Bahtsul Masail Rumah Kitab Ke-III, Minggu, 10, Oktober 2010
Di Sekretariat Rumah Kitab, Bekasi Timur
Oleh: Mukti Ali el-Qum,
Koordinator Kajian Kitab Kuning dan Penelitian Rumah Kitab
Untuk ketiga kalinya, Rumah Kitab telah menyelenggarakan Bahtsul Masail, tepatnya pada hari Ahad, 10 Oktober 2010. Tema dalam bahtsul masail kali ini adalah “Konsep Wakaf Masjid dalam Perspektif Fikih”. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama unit Kajian dengan unit Pengembangan Masyarakat Yayasan Rumah Kitab. Peserta yang turut hadir dan secara aktif memberikan pandangan dan argumentasi adalah kalangan alumnus Pondok Pesantren Tradisional-Salafiyah. Mayoritas mereka berasal dari daerah Bekasi, Ciputat, Pulogadung dan Cakung serta para alumnus pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Bahtsul Masail yang diselenggarakan Rumah Kitab ini menempatkan kitab kuning atau literatur khasanah klasik sebagai perspektif, basis pengetahuan, referensi primer dan sekaligus alat analisis terhadap persoalan-persoalan yang dianggap aktual yang membutuhkan respon dan jawaban keagamaan.
Narasumber dalam Bahtsul Masail untuk ketiga kalinya ini adalah Ustadz Khudori Ahmad, pengurus Masjid Al-Falah, Bekasi Barat, sekaligus bertindak selaku sail, penanya. Adapun peserta yang hadir berjumlah 25 orang, antara lain Ustadz Ahmad Khudori, Ustadz Ade Akfan Miladi, Ustadz Zamakhsyari, (delegator Pondok Pesantren An-Nida), Ustadz Abdul Basith al-Ashab (Pengasuh Pondok Pesantren Miftah al-‘Ulum, Jakarta Utara), Ustadz M. Afifi Aidon dan Ustadz Iib (perwakilan PSPP/Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren, Ciputat), Ustadz Faiq Ihsan Anshari dan Ustadz Utsman (perwakilan Formal, Ciputat), Ustadz Hidayatullah (Alumnus Pondok Pesantren Sarang, Jawa Tengah), Ustadz Sa’dullah Affandy (perwakilan Pengajian Maqam Albab Bekasi-Jakarta), Ustadz Ali Mursyid (Alumnus Pesantren Salafiyah, Babakan Cirebon), Ustadz Salamun Ali Mafadz (aktivis MMS), Ustadz Moh Hafidz. Bahtsul Masail ini juga sudah pasti dihadiri para staf Rumah Kitab, yaitu Ustadz Muslik Abd Qadir, Ustadz Abd Muiz Syairazi, Ustadz Jamaluddin Mohammad, Ustadz Mukti Ali el-Qum, Ustadz Roland Gunawan dan Ustadz Aep.
Kali ini, bahtsul masail dipandu oleh Ustadz H. Abd Muiz Syairazi, selaku moderator. Seperti biasa moderator membuka acara, dan membacakan sekilas as’ilah yang tertera. Dan menyerahkan waktunya kepada narasumber dan sekaligus pemilik pertanyaan (sa’il), Ustadz Ahmad Khudori, untuk menjelaskan kronologi persoalan yang sebenarnya terjadi di lapangan.
Ustadz Ahmad Khudori menjelaskan bahwa seringkali kita melihat fenomena lumrah dan hampir saja masiff di tengah-tengah masyarakat Muslim ketika membangun Masjid, sudah pasti disertakan juga dengan pembangunan sarana dan prasarana pelengkap, seperti WC, kamar mandi, tempat berwudlu, dan tempat parkir. Sedangkan sarana dan prasarana tersebut seringkali dibangun di atas tanah yang oleh waqif (pihak yang mewakafkan) berniat untuk dibangun sebuah masjid.
