendapat bahwa “Para ‘arif (sufi)—setelah melalui mikraj spiritual menggapai hakikat—mereka bersepakat bahwa mereka tidak melihat wujud kecuali The One.” Kongklusi bahwa wujud hanya satu, The One, tidak banyak atau majmuk, dihasilkan oleh akal dan hati yang telah didaya gunakan secara maksimal melalui mikraj spiritual, dimana keduanya (akal dan hati) lebih tajam dan melebihi dari apa yang dicapai panca indera mata.

Al-Ghazali dalam kitab ini dengan transparan bahwa ia menganut pandangan wihdah al-wujud (the unity of being) yang menyatakan bahwa wujud hanya ada satu, sebagaimana cahaya hakiki hanya ada satu, Tuhan. Kesadaran puncak bahwa wujud adalah satu, The One, diungkapkan oleh para sufi dengan berbeda-beda ujaran yang pada intinya sama menegaskan bahwa wujud hakiki adalah The One. Sebagian sufi berujar, “Ana al-Haq” (Aku adalah Sang Kebenaran). Sebagian sufi lain berkata “Subhany ma a’dzama sya’ny”. Sebagain lain lagi berkata, “ma fi al-jannah illa Allah”. Sebagian lain berujar, “Ana man ahwa, wa man ahwa ana.” Ujaran-ujaran tersebut menurut al-Ghazali bermuara pada satu pandangan dunia spiritual, yaitu bahwa wujud hakiki adalah Tuhan. Dan ujaran-ujaran tersebut muncul dalam kondisi fana dan ekstase. Sang sufi dalam kondisi berada pada puncak kesadaran tertingginya. (hal 57-58)

Pembahasan kedua, al-Ghazali menjelaskan kata-kata kunci yang mengandung makna yang bersifat metaforisme, yaitu al-misykat, al-mishbah, az-zujaj, asy-syajarah, dan az-zayt. Ada lima kata kunci yang hendak dijelaskan makna terdalam yang bersifat simbolisme yang terdapat di balik teks. Ibnu Mas’ud, salah satu sahabat Nabi Muhammad, pernah berujar bahwa “Cahaya-Nya yang ada di dalam hati seorang Mukmin bagaikan misykat (lampu penerang)”. Ungkapan Ibnu Mas’ud tersebut mengindikasikan adanya makna simbolik dan metaforisme teks.

Al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam mendekati teks-teks al-Quran dan hadits harus menggunakan pendekatan yang saya istilahkan “heurmeneutika sufistik”. Heurmeneutika yang mengandaikan adanya lapisan makan yang terdapat di dalam teks. Dua makna, lahir dan bathin, tekstual dan kontekstual, merupakan asumsi sufistik, dimana dualisme makna tersebut tidak menafikan satu terhadap yang lain. Masing-masing makna terdapat kebenarannya sendiri-sendiri. Teks memiliki ambiguitas makna. Al-Ghazali dalam membangun asumsi bahwa teks mengandung dualisme makna berpijak pada sebuah perintah Tuhan kepada Nabi Musa As dalam sebuah pengalaman spiritualitas tertinggi bersamaNya, yang berupa “ikhla’ na’layka” (lepaskanlah kedua sandalmu). Kedua sandal berarti kedua makna, lahir dan bathin. Ditambah sekaligus diperkuat oleh hadits Nabi yang menyatakan bahwa “al-Quran memiliki makna lahir, bathin, had (batasan atau definisi), dan mathla’. (hal. 73-74)

Asumsi dualisme makna tersebut adalah solusi terbaik dalam melerai persengketaan antar kedua sekte Islam yang berkembang pada masa Imam al-Ghazali. Persengketaan itu terjadi lantaran memiliki epistemologi pemikiran yang kontradiktif secara kontras. Pertama sekte Bathiniyaah, salah satu cabang dari sekte Syi’ah, yang secara ekstrim mengatakan bahwa kebenaran makna hanya ada pada makna bathin (esoterisme) sebuah teks, sedangkan makna lahir adalah makna yang sejatinya tidak dikehendaki oleh The Outhor (pengarang), sehingga makna lahir harus dilampaui dan menelisik makna bathin yang terkandung di dalamnya. Sekete kedua yang secara diametral bertentangan dengan seket Bathiniyah, yaitu sekte Hasyawiyah, yang berpendapat bahwa makna yang benar hanya makna lahiriah sebuah teks (eksoterisme), tidak ada makna bathin. Kedua pendapat ini dicoba dicarikan penyelesaiannya oleh al-Ghazali yang di dalam kitab ini ia menyatakan sendiri bahwa kedua makna, lahir dan bathin, telah terkandung secara bersamaan di dalam sebuah teks. Dan kedua makna tersebut mengandung kebenarannya sendiri.

Al-Ghazali dengan menggunakan metode heurmeneutika sufistik tersebut, yaitu mengasumsikan dualisme makna dalam sebuah teks, ia mencoba mengaplikasikannya pada salah satu ayat dalam Surah an-Nur, ayat 35, Allah SWT berfirman, “Allah adalah cahaya yang menerangi langit dan bumi. CahayaNya bagaikan misykat yang didalamnya terdapat lampu (mishbah). Lampu yang ada di dalam kaca. Kacanya bagaikan lintang durry yang dinyalakan dari pohon Zaitun yang penuh berkah, yang tidak cundung ke Timur dan Barat, yang minyaknya telah menerangi meski tak tersentuh api. Cahaya Allah di cahaya. Allah telah memberikan petunjuk jalan lurus kepada siapa pun yang dikehendaki. Allah memberikan tamsil bagi manusia. Dan Allah adalah dzat yang maha mengetahui segala sesuatu.” Dibahasakan dalam Kitab Kuning, dengan makna gundul oleh para kyai dan ustadz di Pesantren salaf: “Allah SWT dawuh, “Allah iku cahaya langit lan bumi, olehe madangi kelawan cahaya Allah iku kaya misykat, kangingdalem jeroane ana lampu (mishbah). Lampue ana ing dalem jerone kaca (zujajah). Kacae kaya dene Lintang Durry kang den urubaken saking lengae wiwitan Zaitunah kang akeh berkahe, ora kang ana arah wetan lan kulon, kang lengane wiwitan iku orang denkenani geni. Cahayae Allah ing saduwure cahaya. Allah ngawehi pituduh kelawan cahayae maring wong kang den kersaaken, lan Allah dadeaken tulada maring menusa. Allah dzat ingkang ngaweruhi sakabehane perkara.”, al-Quran, Ayat 35, Surah an-Nur.

Lima kata kunci yang terdapat dalam ayat tersebut al-misykat, al-mishbah, az-zujaj, asy-syajarah, dan az-zayt oleh al-Ghazali diberi pemaknaan bahwa ruh al-basyariyah (kemanusiaan) yang bersifat illuminasionisme (al-nuraniyyah) terdapat lima selaras dengan permisalan al-Quran dalam ayat al-Nur sebagai berikut: pertama, ar-ruh al-hassas; sebuah ruh yang memberikan daya fungsi bagi panca indera manusia dan hewan yang ada lima (hawas al-khamshah), yaitu penciuman, penglihatan, pendengaran, rasa, dan meraba. Hewan adalah hewan dalam memfungsikan ar-ruh al-hassas. Jika kita menilik pada diri manusia yang begitu sempurna, diberi fasilitas oleh Tuhan begitu kumplit, dan hanya bagi anak kecil dan bayi saja yang hanya menggunakan kelima panca indera tersebut. Kedua, ar-ruh al-khayaliy; sejenis insting hewani, seperti rasa sakit, lapar, suka, senang, gembira, dsb. Ketiga, ar-ruh al-‘aqliy; sebuah daya yang dapat menangkap makna eksternal yang melampaui panca indera dan khayal. Ar-ruh al-‘aqliy adalah intisari manusia, dan tidak dimiliki bayi, anak kecil, dan binatang. Atau dengan kata lain, ruh al-‘aqli inilah yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain.

Keempat, ar-ruh al-fikriy; suatu daya yang memberikan kemampuan bagi manusia untuk mengakses pengetahuan, dinamisasi pemikiran dan dialektika dalam proses produksi dan reproduksi pengetahuan dan pemikiran. Ia bersifat terus berusaha menciptakan satu penemuan pemikiran, tesa, kemudian coba mencari kelemahan-kelemanannya yang akhirnya memunculkan anti-tesa, dan setelah itu terus mengajak untuk terus mengevaluasi yang akan menunculkan sintesa. Ruh al-fikri ini akan terus mendorong penambahan ilmu dan pengetahuan yang tanpa mengenal ujung, dan tak akan pernah berhenti.

Kelima, ar-ruh al-qudsiy al-nabawi, yang diberikan Allah khusus untuk para nabi dan sebagian para kekasih Allah (awliya’). Ruh ini merupakan yang memunculkan atau menampakkan lampiran-lampiran alam gaib yang dapat ditembus; pengetahuan eskatologis dan pengetahuan ketuhanan yang tidak dapat diakses dan diraih ruh akal dan pikiran, yang hanya dapat diakses ruh kenabian.

