Kamis, 07 April 2011

Ibnu Malik dan Karya Monumentalnya

Oleh: Abdul Muiz Syaerozi

Alfiyyah Ibnu Malik demikian populer dan melegenda. Kitab ini di kenal dibelahan dunia, baik daratan timur maupun barat. Di barat, “The Thousand Verses” nama lain dari kitab Alfiyyah Ibnu Malik ini dijadikan panduan utama di bidang kajian linguistik Arab.

Di Indonesia, Alfiyyah Ibnu Malik juga di kaji diberbagai daerah. Pesantren-pesantren yang tersebar diwilayah Nusantara hampir tidak ada yang menyingkirkan peranan kitab ini. Semua pesantren menempatkan Alfiyah Ibnu Malik sebagai rujukan utama. Ia menjadi kitab yang paling dominan dalam study gramatika-mortofologi Arab.

Besarnya peranan Alfiyyah Ibnu Malik tampaknya menjadi titik puncak bagi harapan si pengarang. Ibnu Malik pernah mengungkapkan melalui satu bait dalam nadzomnya; “Waqad yanubu ‘anhu ma ‘alaihi dal kajidda kullal jiddi wafrokhil jadal”. Nadzom ini seolah-olah mengisyaratkan keinginan Ibnu Malik bahwa Alfiyyah yang benar-benar telah menggantikan perannya munjukkan seperti sebuah langkah penuh keseriusan dan kebahagian yang tiada tara.

Harapan akan manfaat kitab Alfiyyah Ibnu Malik bagi dinamika ilmu keislaman juga pernah diungkapkannya melalui salah satu bait dalam nadzomnya; “Wallahu Yaqdhi bihibatin waafiroh li walahu fi darojatil akhiroh”. Semoga dengan ampunan yang sempurna, Allah memberikan aku dan dia (Ibnu Mu’thi) sebuah drajat tinggi di akhirat.

Peran penting Alfiyyah Ibnu Malik tidak hanya di tuntunjukkan oleh geliatnya yang tinggi di Andalusia, melainkan juga pengaruhnya bagi pembentukan karakteristik dan corak keilmuan lainnya. Misal, tafsir al-Makki Ibn Abi Thalib al-qaysi, atau Tafsir al-Muharrar al-Wajiz karangan Ibnu ‘Athiyyah. Tafsir-tasir karangan ulama Andalusia itu ternyata banyak dipengaruhi oleh mencuatnya Alfiyyah Ibnu Malik di daratan tersebut. Ini ditandai dengan cara penafsiran Al Qur’an dengan menggunakan pendekatan Nahwu- Shorof.

Tidak hanya itu. Alfiyah Ibnu Malik sebagai pusat perhatian dunia dalam konteks keilmuan gramatika-mortofologi Arab juga di buktikan dengan munculnya kitab-kitab kembangan. Audhah al-Masalik, Taudhih al-Maqa’shid, Manhaj as-Salik, Al-Maqashid as-Syafi’iyyah, syarakh Abu Zayd al-Makudi dan lain-lain adalah kitab reproduksi Alfiyyah Ibnu Malik. Kitab-kitab tersebut merupakan penjelasan secara detail tentang nadzom-nadzom Alfiyah, baik dikemas dengan model Syarah maupun Hasyiyah.

Begitu banyak orang yang cenderung mengkajinya, sampai-sampai Ibnu Malik sebagai pengarangnya dinobatkan sebagai Taj ‘ulama an-Nuhaat (Mahkota Ilmu Nahwu). Alfiyyah Ibnu Malik adalah karya monumentalnya. Lalu, bagaimana perjalanan intelektual pengarang Alfiyah Ibnu Malik? Dan bagaimana perkembangan Alfiyah di Indonesia saat ini?.

Biografi Intelektual Ibnu Malik

Ibnu Malik memilki nama lengkap Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad ibnu Abdullah ibnu Malik al-Tha’i al-Jayyani al-Andalusi. Penisbatan kata al-Jayyani al-Andalusi pada dirinya adalah penisbatan dimana daerah ia berasal.

Abdillah kecil lahir di kota Jayyan, salah satu kota utama di Andalusia (Spanyol) bagian Selatan, pada tahun 1203 M. Atau pada bulan Sya’ban tahun 600 H. Ia dikenal sebagai anak yang cerdas. Sejak kecil Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad telah berhasil menghafal al Quran dan ribuan hadis. Karenanya, ia disayang banyak guru.

Mula-mula, Ibnu Malik belajar pada ulama-ulama tersohor dikota kelahirannya, seperti Tsabit bin Khiyar, Ahmad bin Nawwar dan Abdullah as-Syalaubini. Dari ketiga tokoh itu, Ibnu Malik kecil memperoleh ilmu-ilmu keislaman.

Seiring dengan usianya yang bertambah, Ibnu Malik sangat rajin dan penuh semangat. Ia berhasrat mendalami ilmu-ilmu keislaman yang populer dimasanya, seperti Hadis dan Tafsir. Namun karena situasi politik yang kurang mendukung, Ibnu Malik harus rela meninggalkan kota kelahirannya. Jayyan pada 1246 M jatuh ke tangan tentara Castella.