Timbul keresahan di sebagian kalangan masyarakat dengan melihat fenomena tersebut. Tidak sedikit yang mempertanyakan status tanah wakaf untuk masjid yang pada kenyataannya dibangun sarana dan prasarana tersebut. Sebab kita tahu bahwa jika ada tanah yang diwakafkan untuk masjid maka sudah sah dibuat ibadah i’tikaf, dan lain-lain. Jika demikian, timbul dilema dalam menghadapi atau menyikapi tanah wakaf masjid tapi dibangun, misalkan WC dan kamar mandi. Apakah WC dan kamar mandi tersebut dapat dihukumi masjid lantaran dibangun di atas tanah wakafan masjid? Tapi di sisi lain, WC adalah tempat kotoran, kencing dan berak, sehingga cukup ironis jika dijadikan tempat beribadah sebagaimana layaknya masjid. Ini adalah problem yang cukup mengganjal psikologi umat Islam.
Di samping itu, seringkali juga tanah wakaf diminta oleh pemerintah untuk dijadikan sarana dan fasilitas umum. Dengan memberikan ganti sebidang tanah yang lain sesuai dengan tanah wakafan itu, diistilahkan dengan tukar guling.
Dengan penjelasan singkat yang dipaparkan ustadz Khudori tersebut akhirnya kronologi atau latar belakang persoalan dapat disimpulkan dengan bahasa yang ringkas bahwa salah satu amal ibadah yang berdimensi vertikan sekaligus horizontal adalah beramal sosial dengan memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi umat Muslim yang diistilahkan dengan wakaf. Sehingga bagi sebagian umat Muslim yang memiliki kekayaan yang lebih, seringkali memberikan sebidang tanah wakaf guna dibangun sebuah Masjid, tempat ibadah umat Islam.
Pada kenyataan riil, semisal si A mewakafkan 1000 meter tanahnya untuk dibangun sebuah Masjid secara keseluruhan, namun kenyataannya hanya 700 meter saja yang dibangun masjid, sedangkan sisanya 300 meter dibangun sarana WC, tempat wudlu, kolam, dan tempat parkir. Sedangkan sarana tersebut tidak sedikit yang dibisniskan oleh pihak pengurus atau “preman”, atau dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Sebagian tanah tersebut digunakan oleh pemerintah untuk saranan jalan umum, dengan menggantinya berupa duit ataw tanah lain.
Hukum Membangun Selain Masjid di Atas Tanah Wakaf
Dari latar belakang di atas muncul pertanyaan sebagai acuan diskusi dalam Bahtsul Masail ini, bagaimana hukum membangun selain masjid di tanah wakaf 300 meter tersebut, seperti WC, tempat wudlu, kolam dan tempat parkir, sedangkan waqif (orang yang mewakafkan) berniat dan diucapkan secara verbal serta transparan untuk pembangunan masjid?
Sebelum menjawab soal di atas, terlebih dahulu kita tetapkan dalil dari teks sentral Islam baik dari ayat al-Quran atau al-hadits. Berkaitan dengan wakaf, terdapat dalil dari hadits Nabi dan ditafsirkan oleh para ulama ahli fikih (fuqhaha). Sebab hukum-hukum Islam dalam bentuk kodifikasi fatwa-fatwa yang terdapat dalam kitab kuning dirumuskan oleh para ulama fikih dianalisa dan dinalar berdasarkan pada teks sentral agama, yaitu al-Quran dan al-hadits. Sebagaimana wakaf tertera dalam sebuah hadits Nabi:
وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ ؛ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ ، أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ } ، وَمَعْنَاهُ انْقَطَعَ أَجْرُ عَمَلِهِ أَوْ ثَوَابُ عَمَلِهِ فَهَذَا عَلَى وَفْقِ الْقَاعِدَةِ لِأَنَّ هَذِهِ الْمُسْتَثْنَيَاتِ مِنْ كَسْبِهِ ، فَإِنَّ الْعِلْمَ الْمُنْتَفَعَ بِهِ مِنْ كَسْبِهِ فَجُعِلَ لَهُ ثَوَابُ التَّسَبُّبِ إلَى تَعْلِيمِ هَذَا الْعِلْمِ .وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ تُحْمَلُ عَلَى الْوَقْفِ وَعَلَى الْوَصِيَّةِ بِمَنَافِعِ دَارِهِ وَثِمَارِ بُسْتَانِهِ عَلَى الدَّوَامِ ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ كَسْبِهِ ، لِتَسَبُّبِهِ إلَيْهِ ، فَكَانَ لَهُ أَجْرُ التَّسَبُّبِ ، وَلَيْسَ الدُّعَاءُ مَخْصُوصًا بِالْوَلَدِ ، بَلْ الدُّعَاءُ شَفَاعَةٌ جَائِزَةٌ مِنْ الْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ ، وَلَيْسَتْ مُسْتَثْنَاةً مِنْ هَذِهِ ، لِأَنَّ ثَوَابَ الدُّعَاءِ لِلدَّاعِي ٠(قواعد الاحكام فى مصالح الانام : 1/135)
Nabi Muhammad SAW berkata: “Ketika anak cucu Adam meninggal dunia, maka amal ibadahnya telah terputus. Kecuali tiga perkara; sedekah jariyah (sedekah yang pahalanya terus mengalir), atau ilmu yang bermanfaat dan barokah, atau anak shalih yang senantiasa mendoakan orang tuanya”.