Perbedaan antara ruh akal dan pikiran dengan ruh kenabian terletak pada perbedaan intensitas kesadaran manusia. Sebab para wali dan teosuf yang telah dirasuki ruh kenabian memiliki kesadaran yang paripurna, yang digunakan bukan sekedar akal-pikiran, melainkan dengan menggunakan intuisi (dzauq). Intuisi adalah persoalan rasa dan perasaan. Sebagaimana sebagian orang yang dapat merasakan keindahan kata-kata diksi yang terdapat dalam bait-bait syair dan puisi. Sebagian lain tidak dapat merasakannya sama sekali.

Bagi sebagian orang yang dapat merasakan keindaan dan kekuatan yang terdapat dalam syair atau puisi, ia akan merasakan getaran dan bergetar; sebagian ada yang terbius, majnun, hanyut dan larut ke dalam langgam lautan keindahan syair tenggelam hanyut di dalam kesedihan, menangis, merintih, dan miris. Sedangkan orang yang masih berada pada level penggunaan akal an sich, niscaya ia akan sulit merasakan keindahan sebuah syair. Ia hanya mampu menganalisa, barangkali, akan tetapi tidak mampu menjangkau makna terjauh dari sekian banyak kemungkinan makna yang terkandung di dalam sebuah teks syair atau puisi.

Sebagaimana Allah berjanji akan menaikkan derajat orang yang berilmu, dengan firmanNya bahwa “Akan diangkat derajat orang-orang yang beriman dari kalian dan orang-orang yang berilmu.” (Surah al-Mujadalah: 11). Menurut al-Ghazali bahwa “ilmu berada lebih tinggi di atas iman; intuisi berada lebih tinggi di atas ilmu. Berarti intuisi (dzauq) berada di atas iman dan ilmu, sekaligus penyempurna keduanya”. Orang yang berilmu dijanjikan oleh Allah akan dinaikkan derajatnya terlebih orang yang berilmu ditambah sekaligus dengan olahan intuisi yang cemerlang jauh lebih diangkat derajatnya di atas orang yang hanya sekedar berilmu.

Pembahasan ketiga, sebagai pembahasan terakhir, al-Ghazali menjelaskan makna hadits Nabi bahwa “Allah diselimuti dan terhijab oleh tujuh puluh cahaya dan kegelapan (zhulmah)..”. Di dalam menjelaskan hadits tersebut al-Ghazali memaparkan bahwa terdapat beberapa golongan manusia berkaitan dengan relasi manusia dengan Tuhan, yaitu sebagian tidak dapat menembus penghalang antara dirinya dan Tuhan, serta mereka selamanya terselimuti oleh kegelapan yang sangat pekat. Mereka ada kalanya karena keyakinannya yang bersifat materialistis, mulhid, menganggap bahwa segenap alam semesta wujud atau ada dengan sendirinya tanpa ada yang mengadakan. Adakalanya relasi dirinya dengan Tuhan terhalang-halangi oleh ambisi jabatan, memiliki massa dan pengikut yang loyal sekaligus setia, meski medapatkannya dengan menggunakan segala macam cara—atau menghalalkan segala cara.

Namun, ada juga sebagian golongan yang relasinya dengan Tuhan terhalangi oleh cahaya. Dengan kata lain ada cahaya atau bahkan berlapis-lapis cahaya yang menghalang-halangi antara dirinya dan Tuhan, sehingga tidak bisa menyentuh dzat-Nya. Bahkan sebagian dari mereka hancur sekaligus lumer ke dalam cahaya yang menghalangi. Hancur dalam keadaan ekstase dan mabuk kepayang. Mereka bagaikan kupu-kupu kecil, laron, yang senang berdansa-dansan ria, menari-nari mengelilingi lampu sumber cahaya api, dan tanpa sadar atau bahkan dengan sadar menceburkan dirinya ke dalam kobaran api dan terbakar, hal ini dimotivasi oleh rasa ingin menyatu bersama sumber cahaya. Tuhan yang maha bercahaya, sumber cahaya, akan selalu dikejar oleh pecinta-Nya meski dengan meniadakan diri, seperti Hallaj dan Siti Jenar yang mati demi menyambut panggilan Kekasihnya.

Lebih berarti lagi jika tidak harus melenyapkan diri, dengan menyerap cahaya Ilahi kemudian ia pantulkan ke bumi, ke dalam kehidupan nyata agar gerhana tidak selalu menghantui atau bila perlu gerhana hengkang dari bumi manusia untuk selama-lamanya.

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM FIKIH

Oleh: Roland Gunawan

Pendahuluan
PERBEDAAN dalam masalah hukum merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada setiap pensyari’atan (tasyrî’) yang menjadikan aktivitas-aktivitas manusia berikut adat-adat mereka sebagai sumber, di samping juga pendapat-pendapat, pemikiran-pemikiran dan pertimbangan mereka sebagai dasar pijakan. Hal itu disebabkan kerena adat-adat manusia berbeda-beda, pekerjaan-pekerjaan mereka bermacam-macam, dan pendapat-pendapat mereka beragam, sesuai dengan fitrah mereka yang diciptakan Allah SWT. Bila dasar pikiran yang digunakan berbeda, sudah tentu hasilnya pun akan berbeda pula. Itulah sebabnya seluruh syari’at positif (asy-syarî’ah al-wadh’îyyah) hingga saat ini masih saja menjadi obyek perbedaan dan pemicu perdebatan, karena itu merupakan ‘buatan’ sekaligus hasil pemikiran manusia dalam upaya mencapai maslahat-maslahat yang mereka inginkan. Dan maslahat-maslahat yang dicapai tentu saja tidak sama antara satu dengan yang lain tersebab perbedaan pandangan, tujuan, lingkungan dan zaman.

Kiranya perbedaan semacam itu tidak terjadi dalam syari’at Islam di masa Rasulullah saw. hidup, yaitu ketika beliau menyampaikannya di tengah-tengah manusia dan menjelaskan signifikansinya dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena Allah SWT selalu ‘turut campur’ dalam menentukan mana yang termasuk wahyu dari-Nya guna mengatur manusia dan mana yang termasuk ijtihad atau upaya penalaran subyektif Nabi saw. Apapun yang berasal dari Allah SWT maka tidak ada pertentangan di dalamnya. Allah SWT berfirman di dalam al-Qur`an, “Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur`an? Dan kalau [al-Qur`an itu] berasal dari selain Allah niscaya mereka akan menemukan banyak sekali pertentangan di dalamnya.”[1]

Adapun setelah Rasulullah saw. wafat, yaitu ketika pawahyuan al-Qur`an sudah terhenti, maka orang-orang setelah beliau (para sahabat) atau orang-orang setelah mereka (para tabi’in dan tabi’it tabi’in) berupaya menerapkan ajaran dari Rasulullah saw. terhadap kejadian-kejadian baru. Nah di sinilah mereka dihadapkan pada kenyataan-kenyataan dengan berbagai corak dan beragam kondisi serta perbedaan tempat.[2] Dalam hal ini mereka berpijak pada pandangan dan perbandingan antara apa yang terjadi di masa Nabi saw. dengan apa yang terjadi setelahnya, disertai identifikasi adanya persamaan antara kejadian-kejadian yang lalu dengan kejadian-kejadian setelahnya dan kesamaan konteks hukum berikut ‘illah-nya. Kemudian pada tahapan selanjutnya dicarilah makna-makna teks yang sesuai dan hubungan antara yang satu dengan yang lain sembari melakukan ithlâq, taqyîd, takhshîsh, ta’mîm dan naskh. Ini semua adalah hal-hal yang di dalamnya terdapat banyak sekali pola pandang sehingga melahirkan banyak perbedaan; di antaranya perbedaan kejadian-kejadian yang lalu berikut kondisi dan penentuan konteks hukum tentangnya serta pengokohan aspek-aspek persamaan antaranya dengan kejadian-kejadian yang baru; di antaranya adalah perbedaan teks yang diriwayatkan tentang hukum-hukum yang ada, baik yang diriwayatkan secara benar (shahîh) atau tidak, atau yang sudah ditetapkan atau tidak; di antaranya perbedaan dalam mengetahui konteks hukum berikut syarat-syaratnya; di antaranya perbedaan dalam menjadikan titik persamaan sebagai dasar legal yang mana hukum dapat melampaui konteks asalnya; di antaranya perbedaan dalam menghubungkan hukum yang ada dengan kesimpulan dari ‘illah-nya; dan masih banyak lagi perbedaan yang lainnya.[3]

Sebelum melangkah lebih jauh membahas perbedaan dalam fiqih, alangkah baiknya bila saya memaparkan terlebih dahulu tentang fiqih di masa Nabi saw.


Fiqih di Masa Rasulullah Saw.
DI masa hidupnya Rasulullah saw. menyampaikan hukum-hukum yang disyari’atkan Allah SWT kepada kaum muslimin, yaitu menyampaikan hukum-hukum yang tertera di dalam al-Qur`an dan menjelaskannya, atau menerapkannya di tengah-tengah mereka sebagai contoh, atau memberikan nasehat dalam hal-hal yang mereka selisihkan. Rasulullah saw. adalah marja’ (tempat kembali) ketika di antara mereka terjadi perselihan, mafza’ (tempat berlindung) di saat mereka dirundung kesusahan, râ`id (pemimpin) dalam semua urusan, hâdîy (penunjuk) di kala mereka dilanda kebingungan, dan mursyid ketika mereka terjerembab ke dalam kubang kesesatan. Jika mereka berselisih mengenai suatu perkara, maka beliau mengembalikannya kepada yang benar (ash-shawâb). Dan jika kebenaran tidak nampak kepada mereka, maka beliau segera menunjukkannya.