Perjalanannya cukup panjang. Dinasti Muwahhidun tidak lagi menjadi penguasa yang kokoh. Satu persatu daerah kekuasaannya di semenanjung Andalusia jatuh ke pihak lain. Pertama-tama Toledo; kota pusat ilmu pengetahuan di Spanyol Utara, kemudian disusul Huesca. Pada tahun 1119, giliran Zaragoza (Sarqasthah) terlepas dari tangan Muwahhidun. Lalu Counca pada tahun 1177 M.

Tidak hanya kota-kota itu, Silves (Syalb), Merida, Bajah atau Badajos, Ibza dan Cordoba jatuh pula ke tangan tentara Castella. Semua ini terjadi pada tahun-tahun yang berbeda. Kemudian pada tahun 1234 Giliran kota Miricia dan kota Tolavera pada tahun 1236 M. Kota Denia dan Lisbona juga jatuh ketangan pihak lain sebelum akhirnya kota Jayyan juga jatuh ketangan tentara Castella. Situasi politik inilah yang memaksa Ibnu Malik harus meninggalkan kota kelahirannya.

Ibnu Malik hijarah ke Damaskus, sebuah kota dimana Malik pertama kali singgah sedang mengalami pergeseran kekuasaan; dari dinasti Ayubiyyah ke dinasti Mamalik. Bagi Ibnu Malik, pergeseran ini membawa berkah tersendiri. Pasalnya, Dinasti Mamalik adalah dinasti kuat dengan sitem keamanan yang terjamin sehingga dia dapat mengerahakan segala kemampuannya (Badzlul wus’i) untuk mengais lebih dalam tentang ilmu –ilmu keislaman dengan leluasa.

Di Damaskus, Ibnu Malik justru memalingkan orientasinya. Awalnya hendak memperdalami ilmu Hadis dan Tafsir, tetapi belakangan cenderung ke ilmu nahwu dan shorof. Perubahan orientasi keimuan Ibnu Malik dilatari oleh rasa ingin tahu tentang fenomena struktur bahasa arab yang ia temui berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Padahal, gramatikal arab sangat penting perannya dalam memahami al-qur’an dan Hadis sebagai sumber keilmuan.

Sungai disusuri, laut pun hendak di arungi. Demikian pribahasa yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Ibnu Malik. Belum puas mendalami ilmu nahwu dan shorof di Demaskus, Ibnu Malik melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke kota Hallab (Aleppo,; Syiria Utara). Di kota ini Ibnu Malik belajar kepada Muwaffiquddin ibnu Ya’isy dan Ibnu Amri’un al-Hallabi.

Berkat kecakapannya mengkomparasikan teori-teori nahwu-shorof madzhab Iraq, Syam (Masyriq) dan Andalusia (Maghrib), karir intelektual Ibnu malik kian di perhitungkan di kedua kota itu. Ia di kenal dan dinobatkan sebagai taj’ulama an-Nuhat (mahkota ilmu nahwu). Ia kemudian diangkat menjadi dosen di madrasah kota Hamat selama beberapa Tahun.

Namanya mulai kesohor. Sultan al-Maliku as-Sholih Najmuddin al-Ayyubi, seorang penguasa Mesir, meminta Ibnu Malik mengajar di Kairo Mesir. Ia menetap di Kairo untuk beberapa tahun hingga akhirnya kembali ke Demaskus. Di kota ini, sampai akhir hayatnya, Ibnu Malik menggembleng murid-muridnya yang terkenal, seperti Badruddin Ibnu Malik, Ibnu Jama’ah, Abu Hasan al-Yunaini, Ibnu Nahhas, dan imam an-Nawawi.

Selain karya monumentalnya; Alfiyyah Ibnu Malik, Abu Abdillah Jamaluddin Muhammad ibnu Abdullah ibnu Malik al-Tha’i al-Jayyani al-Andalusi juga mengarang banyak kitab antara lain, al-Muwashal Fi Nadzm al-Mufashsal, Sabk al-Mandzum wa-fakk al-Makhtum, Ikmal al-‘Alam bi Mutslats al-Kalam, Lamiyah al-Afal wa-Syarhuha, al-Muqoddimah al-Asadiyah, ‘iddah al-Lafidz wa-‘umdah al-Hafidz, al-‘Itidha fi az-Zha wa ad-Dhad dan ‘irab Musykil al Bukari. Kebanyakan kitab-kitab yang dikarangnya ini mengetengahkan tema-tema Linguistik.

Reproduksi Alfiyyah Ibnu Malik di Indonesia

Di Indonesia, Alfiyyah Ibnu Malik disambut antusias. Dari dulu hingga kini pesantren-pesantren yang tersebar di berbagai wilayah mengkaji kitab ini. Bahkan, dalam pandangan masyarakat pesantren, seseorang akan dikatakan ‘alim jika dia benar-benar telah memahami dan sekaligus hafal nadzom-nadzom Alfiyah secara keseluruhan.

Kompetisi para santri yang di wujudkan dalam bentuk lomba-lomba atau musabaqoh hafalan Alfiyyah membuktikan pentingnya Alfiyyah di mata masyarakat pesantren. Bagi para pemenang, tidak hanya mendapatkan medali secara material, melainkan pula hadiah sosial. Pemenang akan dianggap sebagai santri yang cerdas dan pandai.

Selain di hapal dan di pahami, Kitab Alfiyah Ibnu Malik juga di kembangkan. Seperti di pondok pesantren Lirboyo Kediri, Pondok Pesantren Ploso, Pondok Pesantren Sarang Rembang, Pondok Pesantren Tegal Rejo Magelang, Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon dan pesantren-pesantren lainnya. semua kitab-kitab reproduksi itu, kebanyakan tanpa mencantumkan nama penyusun dan hanya mencantumkan nama penulis khotnya.