Makna hadits tersebut adalah bahwa pahala amal anak cucu Adam terputus atau ternenti setelah kematiannya. Akan tetapi tidak semua amal, ada pengecualiannya. Di antara yang dikecualikan adalah ilmu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain dengan cara menggelarkan dan mengajarkannya kepada orang lain. Ilmu yang bermanfaat itu pelakunya akan terus mendapatkan pahala meski sudah meninggal dunia. Sama halnya juga anak salih yang akan terus mendoakan orang tuanya.
Demikian juga termasuk amal yang pahalanya terus mengalir meski pelakunya sudah mati adalah sadakah jariyah. Dan yang dimaksudkan dengan sadakah jariyah adalah wakaf. Sebab jika kita lihat syarat barang yang diwakafkan harus merupakan barang yang pada saat digunakan atau dimanfaatkan tidak rusak atau tidak berkurang atau habis. Barang yang diwakafkan itu harus yang abadi, seperti tanah dan lainnya. Sehingga tidak sah jika mewakafkan kue atau lilin yang jika digunakan maka akan rusak dan habis. Dengan demikian, wakaf akan meniscayakan mengalirnya pahala secara kontinyu atau berkesinambungan, sebab barang yang diwakafkan digunakan amal ibadah secara terus menerus, meski orang yang mewakafkan telah telah wafat. Wakaf adalah sedekah (pemberian) yang jariyah (mengalir pahalanya).
Setelah jelas dalil normatif Islam mengenai wakaf, berdasarkan teks hadist di atas, kita mendapatkan kepastian dan legalitas religiusnya. Berbagai persoalan kekiniaan yang berkaitan dengan wakaf dan status hukumnya, menuntut kita untuk memberikan jawaban. Salah satu persoalan wakaf yang berkembang dalam masyarakat Islam kekinian adalah pembangunan fasilitas masjid, sebagaimana yang ditanyakan narasumber. Pembangunan fasilitas seperti tempat wudlu, area parkir, kamar mandi, WC, dan lain-lain. Semua fasilitas tersebut bertujuan untuk mempermudah masyarakat beribadah, merasakan kenyawanan dan mendukung ke-khuysu’-an shalat. Dalam bahasa yang lain, tujuannya jelas yaitu untuk mendukung dan menyempurnakan ibadah para jamaah dalam ibadah shalat. Namun di sisi lain, sarana dan prasarana tersebut dibangun di atas tanah wakaf untuk pembangunan masjid.