Sebagian dari mereka terkadang dihadapkan pada suatu perkara yang menuntut penyelesaian mendesak sehingga tidak memungkinkan untuk bertanya langsung kepada Rasulullah saw. dikarenakan jauhnya tempat atau dalam perjalanan. Maka mereka kemudian melakukan ijtihad untuk mengetahui hukumnya, dan ketika pada suatu kesempatan mereka hadir di majlis beliau maka mereka langsung mengadukan hasil ijtihad mereka kepada beliau, kemudian beliau menerangkan kepada mereka tentang kebenaran perkara tersebut yang segera mereka terima dengan penuh keimanan.

Pernah suatu ketika sahabat ‘Amru ibn al-‘Ash ra. diutus untuk memimpin para tentara muslim dalam sebuah peperangan di tahun kedelapan Hijriyah. Dan pada suatu malam yang sangat dingin dia mimpi basah; junub! Waktu shalat shubuh pun tiba. Dia kuatir kalau memaksakan diri untuk mandi akan membahayakan bagi kesehatan fisiknya, apalagi saat itu masih dalam suasana perang. Karena kekuatiran itulah dia hanya bertayamum untuk kemudian melaksanakan shalat bersama sahabat-sahabat yang lain.

Dan pada suatu kesempatan, yaitu ketika berkumpul bersama Rasulullah saw., para sahabat menceritakan apa yang dialami oleh ‘Amru ibn al-‘Ash. Beliau pun kemudian bertanya kepadanya, “Wahai ‘Amru, apakah kau melakukan shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kau dalam keadaan junub?” ‘Amru ibn al-‘Ash menjawab dengan menyebutkan salah satu ayat dalam al-Qur`an yang berbunyi, “Janganlah kamu membunuh diri kamu sendiri, sesungguhnya Allah sangatlah Penyayang kepada kamu.” Mendengar itu Rasulullah hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-apa. Maka tenanglah ‘Amru ibn al-‘Ash.[4]

‘Atha` bin Yasar juga meriwayatkan tentang dua orang yang sedang bepergian. Di tengah perjalanan keduanya tidak menemukan air, padahal waktu shalat sudah tiba. Akhirnya keduanya bertayamum dan kemudian melakukan shalat. Setelah itu keduanya melanjutkan perjalanan. Tetapi belum begitu jauh melangkah keduanya melihat air. Lalu salah seorang dari keduanya berwudhu` dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang lain tidak melakukannya. Maka begitu bertemu Rasulullah saw. keduanya langsung menceritakan hal tersebut. Kemudian beliau berkata kepada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Kamu benar, shalatmu mendapat pahala.” Setelah itu beliau berkata kepada orang yang berwudhu` dan mengulangi shalatnya, “Kamu mendapat dua pahala.”[5]

Demikianlah keadaan di masa Rasulullah saw., tidak ada perbedaan hukum. Ketika beliau menetapkan hukum atas suatu perkara maka tidak ada seorang pun yang tidak mematuhinya. Tidak ada seorang pun dari para sahabat yang berselisih pendapat dengan beliau. Kalau ada orang yang berpendapat dalam masalah hukum, dan kemudian diutarakan kepada Nabi, kalau beliau menerima dan mengakuinya maka itu dengan sendirinya menjadi syari’at yang kudu dijalankan. Tetapi kalau beliau menolak, maka setelah itu tidak ada yang boleh mengerjakannya.[6]

Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas, fiqih di masa Rasulullah sebetulnya bersifat praksis (terapan), tidak bersifat teoritis seperti sekarang ini. Kala itu sumber hukum yang dijadikan pijakan dalam setiap permasalahan adalah figur Nabi saw. sebagai perima wahyu secara langsung dari Tuhan.[7] Artinya, setiap kali ada masalah, terutama yang berhubungan dengan agama, kaum muslimin langsung menanyakannya kepada beliau. Kala itu pula, masalah apapun yang terjadi hanya membutuhkan solusi yang amat sederhana. Sebab kaum muslimin masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab.[8]


Perbedaan Pendapat di Masa Sahabat
SETELAH Rasulullah saw. berpulang ke rahmatullah, otomatis penurunan wahyu terhenti. Di sini para sahabat—semoga ridha Allah SWT senantiasa tercurah kepada mereka—ketika dihadapkan pada sebuah perkara yang menuntut penjelasan suatu hukum, mereka mencarinya di dalam al-Qur`an, kemudian di dalam as-Sunnah. Apabila mereka menemukannya di dalam kedua pedoman tersebut atau di salah satunya, maka dengan penuh keimanan mereka mengamalkannya.

Salah seorang dari mereka bertanya kepada yang lain ketika ia tidak mengetahui hukum dari suatu perkara. Seperti riwayat yang menyebutkan bahwa seorang nenek datang kepada Khalifah Abu Bakar ra. menanyakan tentang warisan untuknya. Sang khalifah lalu mencarinya di dalam al-Qur`an namun tidak menemukannya, dan dia juga tidak mengetahui adanya suatu acuan dari Rasulullah saw. yang secara eksplisit atau implisit yang membahas tentang warisan untuk nenek-nenek. Akhirnya dia bertanya kepada sahabat-sahabat yang lain, kemudian muncullah al-Mughirah ra. dan Muhammad bin Salamah yang memberi kesaksian bahwa Rasulullah saw. memberikan hak waris seper enam untuk seorang nenek.[9]

Akan tetapi kalau mereka benar-benar tidak menemukannya di dalam al-Qur`an maupun as-Sunnah, maka sang Khalifah akan mengumpulkan beberapa orang pilihan dari para sahabat yang dianggap mumpuni dalam masalah hukum untuk melakukan musyawarah. Kalau nantinya mereka sependapat dalam suatu hukum, maka sang khalifah akan langsung menerapkannya. Tetapi bila terjadi perbedaan di antara mereka, maka sang khalifah akan memilih yang menurutnya lebih mendekati kebenaran demi terwujudnya maslahat kaum muslimin secara umum, tanpa menganggap hal itu sebagai penghalang untuk merubah pilihannya tersebut mana kala nantinya terdapat pendapat lain yang lebih benar.[10]

Dengan demikian, pasca wafatnya Rasulullah saw., perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat tidak lain merupakan konsekuensi dari ijtihad mereka mengenai suatu perkara yang tidak ada satupun teks yang menegaskannya, baik dari al-Qur`an atau as-Sunnah. Dan Rasulullah sendiri di masa hidup beliau telah mengajarkan kepada para sahabat cara melakukan istinbâth (pengambilan kesimpulan hukum) dan cara melakukan ijtihad dalam hal yang belum mendapat ketegasan hukum secara tekstual.

Dan meskipun terjadi perbedaan dalam berijtihad di kalangan sahabat, hanya saja di dalamnya terdapat beberapa keistimewaan, di antaranya:[11]

Pertama, mereka merasa cukup dengan kenyataan yang ada. Artinya bahwa mereka tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum terjadi, dan tidak meletakkan jawaban-jawaban sebelum bertanya terlebih dahulu, sebagaimana juga dilakukan oleh orang-orang setelah mereka. Jika mereka bertanya tentang sesuatu, mereka berkata, “Apakah itu terjadi?” Kalau itu terjadi maka mereka kemudian melakukan ijtihad guna menemukan jawabannya. Dan kalau tidak terjadi maka mereka tidak memberikan jawaban apa-apa. Mereka hanya berkata, “Biarkan itu terjadi, kemudian kami akan memberi jawaban.” Setidaknya ini menunjukkan bahwa mereka memang tidak menyukai pendapat yang bersifat asumtif atau hipotesis.

Ya, mereka tidak suka bertanya tentang suatu hal yang tidak terjadi. Bahkan mereka mencela orang yang memaksakan diri untuk menanyakannya. Hal ini dipertegas oleh Umar bin al-Khaththab dengan perkataannya yang cukup populer di masanya, “Tidak ada seorang pun yang boleh menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Sesungguhnya Allah SWT sudah menetapkan apa yang ada.”

Kedua, adanya kebebasan ijtihad di kalangan sahabat. Artinya bahwa setiap orang dari mereka melakukan ijtihad dalam hal yang dianggapnya benar. Meski demikian mereka tetap menghargai pendapat-pendapat sebagian yang lain ketika terjadi perbedaan. Ini bisa dilihat dari perbedaan yang terjadi antara Ibn ‘Abbas dan Zaid bin Tsabit mengenai bagian “ibu” dari harta warisan yang mencakup suami, ayah dan ibu, atau istri, ayah dan ibu. Ibn ‘Abbas berpendapat, “Dia mempunyai hak sepertiga dari harta itu.” Berbeda dengan Zaid bin Tsabit yang berpendapat, “Dia mempunyai hak sepertiga sisa dari harta itu.” Kemudian Ibn ‘Abbas bertanya, “Adakah di dalam al-Qur`an sepertiga sisa dari harta?” Zaid menjawab, “Aku hanya mengatakan dengan pendapatku, dan kau juga mengatakan dengan pendapatmu.” Jadi keduanya tidak saling menyalahkan, justru saling menghargai.