Paling tidak, ada tiga model kitab reproduksi Alfiyah Ibnu Malik yang berkembang di pesantren. Pertama, model pembahasan menyeluruh. Model ini berusaha menjelaskan perkalimat dari lafadz-lafadz atau kalimat-kalimat yang tercantum di dalam nadzom Alfiyyah Ibnu Malik. Kedua model penjelasan terbatas. Model ini hanya memaparkan atau menjelaskan kalimat-kalimat yang dianggap perlu dipaparkan secara naratif. Dan terakhir adalah model penjelasan pernadzham. ini lebih cenderung menjelaskan satu atau beberapa nadzhom yang masih berbicara dalam satu tema.

Secara teknis, penulisan kitab-kitab reproduksi Alfiyah Ibnu Malik ada yang menggunakan bahasa arab dan ada pula yang menggunakan arab pegon. Namun kesemuanya, tetap mengacu pada kitab-kitab garamatika Arab karya ulama-ulama timur tengah sebagai bahan rujukannya. Hal ini mungkin karena belum ditemukannya kitab-kitab gramatika-mortofologi Arab karya ulama-ulama Nusantara masa lalu.

Dan yang paling menarik adalah penamaan atas kitab-kitab kembangan Alfiyah itu. Di pesantren Babakan Ciwaringin misalnya, kitab itu di istilahkan dengan takriran. Ini berbeda dengan pesantren Lirboyo. Di Lirboyo, istilah yang digunakan adalah Taqrir. Begitu pula di pesantren Tegal rejo. Pesantren ini menggunakan istilah tahrir. Perbedaan itu, apakah sebatas perbedaan dialek atau karena memang mempunyai makna yang beda sama sekali. Ini tentu harus mendapatkan perhatian secara khusus.

Wallahu ‘alam bissawab.

Penulis aktif di Rumah Kitab; Kitab Kuning Study Center For Society Empowerment


Senin, 28 Maret 2011

Catatan Etnografi Penelitian Nilai-Nilai Pembentukan Karakter Bangsa Di Pesantren Bali Bina Insani

Oleh: Mukti Ali el-Qum (Peneliti Rumah Kitab)

INI adalah penelitian antropologis saya yang pertama kali saya lakukan. Meskipun telah beberapa kali melakukan penelitian seperti penelitian tentang kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, namun obyek penelitiannya berbeda. Pada penelitian kitab, fokus dan interpertasi saya melulu pada kitab dan isisnya (study content analysis), sementara subyek penelitian kali ini adalah orang-orang yang berada di balik pembacaan kitabnya. Saya merasa sangat antusias tetapi sekaligus kuatir akan kemampuan diri sendiri. Kami, para peneliti di rumah kitab telah mendapatkan training metode penelitian antropologis yang dipandu para peneliti senior seperti Pak MM. Billah, Mas Anas saidi, Ibu Lies Marcoes. Berbekal hasil training, bacaan dan tekad saya memulai menjadi peneliti dengan pendekatan yang berbeda dari yang biasanya saya lakukan. Catatan etnografi ini merupakan catatan lapangan saya yang saya olah dari catatan harian yang jauh lebih mendetail dari catatan ini.

Selasa 25 Januari 2011 pagi, saya memulai penelitian setelah menyiapkan semua perlengkapan penelitian dan pamit kepada DR. KH. Affandi Mochtar, MA., pembina kami di Yayasan Rumah Kitab. Menjelang siang, saya sampai di bandara Denpasar-Bali. Saya kemudian kontak ke pesantren Bali Bina Insani, sebagai salah satu kandidat yang akan saya teliti. Dan ternyata nomer kontak itu langsung menghubungkan saya dengan Kyai Ketut Imaduddin Djamal selaku pengasuh sekaligus mudir (direktur) pesantren. Saya menyampaikan tujuan saya, yaitu penelitian pesantren; sudah barang tentu saya sebut juga bahwa saya peneliti dari lembaga Yayasan Rumah Kitab, dan sedikit informasi tentang Rumah Kitab. Pak Kyai menyambut saya dengan ramah.

Rupanya Kyai Ketut sehari-hari menjabat sebagai ketua Hakim Peradilan Agama Denpasar. Kami sepakat bertemu Rabu, 26 Januari 2011. Hari itu beliau sedang ada di Tabanan, tempat tinggal sekaligus pesantrennya.

Sambil menunggu untuk wawancara besok hari, saya menghubungi teman saudara saya yang ada di Bali, namanya Ustadz H. Hasan. Setelah menjelaskan tujuan kunjungan saya ke Bali via Hp, beliau langsung menawarkan agar saya mampir dulu di rumahnya. Dengan senang hati saya menyetujuinya. Saya ingin mendapatkan informasi dari H. Hasan tentang Islam dan pondok pesantren di Bali.