Problematika mengenai hal tersebut setidaknya dapat dijawab dengan merujuk pada sebuah paparan Ibnu Hajar al-Haytami dalam karyanya Tuhfah al-Muhtaj;
( تَنْبِيهٌ ) حَيْثُ أَجْمَلَ الْوَاقِفُ شَرْطَهُ اتُّبِعَ فِيهِ الْعُرْفُ الْمُطَّرِدُ فِي زَمَنِهِ ِلأَنَّهُ بِمَنْزِلَةِ شَرْطِهِ ثُمَّ مَا كَانَ أَقْرَبَ إِلَى مَقَاصِدِ الْوَاقِفِينَ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ كَلاَمُهُمْ وَمِنْ ثَمَّ امْتَنَعَ فِي السِّقَايَاتِ الْمُسَبَّلَةِ عَلَى الطُّرُقِ غَيْرُ الشُّرْبِ وَنَقْلِ الْمَاءِ مِنْهَا وَلَوْ لِلشُّرْبِ وَظَاهِرُ كَلاَمِ بَعْضِهِمْ اعْتِبَارُ الْعُرْفِ الْمُطَّرَدِ اْلآنَ فِيْ شَيْءٍ فَيُعْمَلُ بِهِ أَيْ عَمَلاً بِاْلاسْتِصْحَابِ الْمَقْلُوْبِ ِلأَنَّ الظَّاهِرَ وُجُوْدُهُ فِيْ زَمَنِ الْوَاقِفِ وَإِنَّمَا يَقْرُبُ الْعَمَلُ بِهِ حَيْثُ انْتَفَى كُلٌّ مِنَ اْلأَوَّلَيْنِ اهـ) تحفة المحتاج في شرح المنهاج الجزء 6 صحـ : 261 مكتبة دار إحياء التراث العربي(
Kutipan yang dibacakan oleh Ustadz Zamakhsyari di atas menyatakan bahwa syarat yang diungkapkan pihak yang memberikan wakaf (waqif) harus disesuaikan dengan tradisi yang berlaku pada zamannya. Sebab tradisi yang sudah berlaku itu sejatinya mendekati atau hampir sesuai dengan tujuan-tujuan para pihak pemberi wakaf (waqifin) pada zamannya. Artinya, jika secara umum para waqif menyerahkan sebidang tanah untuk masjid dengan konstruk bangunan lengkap dengan sarana dan fasilitas pelengkap, maka hal itu sudah menjadi tradisi yang baik dan standar kelayakan sebagai masjid. Dengan demikian, jika kita melihat fenomena pada zaman modern sekarang ini, tradisi pembangunan masjid meniscayakan adanya sarana dan prasarana atau fasilitas pelengkap seperti tempat wudlu, kamar mandi, WC, area parkir, dan lain-lain. Bahkan bisa dikatakan bahwa saat ini, yang dinamakan dengan masjid bukan sekedar fisik bangunan yang dapat dijadikan tempat sholat an sich, melainkan juga harus dilengkapi dengan saranan dan fasilitas yang dapat mendukung terrealisasikannya ibadah sholat berjamaah. Sebagaimana didukung dengan penjelasan di bawah ini:
وفي أصل الروضة عن الغزالي يجوز بناء منارة للمسجد من الموقوف عليه قال الرافعي : أو على عمارته ومحلهما إن جاز بناؤهما بأن احتاج إليهما ولم تمتنع الصلاة عليها ومن ثم علل القاضي حسين إطلاقه منع بنائها بأنها تشغل موضع الصلاة ومثلها حفر البئر فيه فإنه يكره كما في التحقيق نعم الذي يتجه أنه إن ضيق ولم يحتج إليه حرم وإن احتيج إليه ولم يضيق لم يكره وعن البغوي وغيره أن الموقوف على مصلحة المسجد أو على المسجد يجوز شراء الحصر والدهن منه ، والقياس جواز الصرف إلى المؤذن والإمام أيضا ا هـ . قال بعض المتأخرين : ومحل جواز الصرف على نحو المنارة والبئر والبركة من الموقوف على المسجد أو على مصالحه إن جاز بناء المنارة وحفر البئر والبركة وإلا لم يصرف عليها من ذلك اهـ . ملخصا فإن قلت : فحيث قلنا بأن الزيادة يصرف على مصالحه من الموقوف على المسجد أو على مصالحه قبل وجودها فهل يتقيد الصرف عليها ؟ ومن ذلك إذا جازت بأن اضطر إليها لضيق المسجد بخلاف ما إذا لم يضطر إليها فإنها لا تجوز كما قال ابن عبد السلام : وأقروه قلت : يحتمل أن يفيد جواز الصرف عليها من ذلك بما إذا جازت قياسا على الصرف على نحو المنارة والبئر ويحتمل الفرق بأن الزيادة وإن حرمت تسمى مسجدا فيتناولها قول المتصدق على مسجد كذا ، والحرمة ليست في اتخاذها بل في هدم جدار المسجد لأجلها ، وذلك لا يمنع إطلاق لفظ المسجد عليها فمن ثم استحقت أن يصرف عليها من وقفه لشمول لفظه لها مع عدم اتصافها بالحرمة بخلاف نحو المنارة والبئر فإنهما يوصفان بالحرمة من حيث ذاتهما فلم يمكن مع ذلك الصرف عليهما من وقفه ؛ لأن فيه حينئذ إعانة على معصية على أنهما مع الزيادة على حد سواء ؛ لأنا إن أردنا الصرف على الثلاثة حين توجد فصلنا بين جواز اتخاذها وعدمه وإن أردنا الصرف عليها بعد بناء المنارة وحفر البئر وبناء الزيادة جاز ذلك ، وإن حرم اتخاذها ؛ لأن الصرف عليها حينئذ ليس من حيث ذاتها بل من حيث انتفاع المسجد بها كالصرف على رشاء البئر ومؤذن على المنارة أو إيقاد عليها عند الاحتياج وعلى نحو حصر وإيقاد للزيادة . فالثلاثة سواء فنتج أنه لا فرق بينهما ) الفتاوى الفقهية الكبرى جـ 6 صـ 438- 439(
Narasi di atas memberikan penjelasan bahwa pembangunan menara masjid, sumur, dan fasilitas lainnya yang mendukung atau bermanfaat bagi masjid maka diperbolehkan. Artinya, hukum membangun sarana atau fasilitas tersebut diperbolehkan, karena dicukupkan dengan tradisi yang berlaku, meskipun fasilitas tersebut tidak disebutkan dalam ungkapan waqaf, disamping juga penyokong atau pelengkap eksistensi masjid.