Ketiga, mereka enggan menisbatkan pendapat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Artinya, mereka sangat hati-hati menisbatkan pendapat yang mereka kemukakan kepada Allah SWT dan Rasulullah saw. Mereka lebih banyak menisbatkannya kepada diri mereka sendiri. Misalnya salah seorang dari mereka berkata, “Ini pendapat si Fulan, kalau benar maka itu dari Allah, dan kalau salah maka itu dari dirinya sendiri atau dari setan. Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya terbebas dari sesuatu yang buruk.”

Hal itu juga dicontohkan oleh Abu Bakar ra., yaitu ketika dia dihadapkan pada sebuah permasalahan yang tidak ditemukan landasan hukumnya baik di dalam al-Qur`an ataupun as-Sunnah. Dia melakukan ijtihad berdasar pendapatnya, lalu berkata, “Ini adalah pendapatku, kalau benar maka itu berasal dari Allah, tetapi kalau salah maka itu berasal dariku, dan aku memohon ampun kepada Allah.”

Di sini nampak betapa para sahabat—semoga Allah senantiasa memberikan ridha-Nya kepada mereka—melakukan ijtihad berdasar kemampuan mereka dalam merumuskan hukum yang terbentuk melalui pendidikan Rasulullah saw. semasa beliau hidup. Sehingga perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mereka tidak berlandaskan pada hawa nafsu, melainkan pada kematangan ilmu yang beriringan dengan keimanan yang menghujam kuat di dalam dada.


Latar Belakang Terjadinya Perbedaan
SEBAGAIMANA telah disinggung di atas bahwa perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Islam, paling tidak ini menunjukkan kerealistisannya sebagai sebuah agama yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya dalam hal tingkat kemampuan, pengetahuan dan pemahaman. Setelah masa-masa kenabian perbedaan pola pandang di kalangan sahabat acap terjadi, akan tetapi perbedaan tersebut tidak timbul dari kelemahan akidah, atau keraguan terhadap kebanaran ajaran Rasulullah saw., melainkan semata-mata karena keinginan yang kuat untuk merumuskan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah atau ijtihadiyah, yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi saw. Namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan sebagaimana sering dilakukan oleh orang-orang munafik.

Dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan yang berpindah-pindah dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dengan masa yang lainnya. Namun di sana terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur-unsur spirit perbedaan.

Sejak terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan ra, wilayah-wilayah Islam mengalami goncangan-goncangan amat dahsyat sehingga melahirkan peristiwa-peristiwa yang memasukkan ke dalam ‘ranah perbedaan’ banyak hal yang tadinya berada di luarnya, dan inilah yang barangkali membuat penduduk setiap wilayah ‘mengisolasi’ apa yang sampai kepada mereka dari Sunnah Rasulullah saw. karena kuatir terjadi pemalsuan dan penipuan.

Kemudian lahirlah aliran Kufah dan aliran Basrah sebagai lingkungan amat subur bagi interaksi berbagai pemikiran politik, di samping muncul berbagai kelompok seperti Khawarij, Syi’ah, Murji`ah, Muktazilah dan lain-lain.

Tak ayal lagi, karena banyaknya kelompok yang bermunculan, maka metode pemikiran juga semakin banyak, yang mana setiap kelompok mempunyai pijakan-pijakan atau kaidah-kaidah tersendiri yang digunakan dalam berinteraksi dengan teks-teks agama serta menafsirkan sumber-sumber syari’at dan menyikapi berbagai problem baru yang muncul. Sehingga menjadi sangat wajar bila peletakan patokan-patokan baku menjadi sangat penting, juga perumusan metode-metode dan cara-cara penyimpulan hukum-hukum realita dari wahyu ilahi, serta pembatasan mana yang boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’ dan mana yang tidak.

Dan sungguh merupakan rahmat Allah SWT yang telah menjadikan fiqih boleh masuk ke dalam ‘ranah perbedaan’. Sebab pada dasarnya fiqih merupakan pengetahuan seorang faqih mengenai hukum realita berdasar dalil-dalil universal dan partikular (al-adillah al-kullîyyah wal juz’îyyah) yang terkandung di dalam al-Qur`an dan as-Sunnah. Bisa saja kesimpulan hukum seorang faqih sesuai dengan maksud syari’at, dan bisa juga tidak. Namun dalam dua keadaan tersebut dia tidak dituntut lebih dari upayanya mencurahkan puncak kemampuan akalnya untuk sampai pada suatu hukum. Artinya bahwa jika dia tidak benar-benar sampai pada hukum yang dimaksudkan syari’at, maka paling tidak apa yang dia capai itu mendekati kebenaran dan tujuannya. Oleh sebab itulah perbedaan menjadi sesuatu yang dibolehkan dalam agama.

Secara umum, terutama setelah masa-masa para sahabat, faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan dalam penyimpulan hukum bisa dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Faktor-faktor yang menyangkut bahasa:
Terkadang dalam teks-teks syari’at terdapat “lafazh musyrarak” (kata yang mempunyai banyak makna), seperti kata “‘ain” yang bisa berarti “mata”, “barang”, “emas murni” dan lain sebagainya.

Jika dalam teks syari’at terdapat kata yang tidak terkait dengan konteks tertentu, maka makna-makna yang ada bisa digunakan seluruhnya, tergantung masing-masing mujtahid mau menggunakan yang mana.

Misalnya para ahli fiqih berbeda pendapat dalam memaknai kata “al-qur`” dalam ayat 228 dari surat al-Baqarah. Kata “al-qur`” bisa dimaknai “ath-thuhr” (masa suci) atau bisa juga “al-haydh” (masa haid). Di sini para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai iddah wanita yang ditalak suaminya, apakah dengan tiga kali suci atau dengan tiga kali haid? Para ahli fiqih di Hijaz berpendapat bahwa iddah wanita yang ditalak suaminya adalah tiga kali suci, sedangkan para ahli fiqih Irak berpendapat tiga kali haid.[12]

Dan terkadang ada suatu kata dalam teks syari’at yang bermakna haqîqîy dan majâzîy. Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih, mana di antara kedua makna tersebut yang lebih bisa gunakan.[13]

Misalnya kata “al-mîzân” dalam ayat 7 dari surat ar-Rahmân. Ada sebagian yang lebih memilih makna majâzîy, yaitu “keadilan”. Dan ada juga sebagian yang memilih makna haqîqîy, yaitu “timbangan”.

2. Faktor-faktor yang menyangkut periwayatan as-Sunnah:
Sebagian besar perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama salaf bermuara di sini. Terkadang sebuah hadits tidak sampai kepada mujtahid tertentu, sehingga dia berfatwa berdasar makna tekstual ayat atau hadits lain, atau dengan melakukan qiyas (analogi) terhadap kejadian yang pernah terjadi di masa Rasulullah saw. hidup, atau dengan yang lain.

Terkadang sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid, akan tetapi dia menemukan kekurangan di dalamnya yang membuat dia enggan mengamalkannya. Misalnya dia meragukan keshahihan sanad hadits tersebut karena terdapat perawi yang majhûl, atau lemah dalam menghafal silsilah isnadnya, atau karena maqtû’ atau mursal.

Para ahli fiqih bisa saja berbeda pendapat mengenai makna-makna hadits, misalnya mereka berbeda dalam masalah “al-muzâbanah”, “al-mukhâbarah”, “al-muhâqalah”, “al-mulâmasah”, “al-munâbadzah”, dan “al-gharar” karena perbedaan mereka dalam menafsirkannya.

Terkadang ada sebuah hadits yang sampai kepada seorang mujtahid dengan suatu lafazh, dan sampai kepada mujtahid lain dengan lafazh yang berbeda. Misalnya salah satu dari keduanya menghapus sebuah kata yang mana makna hadits tersebut menjadi tidak sempurna kecuali dengan kata itu.

Kadang-kadang ada sebuah hadits sampai kepada seorang mujtahid disertai dengan asbâbul wurûd-nya, dan sampai kepada mujtahid lain tanpa disertai dengan itu sehingga membuat pemahamannya berbeda dengan yang pertama.

Terkadang ada seorang perawi yang menerima sebuah hadits secara lengkap, sementara perawi lain tidak. Maka tak nyana ini akan berpengaruh pada pemahaman keduanya.

Kadang juga seorang mujtahid menganggap sebuah hadits telah dinasakh, atau ditakhshîsh, atau ditaqyîd, sementara mujtahid lain tidak beranggapan demikian. Maka sudah tentu ini akan membuat pendapat keduanya berbeda.

3. Faktor-faktor yang menyangkut kaidah-kaidah ushuliyah dan acuan-acuan penyimpulan hukum:
Ilmu ushul fiqih merupakan sekumpulan kaidah dan acuan yang dibuat oleh para mujtahid untuk lebih mengakuratkan proses ijtihad dan penyimpulan hukum-hukum syari’at yang sifatnya furu’iyah dari dalil-dalil tafshiliyah (terperinci), yang mana para mujtahid menetapkan dalam metode-metode ushuliyah mereka dalil-dalil yang darinya dapat disimpulkan hukum-hukum, kemudian mereka menentukan cara-cara penyimpulan hukum syari’at dari setiap dalil yang ada, juga langkah-langkah yang mesti ditempuh untuk sampai kepada hukum syari’at yang dimaksud.