Sambil menunggu jemputan, di depan bandara Denpasa-Bali, saya manfaatkan berbincang-bincang dengan tukang ojek dan supir taxi seputar turisme d Bali. Dalam obrolan itu, fenomena bom Bali beberapa waktu yang lalu ikut dibicarakan. Tukang ojek yang paling merespon pertanyana saya mengatakan bahwa akibat dari peristiwa bom Bali itu, banyak jenis usaha terkena imbasnya karena turis menjadi kurang berminat datang ke Bali, para karyawan hotel banyak sekali kena PHK atau dirumahkan. Banyak yang kehilangan lapangan pekerjaan akibat perusahaan banyak yang tutup. Ia menyatakan pandangan yang menurut saya sangat menarik. Menurutnya ia tekah menduga pelakunya pasti pendatang dari luar, bukan orang Bali, atau orang Islam di Bali. Menurutnya Muslim Bali toleran dan rukun dengan kaum agama lain sejak dulu. Ia menjelaskan bahwa mereka saling mengundang kalau ada pesta pernikahan atau pesta adat, begitu juga sebaliknya kalau orang Islam ada acara. Setelah agak lama berbincang-bincang, saya memberanikan diri untuk bertanya tentang status agamanya, dan ia menjawab agamanya Hindu.

Sambil berbincang-bincang, saya kontak Pak Nyoman Bruno, sahabat Pak Setyo yang beberapa bulan lalu dikenalkan kepada saya ketika dia berkunjung ke Cirebon. Sayang sekali, ia sedang sibuk mengikuti upacara Ngaben janazah saudaranya. Ia menjanjikan dua hari lagi bisa ketemu saya di Kuta, Bali.

Satu jam kemudian, pak H Hasan datang menjemput saya di Bandara. Dalam perjalanan, setelah menjelaskan tujuan saya di Bali, saya tanya tentang Islam dan pesantren di Bali. Di tengah perjalanan dari Denpasar menuju rumahnya, dia menawarkan agar kita shalat asar dulu. Kami pun mampir di sebuah masjid, yang berdampingan dengan sebuah gereja. Mungkin karena sedang penelitian soal hubungan antara agama, fenomena ini cukup membuat saya takjub. Di tanah kaum Hindu, ada dua bangunan rumah ibadah mesjid dan gereja yang dibangun dengan arsitektur modern namun menggunakan ornamen-ornamen Bali. Di depan gereja itu terpampang tulisan GPIB EKKLESIA, sedangkan di depan dinding atas masjid tertulis Masjid NURUL HUDA, Di antara masjid dan gereja itu terdapat bangunan yang bertuliskan Arab dan Indonesia berbunyi Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Badung. Di depannya berkibar umbul-umbul iklan kegiatan mesjid yang berbunyi “Muslim Fair; Muslim way of life Masjid Agung Sudirman, Minggu 30 Januari 2011”. Melihat fenomena ini saya sempat berkomentar ke Pak H. Hasan, “Wah luar biasa kedua tempat ibadah bisa berdampingan, toleran sekali!” Ia mengatakan bahwa banyak orang yang member komentar yang sama setiap kali melihat pemandangan itu.

Dalam perjalanan menuju rumahnya saya bertanya tentang pesantren dan kegiatan beliau. Dari perbincangan itu saya segera dapat menyimpulkan bahwa Pak Hasan aktif di kegiatan jamaah tabligh. Dalam konteks Islam di Bali, berulang kali dia mengintakan bahwa Muslim di Bali tidak sama dengan di Jawa. Bukan saja dari segi komposisinya di mana muslim merupakan minoritas tetapi juga karena peristiwa-peristiwa pergesekan sosial ekonomi yang dipicu oleh persaingan bisnis antara pendatang yang kebanyakan muslim dengan pribumi yang Hindu. Saya bersepakat dengan Pak Hasan bahwa pesantren bukanlah tradisi pendidikan yang tumbuh mengakar di Bali melainkan ditumbuhkan oleh orang luar atau berasal dari kebudayaan yang tumbuh di luar tradisi pendidian di Bali. Meski begitu, di Bali sebetulnya memiliki tradisi yang mirip dengan lingkungan pesantren di mana Pedande merupakan pusat dari pengajaran agama sebagaimana kyai di lingkungan pesantren.

Pada saat memasuki wilayah perumahannya, sebuah mobil berpapasan dari arah komplek, Pak Hasan memperlambat mobilnya dan menyapa pengendara mobil itu. Lagi-lagi karena sedang mengamati saya pun bertanya, “Tadi tetanggap ya, Pak, Cina ya?” Pak H. Hasan menjawab, “Ya, dia teman saya yang ke gereja (baca, Kristen).” Ia kemudian menambahkan, “Toleransi antarumat beragama sebetulnya sangat harmonis di sini.” Dalam berbincang-bincang, ia sempat mengutip hadits yang dia hafal dengan fasih, “Dalam sebuah hadits, Rasulullah mengatakan bahwa orang kafir (non-Muslim) di sekitar kita harus kita lindungi, selama mereka tidak mengusik dan memerangi kita.” Saya sedikit heran karena ia adalah pengikut Jam’iyah Khuruj atau Jamaah Tabligh yang dalam bayangan saya tidak toleran. Saya tak bisa dengan segera menyimpulkan bahwa ia memang benar-benar seorang mislim yang toleran hanya dari sebuah hadits yang dia ungkapkan. Satu hal yang saya pertimbangkan adalah, bagaimanapun, ia juga pelaku bisnis jual beli mobil sehingga pergaulannya cukup luas. Mungkin dengan alas an itu sikap terbuka kepada pihak lain, bergaul dengan banyak orang menjadi penting baginya karena terkait dengan bisnisnya.

