Minggu, 25 Juli 2010

KITAB KUNING PASCA GUS DUR

Oleh Affandi Mochtar

Kitab kuning sebagai khasanah Islam yang banyak dikaji di pesantren, khususnya pesantren tradisional, sesungguhnya masih menjadi rujukan utama bagi keberagamaan umat Islam di Indonesia. Namun sayangnya, karena dianggap ‘tradisional’ maka promosinya dan citranya tidak sebaik manfaatnya. Presiden keempat RI, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu tokoh yang membuktikan keunggulan literatur pesantren yang bernama kitab Kuning ini.

Almarhum Gus Dur adalah sosok yang lahir dari keluarga kyai dan pesantren yang akrab dengan Kitab Kuning. Pendidikan dasarnya ditempuh di lingkungan pendidikan pesantren, yang mempelajari Kitab Kuning. Dia belajar ke luar negeri, ke Mesir, ke Irak di Baghdad, juga belajar agama dengan literatur kitab kuning. Dia balik ke Indonesia, juga menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas, yang tidak terlepas dari kitab kuning. Pada masa awal kepempimpinannya di NU, dia menghidupkan kajian kitab kuning. Dia diundang ke berbagai seminar, berbicara di berbagai forum dengan perspektif kitab kuning, yang di dalamnya terdapat berbagai pandangan ulama yang beragam mengenai berbagai hal.

Ketokohan Gus Dur mendorong kitab kuning menjadi salah satu referensi pemikiran Islam di Indonesia. Kalau orang memberi penghargaan intelektual pada Nurcholish Madjid (Cak Nur) misalnya, maka salah satu point penilaiannya adalah karena Cak Nur bisa membaca dan menguasai kitab kuning, sebagaimana Gus Dur. Betapa kitab kuning oleh Gus Dur menjadi element penting bagi pemikiran Islam di Indonesia. Di tangan Gus Dur, kaedah-kaedah yang bersumber pada Kitab Kuning dicoba eksperimenkan untuk menyelesaikan berbagai masalah di negeri ini.

Memang kita akui bahwa landasan dasar keberagamaan umat Islam adalah al-Qur’an dan Hadis. Tetapi hanya merujuk pada al-Qur’an dan Hadis begitu saja, akan menyebabkan terjadinya simplikasi. Dan jika jika hanya langsung merujuk pada teks Al-Qur’an dan Hadis tanpa melihat pandangan ulama dan proses berfikirnya, maka berarti mengabaikan proses pemikiran, metode penalaran ulama yang begitu kaya yang terdiri dari ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, ilmu ushul fiqh dan lainnya. Jika ini yang terjadi, maka berarti kita membaca Al-Qur’an dan Hadis tidak dengan ilmunya. Padahal cara menafsirkan teks itu sendiri sesungguhnya sangat complicated. Inilah yang gagal ditangkap oleh banyak orang sekarang ini. Sepertinya hanya dengan berdasarkan ayat Al-Qur’an yang ditemukan dari koran, majalah, buletin atau internet lalu seseorang bisa berdalil atas sesuatu, menghukumi sesuatu. Ini adalah pendangkalan khasanah Islam, yang sesungguhnya sangat kaya raya. Akan terjadi missing link yang panjang kalau kita mengabaikan kahzanah Islam seperti yang ada di kitab kuning.

Karena itu, sekarang ini, sepeninggal Gus Dur, kita hendaknya tidak membiarkan kitab kuning kembali hanya dikaji di pesantren-pesantren saja, dan tidak mewarnai keberagaman kita sehari-hari. Untuk itu menurut hemat saya, sepeninggal Gus Dur, sepeninggal tokoh kuat yang dapat membawa kitab kuning ke kancah nasional, kita berkewajiban menjaga posisi kitab kuning sebagai referensi utama dalam keberagamaan kita.