Setiap madzhab atau aliran mempunyai kaidah-kaidah dan acuan-acuannya masing-masing. Ada madzhab yang berpendapat bahwa fatwa seorang sahabat Nabi saw kalau sudah populer dan tidak ada satu pun yang menentangnya—dari para sahabat sendiri—bisa digunakan sebagai hujjah, karena para sahabat tidak akan mengeluarkan fatwa kecuali berlandaskan pada sebuah dalil, atau pemahaman mereka terhadapnya, atau berdasarkan apa yang mereka dengar dari Rasulullah saw.

Sebagian mujtahid ada yang menggunakan al-mashâlih al-mursalah, yaitu hal-hal yang di dalam syari’at tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan keberadaannya, sebagaimana tidak terdapat sesuatu yang menunjukkan penghapusan terhadapnya. Jika seorang mujtahid menemukan dalam hal-hal tersebut sesuatu yang menjamin kemaslahatan, maka dia akan berpendapat berdasar maslahat tersebut dengan anggapan bahwa syari’at digariskan hanya untuk menjamin kemaslahan manusia.[14]

Ada juga beberapa hal lain yang hingga saat ini masih menjadi obyek perdebatan di kalangan ahli fiqih atau mujtahid, seperti Istishlâh (pencapaian maslahat), Istihsân (kebaikan yang dicapai dengan rasio), Istish-hâb (penetapan hukum yang telah berlaku sebelumnya), syar’ man qablanâ (syari’at agama pra-Islam), sadd adz-dzarâ`i’ (tindakan preventif), ‘amal ahl al-Madînah (tradisi penduduk Madinah), ‘urf (adat istiadat), istiqrâ` (observasi), al-akhdz bi aqall mâ qîla (pengambilan ukuran minimal yang dikemukakan), al-akhdz bil ahwath (pengambilan yang lebih hati-hati) dan lain sebagainya.


Penutup
SETELAH kita membahas—meski tidak detail—mengenai faktor-faktor yang mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat di kalangan sahabat, ahli fiqih atau mujtahid, di sini kita bisa mengambil beberapa kesimpulan berikut:

Pertama, bahwa fiqih di masa sahabat terbentuk dengan munculnya kejadian-kejadian baru setelah wafatnya Rasulullah saw. Apabila di dalam teks-teks syari’at (al-Qur`an dan as-Sunnah) tidak ditemukan ketentuan hukumnya, maka mereka melakukan ijtihad dan mengamalkannya berdasarkan maslahat.

Kedua, bahwa al-Qur`an merupakan pedoman utama bagi para mujtahid. Artinya kalau ada suatu masalah, maka yang pertama kali mereka rujuk adalah al-Qur`an. Dan meskipun para sahabat—semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan ridha-Nya kepada mereka—adalah orang-orang yang dianggap paling mampu memahami al-Qur`an karena mereka benar-benar mengetahui asbâb an-nuzûl-nya, akan tetapi tetap saja terjadi perbedaan pendapat di antara mereka disebabkan tingkat keilmuan dan intelektualitas mereka.

Ketiga, bahwa perbedaan tingkat kecerdasan dan keilmuan para sahabat disebabkan karena sebagian dari mereka yang selalu bersama Rasulullah saw lebih lama, sedangkan sebagian lainnya ada yang disibukkan dengan jihad, atau disibukkan dengan pekerjaan berdagang dan bercocok tanam. Sehingga apa yang didengarkan sebagian dari Rasulullah tidak didengarkan oleh yang lain. Maka wajar kiranya bila terjadi silang pendapat di antara mereka. Terlebih lagi dalam kehidupan kaum muslimin di masa-masa setelah mereka hingga masa kini.

Maka, berdasarkan kesimpulan-kesimpulan tersebut, dapat dikatakan bahwa perbedaan hakikatnya merupakan rahmat dari Allah SWT bagi hamba-hamba-Nya. Kita lihat betapa kaum muslimin hidup di berbagai belahan bumi dengan kondisi dan lingkungan yang berbeda-beda. Bisa saja suatu madzhab atau aliran tertentu lebih cocok bagi lingkungan yang ini, sementara yang lain lebih sesuai dengan lingkungan yang itu. Dan satu hal yang perlu dipahami di sini, bahwa kita tidak mungkin bisa melebur-satukan madzhab-madzhab yang ada, dan itu memang bukan sesuatu yang penting. Akan tetapi yang penting adalah mengetahui faktor-faktor yang sekiranya dapat mendamaikan madzhab-madzhab tersebut, sehingga tidak ada lagi yang namanya pertikaian dan permusuhan di antara kaum muslimin.

-----------------------------------
[1] Ada beberapa hal penting mengenai perbedaan tingkat validitas antara periwayatan al-Qur`an dan as-Sunnah—yang membuat al-Qur`an lebih diutamakan ketimbang as-Sunnah—yang sebetulnya bisa dikatakan sebagai pemicu terjadinya silang pendapat dalam masalah hukum di kalangan sahabat, selain perbedaan pemahaman mereka terhadap kedua sumber hukum tersebut, yaitu:

Pertama, bahwa al-Qur`an dalam periwayatannya dari Nabi saw tidak ada yang memicu perselisihan sehingga tidak melahirkan perbedaan dalam hukum, berbeda dengan Sunnah yang tidak ‘selamat’ dari perselisihan dalam hal kebenaran (keshahihan) periwayatannya, sehingga ada satu kelompok yang mengamalkan sementara yang lain tidak.

Kedua
, bahwa al-Qur`an sudah dikodifikasi dan banyak yang menghafalnya. Hal ini sangat diketahui oleh kaum muslimin. Al-Qur`an merupakan dasar agama sekaligus pedoman dan sandaran bagi mereka. Mereka semua berkewajiban mengikutinya. Sementara as-Sunnah tidaklah menyatu atau terkodifikasi layaknya al-Qur`an, akan tetapi bertebaran di antara para sahabat yang meriwayatkannya. Siapa pun dari mereka yang mengetahui maka dia akan mengamalkannya, sebaliknya yang tidak mengetahui maka dia akan langsung melakukan ijtihad, dan tentu saja ijtihadnya berbeda dengan ijtihad sahabat lain. Maka timbullah perbedaan pendapat di kalangan mereka.

Ketiga
, bahwa perbedaan para sahabat dalam periwayatan as-Sunnah disebabkan oleh perbedaan mereka dalam pemahaman terhadapnya mana kala mengandung banyak kemungkinan, baik lafazh ataupun maknanya, sehingga nantinya melahirkan perbedaan di kalangan mereka dalam beberapa hukum. Berbeda dengan al-Qur`an yang memang mereka hafal lafazh-lafazhnya ‘di luar kepala’ dan terpercaya.

Keempat, bahwa perbedaan dalam penyimpulan hukum dari al-Qur`an disebabkan oleh perbedaan pemahaman mereka terhadapnya. Perbedaan semacam ini juga terjadi dalam memahami as-Sunnah.

[2] Kaum muslimin di masa Rasulullah saw. masih sedikit dan tinggal di satu tempat, yaitu di Jazirah Arab. Namun, setelah beliau wafat, mereka melakukan ekspansi ke beberapa tempat di luar Jazirah Arab dan berbaur serta menjalin interaksi dengan masyarakat yang berbeda keyakinan dan budayanya, sehingga masalah-masalah yang muncul kemudian menjadi kompleks dan rumit. Hal ini menuntut para ulama untuk melakukan langkah-langkah kongkret guna mencari solusi-solusi bagi seluruh permasalahan yang ada, terutama hal-hal yang berhubungan dengan agama, agar interaksi kaum muslimin dengan masyarakat-masyarakat lain itu berjalan secara dinamis. Tentu saja langkah-langkah yang mereka lakukan itu bukan tanpa dasar, justru, meski sudah dianggap sempurna, al-Qur`an menyuruh manusia untuk terus melakukan perubahan sesuai dengan fitrahnya sebagai satu-satunya makhluk Tuhan yang dianugerahi akal, di samping juga beberapa hadits Nabi saw. Dengan dasar inilah para ulama klasik kemudian melakukan upaya-upaya mempersambungkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal (al-kullîyyât) pada kasus-kasus kehidupan yang bersifat partikular (juz`îyyât). Inilah yang populer disebut ijtihad. Dan hasil ijtihad—sebagai proses intelektual untuk menurunkan ketentuan universal pada ketentuan-ketentuan yang bersifat partikular sekaligus kerangka teknis operasionalnya—itulah yang disebut fikih.

[3] Syaikh ‘Ali al-Khafif, Asbâb-u Ikhtilâfil Fuqahâ`, Darul Fikr al-‘Arabi, Cairo, cet. II, 1996, hlm. 8

[4] HR. Ahmad dan Abu Daud.

[5] Syaikh ‘Ali al-Khafif, Asbâb-u Ikhtilâfil Fuqahâ`, Darul Fikr al-‘Arabi, Cairo, cet. II, 1996, hlm. 10 - 11

[6] Ibid. 11

[7] Di masa Rasulullah saw. hukum-hukum tidak memiliki sumber selain al-Qur`an dan Sunnah. Al-Qur`an adalah sumber primer yang hanya menjelaskan dasar-dasar hukum yang bersifat umum tanpa menyentuh hukum-hukum secara detail. Sedangkan Sunnah merupakan sumber sekunder yang menjelaskan secara detail hal-hal yang bersifat umum di dalam al-Qur`an.