Rumah Pak H. Hasan adalah di Perum Kubu Pratama. Kompleks itu terletak di Jln. Imam Bonjol, Denpasar. Ini adalah sebuah perumahan yang tergolong mewah, yang sebagian besar pemiliknya adalah muslim pendatang dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, dll. Perumahan ini juga dibangun oleh pendatang muslim. Islam pendatang pada awalnya cenderung ekslusif. Perumahan tempat Pak Hasan tinggal semula dibangun khusus untuk komunitas Muslim. Namun untuk pertibangan bisnis, terutama saat krisis moneter melanda Indonesia, perumahan ini menjadi lebih terbuka. Sebagian besar penduduk Muslim yang bekerja di sektor bisnis di Bali terkena imbas krisis ekonomi. Warga Muslim yang bisa bertahan hanya 30% dari jumlah penduduk yang ada di perumahan itu. Sebagian besar lainnya pindah atau kembali ke tempat asal mereka, dan perumahan diisi oleh warga Hindu atau Kristen.

Sikap ekslusif yang berubah menjadi inklusif yang terjadi di perumahan itu sebetulnya tidak dirancang dari awal melainkan menyesuaikan diri pada keadaan dan juga keragaman yang ada. Tanpa ada awig-awig (aturan desa) atau perda yang mengaturnya, warga perumahan mengatur diri mereka untuk saling menghargai, menghormati, bertegur sapa sebagaimana layaknya mereka bertetangga.

Sepanjang penelitian ini saya banyak berkenalan degan mereka, di antaranya adalah alumnus Pondok Pesantren Gontor yang bekerja dalam banyak bidang terutama menjadi guru. Dalam pengamatan saya tampaknya Islam di Bali memiliki warna yang berbeda antara Islam pendatang dengan Islam lokal yang umumnya pindah agama dari Hindu menjadi muslim.

Sejauh yang saya lihat ada kecenderungan berbeda dalam cara Islam lokal dan pendatang dalam beradaptasi dengan lingkungan setempat. Islam pendatang cenderung abai pada tradisi-tradisi lokal, sementara Islam lokal sangat kental diwarnai tradisi-tradisi lokal. Sejauh pengatamatan saya, warga muslim asli orang Bali tetap sangat mengapresiasi atau bahkan mampu mengadopsi kearifan lokal, sehingga warna ke-Bali-annya tetap kentara.

Rabu pagi, saya kembali menghubungi Kyai Ketut, dan ia menyanggupi untuk bertemu sore harinya. Pagi itu, saya mendapatkan sms dari DR. KH. Affandi Mochtar, “Priben proses penelitiane? Batur-batur pada lancar beli? Diniati kang serius lan matengaken integritas keilmuan, ok” (Bagaimana proses penelitiannya? Teman-teman pada lancar bukan? Diniati yang serius dan matangkan integritas kelimuannya, ok). Lalau saya jawab sms itu, “Teman-teman sudah ada di lapangan. Saya dapat tugas di Bali dan Jombang, sekarang saya lagi di Bali, Pak. Insyaallah kami semua serius. Mohon doanya.” Saya sangat terkesan dengan cara DR. KH. Affandi Mochtar memberi perhatian kepada kami para peneliti Rumah Kitab. Bagi saya, ini adalah bentuk dukungan moral yang sangat membesarkan hati dan memberi semangat bagi peneliti.

Sambil menunggu waktu janjian yang disepakati pak KH Ketut nanti sore, saya meminta saran kepada Pak Hasan karena saya ingin mengunjungi Kampung Kepaon, sebuah Perkampungan Muslim yang ada di Denpasar, sebagaimana dianjurkan Nyoman Bruno. Selain itu saya juga ingin melihat pesantren-pesantren Bali khususnya daerah Denpasar dan Badung yang terdaftar dalam berkas yang saya dapatkan dari internet. Pak H. Hasan kemudian memerintahkan asistennya, pak Mulyadi mengantarkan saya ke tempat-tempat yang saya tuju.

Pagi itu, pukul 8.00, 26 Januari, atas anjuran Pak Hasan saya silaturahmi ke kampung Kepaon, sebuah kampung yang komunitasnya mayoritas Muslim yang sangat dekat dengan kerajaan Denpasar. Kampung Kepaon ternyata cukup dekat dengan Jln. Imam Bonjol, tempat saya menginap di kediaman pak H Hasan. Ternyata ketua MUI Denpasar juga tinggal di kampong Kepaon ini.

Mula-mula saya ke rumah ketua dusun, Bapak Ahmad Subaway (AS). Karena masih di kantor kabupaten saya menunggu beberapa saat di rumahnya sambil mengobrol dengan Pak Mulyadi, asisten Pak Hasan yang mengantar saya. Tak lama berselang Pak Ahmad Subaway datang. Kepadanya saya menjelaskan tujuan penelitian, dan sesuai tujuan penelitan saya menggali soal hubungan antara agama di Bali.