Untuk itu paling tidak ada beberapa langkah perlu dilakukan: Pertama, membentuk Kitab Kuning Study Centre, yang berusaha menyediakan koleksi kitab kuning dan hasil kajian serta penelitian tentang kitab kuning yang pernah dilakukan. Dalam hal ini, secara kreatif kita bisa mensosialisasikan kitab kuning melalui perpustakaan digital dan Library Mobile, mobil perpustakaan kitab kuning. Suatu saat mungkin jika ada acara Bahtsul Masail di suatu daerah, maka mobil perpustakaan kitab kuning ini bisa diberangkatkan ke daerah tersebut. Demikian juga jika ada kajian yang memerlukan perpusatakaan Kitab Kuning.

Kedua
, dalam rangka mengembalikan posisi penting Kitab Kuning sebagai literatur keberagamaan kita, maka kita perlu menggelorakan forum Bahstul Masail, yang merupakan forum kajian atas berbagai masalah yang dibahas dengan basis rujukan dan perspektif Kitab Kuning. Ini adalah forum dan sekaligus juga sebagai instrumen untuk pengembangan berfikir kritis. Untuk menggelorakan forum Bathsul Masail, maka kiranya perlu digagas penyelelenggaraannya Bahtul Masail yang tidak sebatas di lingkungan kalangan pesantren saja, tetapi juga merambah tempat dan kalangan lebih luas lagi. Seperti di masyarakat pada umumnya, di masyarakat kelas menengah atau kalangan professional. Atau kita juga bisa melaksanakan Bahtul Masail di Perguruan-Perguruan Tinggi, termasuk Perguruan Tinggi umum. Ini penting, agar kalangan Perguruan Tinggi umum bukan hanya disuguhkan model model dakwah Islam ala tarbiyah dan usroh saja. Dengan Bahtsul Masail ini mereka akan tahu model kajian Islam yang lebih otoritatif, sekaligus juga beragam dan bervariatif.

Ketiga
, kita perlu menggelorakan kembali kajian-kajian Kitab Kuning, dengan berbagai variasi studinya. Secara sederhana yang disebut dengan kajian atau mengaji kitab kuning adalah membacanya dan menerjemahkannya serta menjelaskan isi kandungannya. Namun sebagai upaya pengembangan, kajian atau pengajian Kitab Kuning juga bias dilakukan dengan pola kontekstualisasi, membacanya, menjelaskan kandunagnnya, dan kemudian mengkontekstualisasikannya dengan perkembangan masyarakat. Serta tidak lupa dicarikan legitimasi ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi-nya.

Keempat
, dalam rangka menggelorakan studi atas kitab kuning maka kiranya perlu ada riset atas Kitab Kuning. Riset ini bisa dilakukan dari yang paling sederhana, seperti riset yang dilakukan untuk keperluan tahqiq, sampai dengan riset yang dilakukan sebagai sebuah studi wacana, studi kritis dan seterusnya. Untuk mewujudkan kegiatan penelitian kita perlu berjejaring dengan banyak pihak, tokoh, akitifs dan para peneliti. Termasuk jaringan lembaga penelitian di dalam dan di luar negeri.

Kelima, selain kajian dan penelitian, kiranya kita juga perlu mewujudkan model kajian Kitab Kuning yang lebih kreatif, termasuk memanfaatkan teknologi informasi. Walaupun secara khas namanya sorogan, bandongan, wetonan dan bahtsul masail tetap kita pertahankan, tetapi kita juga perlu membuat model pembelajaran Kitab Kuning yang berbasis teknologi informasi. Secara sederhana, misalnya saja kita membuat daftar glosari bagi kosa kata yang sering terulang-ulang dalam Kitab Kuning. Pada perkembanganya, glosari bias dikompilasi dan disusun menjadi sebuah kamus, Kamus Kitab Kuning. Itu sebagai salah satu contoh mudah.
Keenam, perlu ada kegiatan penerbitan yang mencoba melakukan reproduksi dan kreasi wacana dan kandungan kitab kuning. Penerbitan ini penting sebagai media sosialisasi dan penyebaran wacana hasil-hasil kajian dan penelitian atas Kitab Kuning.