[8] Syaikh Muhammad Mahdi Syamsuddin, al-Ijtihâd wa al-Tajdîd fî al-Fiqhil Islâmî, al-Mu`assasah al-Dauliyah, Beirut, cet. I, 1999, hlm. 46

[9] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf ash-Shahâbah, Maktabah Madbuli, Cairo, cet. I, 1991, hlm. 15

[10] Hal ini menegaskan bahwa sumber-sumber fikih di masa sahabat adalah al-Qur`an, as-Sunnah, Ijma’ dan Ra`y. Hanya saja “Ra`y” yang dimaksud di sini adalah pendapat yang membuat hati tenang setelah melalui proses berpikir dan perenungan yang mendalam, disertai upaya pencarian terhadap relevansi pada suatu perkara yang mencakup dalil-dalil yang bertentangan, atau suatu perkara yang memang tidak ada satu pun teks yang menegaskannya. Makanya bagi mereka “Ra`y” itu mencakup ijtihad dalam memahami makna teks yang bertentangan atau tidak ada. Sebagaimana juga mencakup qiyâs, istihsân, sadd adz-dzarâ`i’, al-mashâlih al-mursalah, dan hal-hal lain yang pada masa-masa berikutnya menjadi kaidah-kaidah dasar yang digunakan oleh para imam untuk merumuskan hukum-hukum fiqih.

[11] Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, Ikhtilâf ash-Shahâbah, Maktabah Madbuli, Cairo, cet. I, 1991, hlm. 20 – 26

[12] Ibid. hlm. 87

[13] Syaikh ‘Ali al-Khafif, Asbâb-u Ikhtilâfil Fuqahâ`, Darul Fikr al-‘Arabi, Cairo, cet. II, 1996, hlm. 126

[14] Ibid. hlm. 231

Jumat, 08 Oktober 2010

MUSHAF CIREBON

Kado Istimewa Islam Lokal Untuk Muslim Sedunia

DR. KH. Affandi Mochtar, MA.



Dzakara al-Syaykh al-Imâm Abu Muhammad bin ‘Abd-i al-Salâm fî kitâbih-i al-Qawâ’id, anna al-bida’ ‘ala khamsati aqsâm: wâjibah, wa muharramah, wa makrûhah, wa mustahabbah, wa mubâhah. Wa qawluh-u wâjibah, wa min amtsilatihâ tadwîn al-Qur`ân wa al-syarâ`i’ idzâ khîfa ‘alayh-i al-dhaya’...,”. [Al-‘Allamah Abu Bakar al-Sayid al-Bakri bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’ânah al-Thâlibîn].



Sekilas Sejarah Kodifikasi al-Qur`an

Al-QUR`AN adalah kitab suci umat Muslim sedunia, Muslim Arab dan non-Arab (‘ajam). Keberadaannya merupakan penunjuk jalan (hud-an) umat Muslim dalam meraih keselamatan, kesuksesan, dan kebahagiaan dunia-akhirat (al-sa’adah fî al-dârayn). Dan bahasa al-Qur`an yang masih gelobal telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad baik dengan ucapan verbal maupun dengan praktik aplikatif. Di samping, karakteristik bahasa al-Qur`an yang gelobal mengandung ambiguitas makna yang tanpa batas, yang diperbolehkan bagi umat Muslim yang kompeten menafsiri atau mentakwil sehingga menghasilkan reproduksi makna yang kaya.

Dari sejarahnya, saat Nabi Muhammad saw. mendapat wahyu Allah pada abad ke-7, al-Qur`an masih ditulis secara manual oleh para sekretaris pribadinya di pelapah Kurma, kulit, tulang-belulang, dan lempengan batu. Belum sempat dikumpulkan dan dikodifikasi sedemikian rupa. Di sisi lain, al-Qur`an terjaga secara rapih dan komprehensif di dalam dada-dada para sahabat yang hafal al-Qur`an. Para penghafal al-Qur`an dengan setia terus menjaga hafalannya dengan cara membaca, melafalkan dan men-deras-nya. Dan di kalangan para sahabat juga ada kelompok qurrâ` (para pembaca al-Qur`an).

Pasca Nabi Muhammad, umat Islam dipimpin oleh Abu Bakar al-Siddiq, seorang sahabat dekat Nabi, orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan laki-laki dewasa, mertua yang sayang kepada menantunya (Nabi), dan pernah mendapatkan amanah sebagai pengganti Nabi menjadi imam shalat jamaah. Pada masa kepemimpinannya, ada sebagian umat yang membelot, tidak mau membayar zakat dan mengadakan pelarangan secara massif kepada yang lainnya agar tidak membayar zakat. Dan gerakan ini dibendung oleh Abu Bakar. Pendekatan persuasif sudah dilakukan dan gagal. Akhirnya jalan keluar yang dilakukan adalah perang. Dalam peperangan inilah banyak menewaskan para sahabat yang hafal al-Qur`an yang ada di bawah bendera Abu Bakar. Dengan melihat fenomena itu, Umar bin al-Khatthab merasa resah dan khawatir jika terus-terusan perang, maka para penghafal al-Qur`an sedikit demi sedikit tewas tak tersisa dan al-Qur`an pun tak terselamatkan. Umar mengusulkan ke Abu Bakar dan para sahabat senior agar al-Qur`an dikumpulkan dan dikodifikasi (tadwîn) menjadi sebentuk kitab suci yang dapat dibaca. Meski pada awalnya ide Umar ini terjadi pro dan kontra, namun melihat kemaslahatan yang lebih besar bagi umat Islam akhirnya ide itu disepakati untuk direalisasikan. Dan al-Qur`an yang dikodifikasi diberi nama al-Qur`an Abu Bakar al-Siddiq.

Meski al-Qur`an sudah dikodifikasi, para sahabat masih menghargai perbedaan-perbedaan kecil baik perbedaan bacaan atau tulisannya. Seperti al-Qur`an Ibn Mas’ud, dll., yang secara bacaan dan tulisan berbeda. Bacaan antarsuku Arab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan lahjah. Dan perbedaan dihargai. Barangkali inilah embrio munculnya qirâ`ât (bacaan) al-Qur`an yang beragam yang sampai sekarang terdapat tujuh bacaan (qirâ`ât sab’ah) atau bahkan empat belas bacaan, yang diabadikan dalam kitab “Nazhm al-Syâthibîyyah”. Sedangkan perbedaan rasm (tulisan) al-Qur`an di kalangan para sahabat telah diabadikan oleh Imam al-Sajistsani dalam kitabnya “al-Mashâhif”.

Dan pada masa khilafah Utsman bin Affan, keresahan muncul kembali berkaitan dengan sedemikian banyaknya berbedaan tulisan dan bacaan al-Qur`an, yang dikhawatirkan akan muncul perbedaan pendapat dan perpecahan umat Islam dikemudian hari. Apa yang diharapkan adalah persatuan umat, dan persatuan dapat dicapai dengan syarat kitab sucinya harus satu tidak boleh berbeda-beda. Dengan landasan pemikiran ini, akhirnya khalifah ketiga Utsman bin ‘Affan yang memerintah pada tahun 644 – 665, ayat-ayat yang terkumpul ditulis kembali dan dihimpun dalam bentuk kitab al-Qur`an yang diberi nama Mushaf ‘Utsmânîy atau yang dikenal sekarang dengan al-Qur`ân Rasm ‘Utsmâniy.

Pada masa Abd al-Malik bin Marwan wilayah kekuasaan Islam makin luas sehingga pemeluknya bukan saja orang Arab. Sejak saat itu al-Qur`an disempurnakan dengan memberi tanda baca. Saat itu pula berkembang perpaduan seni Islam dan seni lokal yang tertuang dalam desain dan iluminasi al-Qur`an. Seni lokal itu antara lain Arab, Persia, Mesir, Spanyol, Bizantium, India, Cina, termasuk Indonesia.



Mencetak al-Qur`an Dalam Perspektif Syariat

Setelah umat manusia menemukan teknologi percetakan. Cina pada abad ke-14 menemukan teknologi percetakan yang masih manual—modern untuk zamannya. Dan selanjutnya Johann Gutenberg pada tahun 1450 menemukan tekonologi percetakan yang lebih maju dari Cina, dan buku yang pertama kali dicetak adalah Alkitab.

Umat Islam pun menikmati berkah dan manfaat dari percetakan dengan mereproduksi al-Qur`an sebanyak-banyaknya. Bahkan percetakan yang sekarang sudah semakin modern, seperti muncul internet, rekaman, CD, audio visual, dll, juga umat Islam menggunakannya cukup maksimal untuk mensosialisasikan dan mendakwahkan al-Qur`an.

Benar bahwa teknologi percetakan yang berkembang sedemikian pesatnya tidak atau belum ada pada masa Nabi Muhammad hidup. Bahkan kodifikasi al-Qur`an dilakukan pada masa pasca Nabi. Kita tahu bahwa dalam historiografi bahasa Arab kuno pra-Islam, pada masa Nabi sampai pasca Nabi masih belum ada bentuk huruf-huruf hijaiyah, dan belum terbentuk seperti sekarang kita ketahui. Dan penulisan al-Qur`an dengan bahasa Arab yang huruf-huruf hijaiyah berbentuk seperti sekarang ini baru ditemukan oleh seorang ulama yang terkenal pakar bahasa Arab, pengagas pertama al-Mu’jam bahasa Arab yang diberi judul Mu’jam al-‘Ayn, dan penemu rumus dan teori notasi syair Arab (‘arûdh dan qawâfîy), yaitu Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sekitar abad ke-2 Hijriyah. Dengan ketekunan dan kepiawaiannya, huruf-huruf Hija`iyah bahasa Arab bisa dibaca oleh siapa pun, baik orang Arab atau non-Arab. Dan al-Qur`an selanjutnya ditulis dengan menggunakan pola penulisan tersebut.