Pak AS menjelaskan bahwa hubungan antar agama dan suku dari dulu sesungguhnya berjalan baik dan dari dulu tidak ada persoalan serius. Secara historis, hubungan telah berlangsung sejak abad ke 15 masa akhir kerajaan Majapahit dan menjelang berkembangnya kerajaan Islam. Ada asimilasi dan perpindahan agama terutama dari Hindu menjadi Muslim. Kehadiran kaum muslim di Bali secara historis karena atas izin dari raja Pamecutan. Warga Muslim datang dari kerajaan Madura-Bangkalan punya hubungan baik dengan kerajaan Pamecutan-Denpasar. Salah satu putri raja Pamecutan, Putri Ayu Pamecutan masuk Islam yang kuburannya sekarang terletak di dekat Terminal Badung-Tegal. Putri raja Pamecutan dinikahi oleh Raden Sustro Ningrat dari Madura-Bangkalan, dan setelah pernikahan itu namanya menjadi Siti Khadijah Kuburan itu sampai sata ini menjadi tempat ziarah dan juru kuncennya Orang Hindu. Sebagai tempat ziarah bagi warga Muslim di sana akan ditemui surat Yasin dan ada sesajennya. Tapi karena ia juga ajak raja pamecutan, kuburannya juga dikunjungi warga Hindu di sana juga akan ditemui sesajen yang khas orang Bali.

Di luar aspek historis hubungan Islam dan Hindu berlangsung dalam kehidupan sehari hari. Menurut AS, kedua belah pihak saling berhubungan dan selalu menghadiri acara-acara yang dilaksanakan kedua belah pihak. “Raja kalau ada acara pasti mengundang kami. Kami Muslim dianggap saudara. Karena melihat dari faktor historisnya.”

Setelah wawancara, saya putuskan untuk berziarah ke kuburan yang disebut ustaz AS, di antar pak Mulyadi saya meluncur ke makam tersebut. Saya langsung masuk ke kompleks kuburan itu. Benar saja, ini memang kuburan yang unik. Orang yang ziarah tidak hanya dari kalangan Islam, melainkan juga dari kalangan Hindu. Saya melihat di kuburan itu ada serombongan peziarah yang dipimpin seorang keturunan Arab—saya tanya Pak Mulyadi, katanya dia seorang Habib. Rombongan mereka sedang membaca shalawat bersama-sama. Dan saya pun melihat rombongan Hindu, dengan baju Hitam-Hitam, dengan ikat kepala khas Bali. Mereka pun berdoa dengan cara mereka sendiri. Kedua umat, Islam dan Hindu, duduk berdampingan dan memanjatkan doa bersama-sama, dengan caranya masing-masing. Terdengar dari umat Islam bacaan shalawat, mawla ya shalli wasallim da`iman abada... sedangkan dari umat Hindu terdengar alunan doa Om Santy santy Om..

Setelah selesai ziarah, kami langsung meluncur ke tempat-tempat lain yang perlu saya lihat. Di antara tempat yang saya lihat adalah nama-nama pesantren yang tercatat dalam file yang saya dapatkan dari dokumen Departemen Agama sebagaimana tercatat di internet. Namun saya sempat terkejut, saya mendapatkan bahwa sebagian tempat yang tercatat tersebut ternyata bukan pesantren sebagaimana dibayangkan melainkan hanya sekedar majelis taklim, atau madrasah Panti Asuhan, Panti Anak Yatim Piatu. Satu pesantren, Pondok Pesantren al-Amin yang tercatat dalam data Departemen Agama sebagai pesantren dengan jumlah santri paling banyak, ternyata bukanlah pesantren melainkan sebuah lembaga sekolahan mulai dari PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA Islam.

Melihat tempat-tempat tersebut, timbul kekuatiran di dalam hati saya, jangan-jangan Pondok Pesantren Bali Bina Insani seperti itu juga. Akhirnya saya memutuskan untuk menelphon kembali pengasuh Pondok Pesantren Bali Bina Insani berkaitan dengan pesantrennya. Di antara yang saya tanyakan berkaitan dengan kriteria yang ditentukan dalam penelitian ini, di antaranya: (1). Ada asrama penginapan untuk mukim para santriwan-santriwati; (2). Mereka, para santriwan-santriwati, betul-betul menginap atau mukim di pesantren; (3). Ada kajian kitab kuningnya baik diniyah klasikal atau pun non-formal; (4). Ada mushallah atau masjid tempat untuk berjamaah shalat; (5). Minimal santrinya berjumlah seratus/100 orang; (6). Sarana-saran pendidikan yang lain, seperti pendidikan formal dan diniyah barang kali ada. Dan setelah saya mendapatkan penjelasan panjang lebar dari pengasuh pesantren, Drs. KH. Ketut Jamal, alhamdulillah seluruhnya itu ada semua di pesantren Bali Bina Insani. Saya merasa plong. Akhirnya saya memutuskan untuk meneliti pesantren itu. Dan saya menepati janji dengan Pak Kyai Ketut Jamal.

Rabu sore, saya menemui Kyai Ketut Jamaluddin di kantornya di kantor Pengadilan Agama Denpasar. Setelah berbincang tentang tujuan penelitian, beliau menawarkan untuk bersama-sama ke pesantrennya. Saya langsung diajak memasuki mobil dinasnya, Kijang Innova, plat merah, menuju lokasi pesantren Jln. Raya Timpang, Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.

Sampai di Pesantren menjelang Maghrib, saya langsung dipersilahkan menuju kamar tamu. Pak Kyai terlihat lelah dan capek, ia langsung menuju kamarnya. Memasuki waktu Maghrib, saya diajak Pak Kyai mengikuti shalat berjamaah bersama santriwan-santriwati. Setelah shalat, kyai dan para ustadz sibuk memberikan materi pelajaran kitab kuning di MD (Madrasah Diniyah). Saya sendiri mengamati kelas satu persatu, dan kitab apa saja yang dikaji. Madrasah Diniyah berlangsung sampai pukul 20.30 waktu Bali. Kemudian bersama-sama melakukan shalat isya berjamaah. Setelah berjamaah, Pak Kyai rupanya kecapean, beliau mempersilahkan saya melihat-lihat aktivitas santri. Saya melihat aktivitas dan rutinitas santri, yang sedang mengisi waktu atau jam wajib belajar sampai jam 22.00.