Keenam
, gagasan untuk melangkah di atas sungguh timbul dari kepekaan diri atas termajinalkannya kembali posisi Kitab Kuning di jagad intelektual Indonesia. Kepedulian ini bukan sesuatu yang istimewa, tetapi lebih merupakan panggilan jiwa. Kalau kita tidak lagi peka dan terlibat menyelamatkan posisi strategis Kitab Kuning dalam kebergamaan kita ini, maka nanti ada sesuatu yang dihilang di masa yang akan datang itu. Dan indikasi akan hal tersebut sudah mulai Nampak.

Sebagai contoh mudah, beberapa minggu lalu diberitakan ada kelompok waria bikin acara kemudian dibubarkan oleh kawan-kawan kita. Jauh sebelum itu, banyak peristiwa yang penyelesaianya bukan dicarikan dari dalam, tetapi dicarikan dalil dan fatwanya dari luar. Ini karena keberagamaan kita tidak lagi merujuk atau menggali dari para pandangan ulama terdahulu yang ada di Kitab Kuning.

Contoh lainnya, sebut saja misalnya bahwa para penghafal Al-Qur’an, hafidz dan hafidzah di Indonesia selama ini belajar dari guru-guru ahli al-Qur’an yang ada di pesantren-pesantren tanah air. Seperti kyai Ali Ma’shum Krapyak, Mbah Arwani Kudus dan Kyai Mufidz Pandanaran. Belakangan mereka dituntut memiliki sanad dari Saudi Arabiyah, dari Qatar. Nanti kemudian di sertifikasi. Lalu dengan sertfifikat itu kemudian bisa minta bantuan dari negeri-negeri Timur Tengah, seperti Arab Saudi. Saya kira untuk kepentingan teknis, agar hafalanya bagus dan jaringannya luas maka itu sah-sah saja. Tetapi ini berarti keindonseiaan klita dalam konteks keberagamaan itu didegradasi. Ini mengerikan, karena menyangkut otoritas keberagamaan dan ke-Indonesia-an yang krisis.

Di sisi lain, sekarang ini ada fenomena premisif terhadap berbagai element yang afailiasinya ke Barat; meski itu atas nama demokrasi, pluralisme dan lainnya. Menurut saya, ini seperti melanggengkan kolonialisasi. Menghadapi ini kita perlu memproyeksikan Reinventing Indonesian Islam. Dalam hal ini,minimal kita dapat bercermin pada pada periode 80-an, melalui gagasan Mbah Ahmad Shiddiq, yang berhasil merumuskan keislaman Indonesia sedemikain rupa. Dengan konsep Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim)ز

Selain keenam langkah di atas, kita juga perlu menggelorakan kembali pendidikan humanistik di negeri ini. Kenapa menggagas pendidikan, karena syarat terciptanya peradaban yang luhur, adalah adanya pendidikan yang baik. Kenapa memilih pendidikan humanistik, karena pendidikan humanistik bersentuhan langsung dengan upaya memberdayakan dan mencerdaskan masyarakat. Ini berbeda dengan pendidikan skolastik, yang hanya berorientasi mengisi otak para peserta didik, tanpa disertai upaya pemberdayaannya.

Salah satu contoh produk pendidikan humanistik adalah Gus Dur. Dia disebut sebagai guru bangsa, padahal tidak pernah bekerja menjadi guru. Ini karena penyuaraan Gus Dur yang selalu berpihak pada kemanusiaan. Apa yang disuarakannya dalam setiap forum ini kedengaran di plosok-plosok dan menggerakan masyarakat di daerah-daerah.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, tokoh-tokoh kita dan pimpinan-pimpinan kita yang sekarang ada lebih banyak lahir dari proses politik. Ini yang membuat mereka terlihat sangat praktis dan pragmatis. Dengan menghidupkan kajian Kitab Kuning pasca Gus Dur ini, kita memimpikan lahirnya calon tokoh dan pemimpin yang memiliki paradigma yang cukup dan memadai.

Said Aqiel Siradj Pasca Gus Dur


KH. Said Aqiel Siradj, ketua umum PBNU sekarang ini, sesungguhnya tokoh yang bisa diharapkan melakukan langkah-langkah dinamisasi kitab kuning sehingga kembali pada posisi strategisnya, sebagaimana pada era kepemimpinan al-maghfurlah Gus Dur.