Lalu bagaimana pandangan syariat dalam menyikapi persoalan percetakan al-Qur`an? Pertanyaan ini dirasa perlu diajukan, sekurang-kurangnya ada beberapa sebab yang perlu dijelaskan dan diluruskan. Dan sebab yang paling signifikan adalah adanya doktrin bahwa segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh dan pada masa Nabi adalah bid’ah yang tidak boleh direalisasikan. Pencetak al-Qur`an karena itu adalah bid’ah sebab Nabi sendiri tidak pernah melakukannya. Ada sebuah hadits yang sangat terkenal, “Kullu bid’ah dhalâlah, wa kullu dhalâlah fî al-nar” (Semua bid’ah adalah menyesatkan. Dan setiap yang menyesatkan akan menjerumuskan ke dalam neraka). Hadits ini tidak bisa kita ambil dan ditelan mentah-mentah, harus ditafsiri dengan tepat. Apa yang dimaksudkan hadits tersebut, dengan menggunakan pendekatan mantiq, adalah ba’dh min kull (sebagian dari keseluruhan), yang artinya tidak seluruh bid’ah adalah menyesatkan. Hanya sebagian bid’ah saja yang menyesatkan, sedangkan sebagian yang lain tidak menyesatkan bahkan ada yang diwajibkan. Dalam satu keterangan kitab kuning saya kutipkan:

Dzakara al-Syaykh al-Imâm Abu Muhammad bin ‘Abd-i al-Salâm fî kitâbih-i al-Qawâ’id, anna al-bida’ ‘ala khamsati aqsâm: wâjibah, wa muharramah, wa makrûhah, wa mustahabbah, wa mubâhah. Wa qawluh-u wâjibah, wa min amtsilatihâ tadwîn al-Qur`ân wa al-syarâ`i’ idz khîfa ‘alayh-i al-dhaya’...,”. [Al-‘Allamah Abu Bakar al-Sayid al-Bakri bin al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’ânah al-Thâlibîn].

(...Syaikh al-Imam Abu Muhammad bin Abd al-Salam menjelaskan dalam kitabnya, al-Qawa’id, bahwa hukum bid’ah dapat dibagi menjadi lima: wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah. Dan contoh bid’ah yang wajib dilakukan adalah tadwin (mengkodifikasi) dan mencetak al-Qur`an atau mencetak disiplin ilmu-ilmu syariat, [yang kalau tidak dicetak dan dikodifikasi] ditakutkan akan hilang..)

Dengan mengacu pada keterangan tersebut, maka mencetak al-Qur`an adalah bid’ah yang wajib direalisasikan. Sudah barang tentu, percetakan al-Qu`ran tidak terbatas dan monoton satu varian iluminasi dan satu gaya tulisan, bahkan absah juga dicetak dengan berbagai macam varian iluminasi, ornamen dan tipe yang diinginkan sesuai selera dan budaya yang pantas.



Mengagas Mushaf Cirebon

Indonesia yang tercatat secara kualitas penduduk Muslimnya terbanyak di dunia. Dan Indonesia terdiri suku-suku dan daerah yang memiliki kebudayaan dan kesenian lokal yang cukup kaya. Di samping, kecintaan terhadap al-Qur`an tidak diragukan lagi tertanam dalam pribadi umat Muslim. Salah satu buktinya adalah antosiasme masing-masing daerah mencetak al-Qur`an dengan menggabungkan dan mengelaborasikan antara seni Arab dan seni lokal setempat.

Di Jawa Barat, terdapat cetakan al-Qur`an yang menjadi ciri khas Pusdai Jabar, yang dinamakan dengan al-Qur`an Mushaf Sundawi, sebuah karya monumental mushaf yang iluminasi atau ornamenya berasal dari motif Islami Jawa Barat, seperti mamolo mesjid, motif batik, mihrab, dan artefak lainnya. Desainnya bersumber pada flora khas Jawa Barat, seperti Gandaria dan Patrakomala.

Penulisan Mushaf Sundawi mengacu dan tunduk pada kaidah baku ragam Utsmani dengan jenis tulisan atau Khat Naskhi, Tsuluts, dan Kifi. Mushaf Sundawi ditempatkan pada peti yang didesain khusus dan dipamerkan di ruang pameran Mushaf Sundawi di kompleks Pusdai Jabar.

Al-Qur`an tersebut disimpan di Galeri Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat, jalan Diponegoro, Kota Bandung. Banyak orang belum mengetahui adanya al-Qur’an dengan hiasan motif Sunda. Mushaf Sundawi disimpan dalam tiga peti yang dilapisi emas dan berukir khas Sunda. Di dalam peti terdapat lembaran al-Qur’an besar. Sementara di dinding galeri juga terpajang beberapa ayat al-Qur`an yang memiliki iluminasi yang berbeda-beda.

Seni mushaf atau memperindah kitab sudah dimiliki oleh masyarakat Indonesia seperti Aceh, Sumatera Barat, pesisir Utara Jawa mulai dari Banten, Cirebon, Jawa Timur, dan Madura. Dari kalimantan, Sulawesi, Ternate, dan daerah-daerah Islam lainnya sudah dipastikan adanya mushaf tulisan tangan yang dihiasi iluminasi. Iluminasi antara lain terdapat pada cover al-Qur`an dan bingkai ayat-ayat setiap lembar al-Qur`an.

Pada tahun 1995, berdasarkan surat keputusan Kepala Daerah Jawa Barat dibuat Mushaf Sundawi. Inspirasi iluminasi dan desain berasal dari momolo (kubah mesjid khas Jawa Barat), batik, ukiran mimbar dan artefak lain. Motif berbentuk binatang dan bunga khas Jawa Barat. Motif tersebut antara lain dua buah motif teh, padi, motif khas Banten, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Tangerang, Betawi, Indramayu, Cirebon, Bekasi, karawang, Purwakarta Subang, Ciamis, Banjar, dan Tasikmalaya.

Jauh sebelum dicetknya Mushaf Sundawi Jabar tersebut. Terlebih dahulu terdapat Mushaf Cirebon yang masih tersimpan di keraton Cirebon. Mushaf Cirebon tersebut dengan iluminasi menggunakan ukiran gambar bentuk Makhluk zomoorphic Macan Ali. Belakangan dicetak juga Mushaf Sumedang dan Banten.

Hanya saja, cukup disayangkan bahwa Mushaf Sundawi Jawa Barat dan Mushaf Cirebon kuno disimpan di keraton atau di masjid atau Galeri Pusat Dakwah Islam tertentu sebagai simbol Islam lokal. Tidak dicetak secara massif. Dan karenanya perlu ada gerakan massif pencetakan Mushaf Cirebon kembali dan bukan sekedar untuk disimpan di sebuah tempat keramat dan menara gading.

Meski Jawa Barat sudah mencetak mushaf khas dan sebagai identitas Islam lokal. Akan tetapi dirasa belum bisa mewakili secara keseluruhan daerah-daerah yang ada di dalamnya. Kita tahu bahwa wilayah Jabar bermacam-macam suku, di antaranya suku Sunda, Jawa, dan Betawi. Seperti Cirebon, Indramayu, dan Subang sebagian besar penduduknya adalah suku Jawa dan sebaian lagi Sunda. Karena itu jika mushaf Jabar adalah mushaf Sundawi, niscaya belum mewakili secara utuh Jawa Barat yang mengandung beragam suku itu. Di samping, bahwa dalam aspek keilmuan Islam merupakan sesuatu yang lumrah jika ada perbedaan pandangan dan capaiannya. Dalam persoalan al-Qur`an, misalkan, bisa jadi tanda baca al-Qur`an Jawa Barat dan al-Qur`an Cirebon ada perbedaan. Dan perbedaan menunjukkan sebuah kekayaan khazanah Islam tersendiri, dan bukan menunjukkan kelemahan tapi justru kelebihan.

Cirebon bagaikan majma’ al-bahrayn (tempat bertemunya dua lautan), yaitu lautan Jawa dan Sunda. Dan kedua tradisi dan kebudayaan ini tercermin dalam satu identitas tersendiri. Namun, jika dilihat dari segi proses Islamisasi, maka Cirebon jauh lebih tua dari daerah-daerah yang ada di Jabar lainnya. Bahkan Sunan Gunungjati, salah satu walisongo, memilih Cirebon sebagai sentral dakwah Islam Jabar. Mushaf Cirebon kuno yang dihiasi dengan iluminasi macan Ali, sebagai lambang bahwa penyebar Islam di Cirebon, yaitu Sunan Gunungjati adalah seorang habib keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan dengan masuknya Islam, secara otomatis al-Qur`an pun secara bersamaan ikut masuk ke Cirebon jauh sebelum Jabar. Karena itu, mushaf al-Qur`an Cirebon dirasa perlu untuk dihidupkan kembali dengan dipoles menggunakan kesenian lokal khas daerah dan dimodif sedemikian rupa diselaraskan dengan zaman.