Kamis, 27 Januari 2011. Pagi buta, pukul 5, saya melangkahkan kaki menuju masjid guna mengikuti shalat Subuh. Setelah shalat subuh, para santri ngaji kitab kuning bersama-sama di masjid. Sedangkan saya diajak oleh pak kyai (yang lebih suka dipanggil Ayah) menuju tempat tinggalnya yang ada di dalam lingkungan pesantren. Saya langsung wawancara lagi, sambil menyantap sarapan dan segelas air putih. Sekitar 40 menit saya mewawancarainya. Dan sebelum berangkat ke kantor, memanggil salah satu pengurus pesantren, yaitu Ustadz Yuli Saeful Bahri SpdI. (panggilan akrabnya ustadz Yuli), untuk menemani saya dalam penelitian.

Saya langsung diajak Ustadz Yuli keliling pesantren, sambil wawancara dengannya. Ustadz Yuli memberikan data secara keseluruhan baik data pesantren, madrasah Diniyah Awwaliyah dan Wustha yang mengajarkan kitab kuning, MTS, dan Aliyah. Ustadz Yuli juga menjelaskan sejarah singkat pesantren, relasi pesantren dengan masyarakat Hindu setempat, dan nilai-nilai kebangsaan yang ditanamkan di pesantren.

Selain Ustadz Yuli, saya juga mewawancarai I Nyoman Neser (guru di pesantren yang beragama Hindu), Niy Wayan Wartini (Hindu) dan Niy Made Suardai (Hindu). Sejatinya ada beberapa guru yang beragama Hindu, di antaranya I Nyoman Neser, I Made Suadnyana, Niy Wyan Wartini, I Nyoman Suyatri Utari, Ni Made Suardani, I Made Astawi, dan Putu Trisna. Saya hanya mewawancarai tiga orang dari mereka saja, yaitu I Nyoman Neser (asli penduduk setempat yang bergama Hindu), Niy Wayan Wartini dan Niy Made Suardani.

Saya tertarik mewawancarai guru-guru dari agama Hindu yang mengajar di pesantren atau tepatnya di sekolahan yang ada di pesantren. Ada beberapa alasan mengapa saya ingin melakukan hal ini: (1). Dapatkah ini dijadikan bukti nyata adanya toleransi antara Islam dan Hindu; (2). Dapatlan mereka menjadi sumber informasi yang lebih netral dari informasi yang ada; (3). Untuk mengecek kebenaran dan validitas informasi yang saya dapatkan dari pak kyai dan guru muslim, khususnya berkaitan dengan relasi antar agama; dan (4). Mencari tahu bagaimana penyikapan lembaga pesantren terhadap mereka atau sebaliknya mereka pada pesantren.

Lebih dari mewawancarai, saya juga mengamati bagaimana mereka berinteraksi dengan guru-guru yang lain, dengan murid-muridnya. Dan secara kebetulan, ibu Niy Wayan Wartini mengajar di masjid yang ada di dalam pesantren. Sebuah pemandangan yang menakjubkan, bahwa seorang Hindu, ibu Niy Wayan Wartini, mengajar di Masjid. Setelah saya tanyakan kenapa ngajar di Masjid, dengan ringan dijawab, “Ya sudah biasa kalau gedung ada yang direnovasi, ya saya ngajarnya di Masjid.”

Saya pun mewawancarai Ustadz Fauzi, seorang ustadz alumnus Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Lombok, yang terkenal sebagai ahli kitab kuning. Dia menunjukkan beberapa kitab kepada saya yang sedang disampaikan pada para muridnya, dan dia juga memperlihatkan beberapa kitab kuning yang ada di tasnya kepada saya. Di antara kitab-kitab itu adalah: (1). Bughyah al-Mustarsyidîn, yang menjelaskan biografi singkat para imam madzhab, Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad ibn Hanbal, dan Imam al-Syafi’i. Dia berkomentar bahwa dengan mempelajari kitab itu kita bisa tahu bagaimana sejarah para imam madzhab dan menghilangkan fanatisme madzhab, sebab kita tahu semua madzhab itu; (2). Ãdãb al-Sulûk, yang berisi etika sufistik; (3). Al-Radd ‘alâ al-Wahhâbîyyah, karya Imam Zaini Dakhlan, yang berisi kritik atas literalisme Wahabi. Dia mengaku bahwa kitab-kitab itu didapatkan dari ngaji sewaktu nyantri di Lombok. Untuk kebutuhan pendokumentasian saya merekam dengan Hp ketika Ustadz Fauzi sedang membacakan kitab Ta’lîm al-Muta’allim yang penyampaiannya menggunakan bahasa Bali bercampur Indonesia.

Jumat, 28 Januari 2011, adalah hari libur di pesantren itu. Saya gunakan waktunya untuk menemui kepala MD (Madrasah Diniyah), Ustadz Tarehan, yang akrab disapa Ustadz Raihan. Ternyata ia adalah alumnus pondok pesantren salaf kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, cabang pondok Lirboyo-Kediri, Jawa Timur. Dia juga dikenal sebagai pakar kitab kuning di pesantren Bali Bina Insani.