Hukum Membisniskan Sarana Masjid
Setelah selesai membahas persoalan pertama. Musyawirin diajak oleh ustadz H. Abdul Muiz selaku moderator untuk kembali fokus membahas persoalan yang masih berkaitan dengan wakaf masjid, yakni bagaimana hukum membisniskan sarana masjid, seperti tempat parkir, atau menjual air yang ada di dalam kolam dan sanyo?
Dalam menjawab persoalan tersebut, para musyawirin mengamati otoritas nadzir (pengelola wakaf). Seberapa jaukah ia memiliki otoritas. Rumusan masalah ini digunakan sebagai basis pengetahuan yang bermanfaat untuk membahasnya. Sebab, hampir persoalan-persoalan yang berkaitan dengan barang wakaf itu sudah menjadi hak nadzir. Dengan demikian nadzir-lah yang pertama-tama harus didudukkan adalah persoalan yang berkaitan dengan dirinya dan barang wakaf yang dikelolanya. Oleh karena itu, ada beberapa penjelasan dalam kitab kuning yang perlu disimak;
(مسألة ب) وظيفة الولى فيما تولى فيه حفظه وتعهده والتصرف فيه بالغبطة والمصلحة وصرفه فى مصارفه هذا من حيث الإجمال وأما من حيث التفصيل فقد يختلف الحكم فى بعض فروع مسائل الأولياء إهـ )بغية المسترشدين صـ 174 دار الفكر(
أما ما اشتراه الناظر من ماله او من ريع الوقف أو يعمره منهما أو من أحدهما لجهة الوقف فالمنشئ لوقفه هو الناظر كما أفتى به الوالد رحمه الله تعالى (قوله أو من ريع الوقف) ومنه الحصر اذا اشتراها الناظر من ريع الوقف ومن ماله (قوله او يعمره منهما الخ) اى مستقلا كبناء بيت للمسجد لما يأتى من أن ما يبنيه فى الجدران مما ذكر يصير وقفا بنفس البناء (قوله فالمنشئ لوقفه هو الناظر) اى لا يصير وقفا بنفس الشراء أو العمارة فان عمر من ماله ولم ينشئ ذلك فهو باق على ملكه ويصدق فى عدم الإنشاء أو اشتراه من ريعه فهو ملك للمسجد مثلا يبيعه اذا اقتضته المصلحة )نهاية المحتاج الجزء الخامس صـ 392 مصطفى البابى(
Kutipan di atas memberikan penjelasan bahwa nadzir termasuk wali (pengurus atau pemimpin) yang memiliki kewenangan menjaga, merawat, dan mengembangkan atau bahkan memajukan barang wakaf yang dikelolanya. Nadzir mempunyai kewenangan membisniskan seperti menjual dan membelikan benda atau dana milik masjid dalam upaya pengelolaan demi mendapatkan ghibtah (keuntungan) dan kemaslahatan yang dapat digunakan dalam mengembangkan masa depan masjid.