Kang Said –panggilan akrab KH. Said Aqiel Siradj- terlahir dari keluarga pesantren Cirebon, dibesarkan di lingkungan pesantren yang kental dan salaf. Belajar ke Timur Temgah, khususnya di Madinah, belajar berbasis kitab-kitab salaf, kitab-kitab kuning. Kemudian berperan di dunia internasional sebagai tokoh intelektual muslim yang berbasis nalai-nilai Islam tradisional pesantren, nilai-nilai yang terkandung dalam kitab kuning. Ketika beliau diminta pulang ke tanah air oleh Gus Dur, dan beberapa saat menemani beliau, juga selalu berusaha menghidupkan kajian kitab kuning. Lontaran wacananya yang mencoba menegaskan kembali Manhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah di tubuh NU, sungguh merupakan hasil bacaan yang cemerlang terhadap khazanah Islam pesantren, kahzanah kitab kuning.

Sesibuk apa pun, Kang Said selalu saja menyempatkan diri untuk member pengajian. Ini dilakukannya di rumahnya, minimal setiap Selasa malam Rabu beliau member pengajian bandongan, dengan membacakan kitab Mafatih al-Ghaib atau Tafsir Kabir karya Al-Razi di hadapan ratusan audience (mustami’in) yang dengan suka rela dating ke kediamannya. Tidak sedikit dari mereka yang mengaji ini adalah para dosen ulumul Qur’an dan tafsir dari perguruan tinggi negeri dan swasta di tanah air. Dari berbagai khidmah beliau terhadap kajian dan pengajian kitab kuning inilah, tampaknya Kang Said lah pemimpin NU, setelah Gus Dur yang bisa diharapkan kembali melakukan dinamisasi kitab kuning. Wallahu a’lam bi al-Shawab

* Penulis adalah Wakil Sekjen PBNU yang juga Sekdirjen Pendidikan Islam di Kementrian Agama RI. (Tulisan ini adalah ceramah di Parung akhir Mei 2010 yang disunting oleh Ali Mursyid)

1 komentar:

  1. salut untuk kang pandi atas kepeduliannya terhadap kesan2 degradasi kehasan hazanah ala kitab kuning, setelah saya baca ada beberapa yang masih belum tertuang di dalamnya kang.. yang saya tangkap tradisi para santri salaf (baca: para ahli kitab kuning) daerah saya progressnya terkesan tidak mau muluk, beliau terlalu puas dengan istilah yang penting sudah inilah sudah itulah, sehingga mereka seakan terlalu menutup mata untuk bersosialisasi sebagai wujud humanisme mereka, dan juga untuk ekspansi atas bekal dari kitab kuning yang mereka pelajari. sehingga progress intelektualitas yang saya baca dari tulisan2 kang pandi, kang ali mursyid, kang mukti ini seakan asing sekali bagi mereka. entah apa masalahnya, terlalu banyaknya tokoh ulama di daerah saya (tegalgubug) dianggap oleh para santri menjadi kendala yang paling tepat untuk berekspansi dalam hal dakwah, mereka terlalu sulit untuk mengamalkan literatur2 kitab kuning yang mereka bawa dari pondok-pondok pesantren tempat mereka menimba ilmu. terlebih tuntutan ekonomi sebagai pemuda yang merasa dirinya harus bisa lebih mandiri, rasanya masih banyak alasan-alasan lain yang masih perlu di sikapi secara sigap.masalah-masalah lain mereka juga terlalu naif menganggap para santri-santri salaf yang menurut mereka terlalu memfanatiskan unsur unsur modernisme, saya pikir justru itu tantangan untuk mereka di tengah arus yang begitu kencangnya untuk tetap stabil dan istiqomah menggemakan tradisi-tradisi klasik namun tak terkesan kolot ketika di jejerkan dengan sebuah kata modern. wallahu a'lam
    Rifqil 'Asyiq

    BalasHapus