Jelas, sistem yang digunakan dalam Madrasah Diniyah adalah sistem klasikal, ada kelas Awaliyah dan kelas Wustha. Dan yang diajarkan adalah kitab kuning. Sistem pengajaran yang digunakan, yaitu guru menerjemahkan kata perkata ke dalam Bahasa Indonesia yang ada di kitab kuning, dan menjelaskan apa adanya isi kandungannya, dan kemudian dijabarkan secara memadai.

Saya terkejut ketika diberitahu bahwa Kyai Ketut meminta saya menyampaikan khutbah Jum’at. Saya tak dapat menolak, saya berkata kepada ustadz yang membawa permintaan kyai itu, “Saya tamu. Karena itu, saya seperti mayat yang tidak punya daya dan upaya menolaknya.” Setelah itu, saya bergegas menuju kamar tamu, guna bersiap-siap menyampaikan khutbah Jum’at. Shalat jamaah Jumat pun berlalu.

Lepas Jum’at saya menemui Ustadz Usbani, seorang alumnus pesantren setempat, Bali Bina Insani, yang mahir bahasa Arab, dan khidmah di pesantren almamaternya. Terjadi pembicaraan santai, dan saya memintanya berkenan diwawancarai. Saya mendapatkan sedikit banyak informasi tentang peran pesantren dan doktrin serta ajaran yang ditanamkan oleh Ayah, Pak Kyai Ketut. Sebab ia adalah salah satu saksi sejarah perjalanan historis pesantren.

Saya juga mewawancarai pengurus organisasi santri yang ada di pesantren, yang bernama OSALA (Organisasi Santri dan Alumni La Rayba), yang diwakili oleh sekretarisnya yaitu Dian Fitri, salah satu santriwati. Tidak ketinggalan, saya juga berbincang-bincang dengan segenap ustadz-ustadz yang lain untuk menggali informasi yang lebih falid.

Jumat Malam Sabtu, pukul 20.00 sampai dengan pukul 22.30, saya menghabiskan waktu bersama Pak Kyai Ketut, dengan kembali mewawancarai hal-hal yang belum sempat dijelaskan dalam wawancara sebelum-sebelumnya.

Sabtu, 29 Januari 2011, tepatnya sehabis Shubuh, Pak Kyai mengaji kitab Ta’lîm al-Muta’allim. Dan saya menyimak bersama santri-santrinya. Saya merasa betapa nilai-nilai moral atau etika betul-betul ditanamkan melalui pengajian itu.

Sabtu siang, pukul 8.00, saya mengunjungi kantor Madrasah Aliyah, berkenalan dengan para guru dan kepala sekolahnya, Pak Drs. Imam Mawardi, M.Pd.I, yang sekaligus saya wawancarai, dan satu ibu guru yang mewakili dewan gurunya, yaitu Ibu Ida Laylatul Qoyyumah Spd.

Setelah dianggap cukup, saya menuju kantor MTS (Madrasah Tsanawiyah), saya sempat mewawancarai kepala sekolah, Pak Mujiono Eko Susanto, Spd., dan satu perwakilan dari dewan gurunya, yaitu bapak Harun al-Rasyid, seorang alumnus pondok pesantren Gontor.

Minggu, 30 Januari 2011, saya diberi tahu langsung oleh Pak Kyai Ketut bahwa beliau setiap minggu ada jam pelajaran di Tsawiyah maupun di Aliyah. Pelajaran yang disampaikan bukan materi pelajaran yang baku dan ditentukan. Melainkan sebuah pelajaran yang berusaha mengarahkan dan membentuk karakter santri yang tangguh, produktif, dan baik. Dan saya mengikuti pelajaran yang disampaikannya. Ternyata pada waktu itu, Pak Kiyai sedang menagih tugas PR (pekerjaan rumah) berupa resume buku-buku yang dibaca seputar sejarah sahabat nabi. Dan resumenya dibacakan satu persatu di hadapan kelas. Saya tertarik mengikutinya, sebab baik bagi penyempurnaan laporan penelitian dalam aspek penanaman nilai oleh Kyai kepada santrinya. Intinya yang apa sampaikan Pak Kyai adalah bagaimana santri menjadi pemimpin ketika berada di tengah-tengah masyarakat, dengan cara apa agar menjadi insan yang berkualitas. Dan Pak Kyai Ketut menekankan pentingnya membaca, terus membaca kitab, buku, majalah, koran, dll. Hanya dengan membaca, seseorang bisa memperluas cakrawala pengetahuannya.

Setiap sore, menjelang Maghrib, saya gunakan mewawancarai santriwan dan santriwati. Dengan rileks, mereka dengan polos menjelaskan apa adanya.

Tidak luput pula, saya amati dari sekian informasi melalui wawancara apakah realistis atau kontradiktif dengan kenyataan yang ada di Pesantren. Dan sejauh yang saya pantau dan yang saya lihat, bisa dipastikan apa yang diinformasikan melalu wawancara sesuai dengan realita yang ada, tidak ada informasi yang mengada-ada atau melebih-lebihkan. Hampir apa yang saya dapatkan melalui wawancara, saya mencoba menanggalkan untuk tidak cepat-cepat menilai selaku benar, sebelum saya cek langsung di kehidup riil di pesantren. Setelah kenyataan riil menyatakan benar dan meng-iya-kan, maka informasi itu dianggap benar.[]