Mushaf Cirebon harus direproduksi dengan iluminasi khas Cirebon, seperti ukiran batik, sebagai seni lokal, dan diracik dengan seni yang lain. Dan yang terpenting adalah tanda baca yang jika memiliki ke-khas-an tersendiri harus ditulis atau ditorehkan dalam mushaf tersebut. Kita tahu bahwa di Cirebon terdapat tanda baca yang khas. Meski jika diruntut genealogi al-Qur`an atau silsilah sanadnya, Cirebon dan daerah-daerah yang lain, seperti Yogyakarta dan Kudus, ada sambungan dan tali-temali mengrucut pada satu guru. Akan tetapi sebagaimana umumnya dalam tradisi keilmuan Islam, seperti bacaan al-Qur`an, setelah guru menyampaikan pada murid-muridnya, maka ilmu bacaan al-Qur’an yang sampai pada murid-murid akan berbeda-beda. Perbedaan para murid adalah wajar. Sebagaimana Nabi mengajarkan bacaan al-Qur`an pada para sahabat, dan terjadi perbedaan antar para sahabat. Sehingga sah-sah saja jika muncul mushaf Kudus, dan mushaf Cirebon.

Dan saat ini, kiranya cukup signifikan jika dicetak mushaf Cirebon sebagai bacaan umat Islam Indonesia dan dipasarkan secara massif, bila perlu diekspor ke luar negeri seperti Timur Tengah. Sehingga, umat Islam Indonesia bukan hanya menjadi konsumen al-Qur`an produk Timur Tengah. Tapi kita menjadi produsen al-Qur`an dan orang Arab Timur Tengah menjadi konsumennya. Sebab, al-Qur`an tidak hanya milik umat Islam Arab, namun juga milik umat Islam Indonesia, dan umat Islam Cirebon. Dengan kata lain, al-Qur`an Cirebon untuk umat Islam sedunia. Wa ma arsalnak-a illa rahmatan li al-‘alamin.

Sabtu, 02 Oktober 2010

MERAWAT KEYAKINAN MONOTEISTIK (TAUHID)

Oleh: KH. Husein Muhammad

NABI Muhammad saw. hadir sendirian ketika seluruh masyarakatnya berpestapora dalam tradisi-tradisi Politeistik dan tiraniknya. Ia tampil seorang diri untuk mendeklarasikan prinsip-prinsip kemanusiaan paling tinggi dan paling asasi, melalui kata-katanya, “Lâ Ilâh-a Illa Allâh”, menjawab seruan Tuhan, “Katakan, O, Muhammad, Dia, Allah, adalah Esa.” Inilah kata-kata yang selalu dikumandangkan di hadapan masyarakatnya. Kalimat pendek dan amat sederhana ini ternyata sangat mengusik nurani, pikiran dan tradisi mereka. Karena kalimat itulah mereka menjadi sangat marah, terpukul dan menyimpan kebencian mendalam dan meledak-ledak. Para petinggi komunitas yang kapitalis itu “semaput”. Kepercayaan mereka terhadap Nabi sebagai “al-Amîn” (orang yang terpercaya) dan kebanggaan mereka selama berpuluh tahun terhadap anak muda yang gagah, tampan dan brilian itu segera ditarik dan dibatalkan. Persahabatan mereka dengan Nabi diputuskan dan diganti menjadi permusuhan. Sejuta cara kemudian dilakukan mereka untuk membungkam mulut Nabi. Tetapi alih-alih mau kompromi sejengkal, Nabi dengan tegar menolaknya. Keyakinan Monoteistik (Tauhid) itu tak pernah bisa digoyahkan oleh siapapun dan oleh apapun. Tak bisa ditawar dengan apapun. Nabi yang mulia menjalankan pesan Keesaan Tuhan itu dengan seluruh keyakinannya. Ini karena ia berarti bahwa manusia harus tunduk dan patuh pada Tuhan semata, tidak kepada yang lain. Ia berarti bahwa manusia harus dibebaskan dari belenggu-belenggu yang menindas dan praktik-praktik kebudayaan dan peradaban yang tiranik, yang ahumanistik. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan mempertahankan, menyebarkan dan memperjuangkan prinsip Tauhid tersebut meski harus dengan menyerahkan nyawanya.

Abu Thalib, pamannya yang tercinta dan yang amat mencintainya, diminta para pembesar Quraisy membujuknya dengan cara yang mungkin agar ia menghentikan seruan Tauhidnya itu. Kepada sang paman itu Nabi dengan tegas mengatakan, “O, paman, demi Tuhan, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku untuk memaksaku agar meninggalkan tugas suci ini, sungguh, tidak akan aku tinggalkan sampai Tuhan memberiku kemenangan atau aku mati karenanya.” Ini kalimat yang amat dikenang berjuta muslim.

Pribadi Nabi yang lembut itu ternyata juga pribadi yang kokoh dan teguh dalam pendiriannya yang satu itu, seteguh karang berabad dilaut. Tuhan menyuruh Nabi untuk mengatakan kepada mereka dan tanpa ragu dan gentar, “Lâ a’bud-u mâ ta’budûn wa lâ antum ‘âbidûn-a mâ a’bud, lakum dînukum waliya dîn” (Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kamu juga tidak harus menyembah apa yang aku sembah. Keyakinan kamu adalah keyakinan kamu, dan keyakinanku adalah keyakinanku).

Meski gagal membujuk sang keponakan terkasih, Abu Thalib tetap saja melindungi dan mencintainya dengan seluruh ketulusan. Bahkan cintanya semakin mendalam. Mata para pemimpin Quraisy yang musyrik-pagan, itu semakin gelap. Mereka tak lagi bisa berpikir normal. Mereka kehilangan akal sehat. Pikiran mereka terus berambisi memburu dan menghabisi Muhammad yang telah dianggap meruntuhkan previlase dan harga diri mereka. Mereka merencanakan cara lain yang diharap akan mampu melumpuhkan Nabi. Muhammad, dan pengikutnya, menurut mereka, harus dibunuh pelan-pelan dan rame-rame, melalui aksi pembiaran lapar. Masyarakat diserukan untuk tidak berhubungan dengan Nabi dan para pengikut setianya berikut melakukan transaksi ekonomi. Seluruh kebutuhan hidup mereka diboikot. Berhari dan berbulan, Nabi dan para sahabatnya tak lagi menjumpai makanan sebagaimana hari-harinya kemarin. Tetapi mereka tetap setia dalam keyakinan Tauhid itu. Daun-daun yang ada di sekitar mereka tak pelak menjadi makanan mereka sehari-hari, karena itulah yang tersedia. Kulit pisang yang sudah jatuh di tanah dan kotor, dicuci lalu dimakan.

Bilal, budak belian berkulit hitam dari Ethiopia, tak goyah, meski terik matahari sahara yang bisa membuat kulit tubuh terkelupas terus menebar di sekujur tubuhnya, bahkan meski bersama dengan itu batu besar panas menindihnya. Bilal tetap setia kepada kepercayaan Tauhid itu, meski penderitaan terus menderanya berhari-hari, sampai Abu Bakar membebaskannya. Dan Bilal diminta Nabi menjadi orang pertama yang berdiri gagah di atas bukit Kubais, menyerukan Ke-esaan Tuhan dan Kemahabesaran-Nya. Nabi memilihnya lantaran kualitas suaranya yang merdu mendayu-dayu.

Mengapa mereka begitu luar biasa kokoh dalam keyakinan itu. Kalimat Tauhid, “Tidak ada tuhan selain Allah,” dan kumandang takbir Bilal, “Allah Akbar,” memang begitu singkat dan sederhana. Tetapi mereka amat mengerti bahwa ia menyimpan makna yang amat dahsyat dan mengguncang tradisi dunia kuno, bagai magma gunung berapi yang meledak dan melelehkan panas. Kalimat itu sejatinya merupakan statemen amat tegas dan sangat gamblang tentang basis bagi prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Allah Akbar bermakna; Hapuskan diskriminasi manusia atas nama apapun. Bebaskan manusia dari system politik despotic dan Aristokratik. Hentikan perampokan dan perampasan harta rakyat. Sudahi pembunuhan bayi-bayi perempuan dan perendahan atas mereka. Ajari rakyat tentang arti menjadi manusia, ciptaan Tuhan yang paling terhormat dan bermartabat.

Kalimat Tauhid itu jelas sekali merupakan deklarasi tentang keharusan penghapusan perbudakaan manusia atas manusia, penghentian monopoli kekayaan ekonomi dan sumberdaya alam, pembebasan manusia dari kekuasaan politik yang menindas, penghapusan kekerasan terhadap perempuan sekaligus memajukanya hingga menjadi setara. Dalam waktu yang sama ia juga merupakan deklarasi Islam tentang keharusan manusia membangun system social dan ekonomi yang adil, ditegakkannya dan hukum yang benar, jujur dan berkeadilan, pembentukan system politik yang demokratis, pembangunan relasi persaudaraan atas dasar kemanusiaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pencerdasan masyarakat serta melakukan kontestasi (perlombaan) dalam kebajikan dan kesalehan baik individu maupun sosial.

Tak pelak, tak lama sesudah deklarasi kemanusiaan universal itu didengungkan, dunia lama yang kelam tiba-tiba berubah menjadi dunia baru yang bercahaya. Dan cahaya itu berpendar laksana matahari: menyinari semesta, menghidupkan, mencerdaskan dan mengairahkan.

(Cirebon, 30-09-10)