Lalu, disusul dengan penjelasan kitab kuning yang didemonstrasikan oleh musyawirin di bawah ini;
ويجوز بيع حصر المسجد الموقوفة عليه إذا بليت بأن ذهب جمالها ونفعها وكانت المصلحة في بيعها وكذا جذوعه المنكسرة خلافا لجمع فيهما ويصرف ثمنها لمصالح المسجد إن لم يمكن شراء حصير أو جذع به والخلاف في الموقوفة ولو بأن اشتراها الناظر ووقفها بخلاف الموهوبة والمشتراة للمسجد فتباع جزما لمجرد الحاجة أي المصلحة وإن لم تبل وكذا نحو القناديل. (قوله ولو بأن اشتراها الناظر ووقفها) غاية في الموقوفة أي ولو كانت الموقوفة اشتراها الناظر من غلة الوقف ووقفها على المسجد فإن الخلاف يجري فيها أيضا (قوله بخلاف الموهوبة الخ) أي بخلاف المملوكة للمسجد بهبة أو شراء وهذا محترز قوله الموقوفة (قوله والمشتراة) أي ولو من غلة الوقف حيث لم يقفها الناظر وقوله للمسجد متعلق بالوصفين قبله (قوله فتباع جزما) أي بلا خلاف وتصرف على مصالح المسجد ولا يتعين صرفها في شراء حصر بدلها اهـ ع ش قوله وإن لم تبل أي الموهوبة أو المشتراة وهذا بالنسبة للحصر وقياسه بالنسبة للجذوع أن يقال وإن لم تنكسر (قوله وكذا نحو القناديل) أي مثل الحصر والجذوع في التفصيل المذكور نحو القناديل أي فإذا كانت موقوفا على المسجد وانكسرت جرى الخلاف فيها بين جواز البيع وعدمه أو مملوكة جاز بيعها جزما لمجرد المصلحة وإن لم تنكسر )فتح المعين مع إعانة الطالبين الجزء الثالث صـ 180-181 دار الفكر(
(فرع)جميع ما ذكرناه في حصر المسجد ونظائرها هو فيما إذا كانت موقوفة على المسجد أما ما اشتراه الناظر للمسجد أو وهبه له واهب وقبله الناظر فيجوز بيعه عند الحاجة بلا خلاف لأنه ملك حتى إذا كان المشتري للمسجد شقصا كان للشريك الأخذ بالشفعة ولو باع الشريك فللناظر الأخذ بالشفعة عند الغبطة هكذا ذكروه قلت هذا إذا اشتراه الناظر ولم يقفه أما إذا وقفه فإنه يصير وقفا قطعا وتجري عليه أحكام الوقف )روضة الطالبين الجزء الخامس صـ 358(
(مسئلة ي) ليس للناظر العام وهو القاضى أو الوالى النظر فى أموال الأوقاف وأموال المساجد مع وجود النظر الخاص المتأهل فحينئذ فما يجمعه الناس ويبذلونه لعمارتها بنحو نذر أو هبة وصدقة مقبوضين بيد الناظر أو وكيله كالساعى فى العمارة بإذن الناظر ويملكه المسجد ويتولى الناظر العمارة بالهدم والبناء وشراء الآلة والإستئجار فإن قبض الساعى بلا إذن الناظر فهو باق على ملك باذله فإن أذن فى دفعه للناظر اودلت قرينة أو اطردت العادة بدفعه دفعه وصار ملكا للمسجد حينئذ فيتصرف فيه كما مر وإن لم يأذن فى الدفع للناظر فالقابض أمين الباذل فعليه صرفه للأجراء وعن الألة وتسليمها للناظر وعلى الناظر العمارة هذا إن جرت العادة أو القرينة أو الإذن بالصرف كذلك أيضا وإلا فإن أمكنت مراجعة الباذل لزمت وإن لم تمكن فالذى أراه عدم جواز الصرف حينئذ لعدم ملك المسجد لها إذ لا يجوز قبض الصدقة إلا بإذن المتصدق وقد انتفى هنا وليتفطن لدقيقة وهو أن ما قبض بغير إذن الناظر إذا مات باذله قبل قبض الناظر أو صرفه على ما مر تفصيله يرد لوارثه إذ هو باق على ملك الميت وبموته بطل إذنه فى صرفه اهـ) بغية المسترشدين صـ 65 دار الفكر(
قال الشيخ أبو محمد وكذا لو أخذ من الناس شيئا ليبني به زاوية أو رباطا فيصير كذلك بمجرد بنائه (قوله ليبني به زاوية) واشتهر عرفا في الزاوية أنها ترادف المسجد وقد ترادف المدرسة وقد ترادف الرباط فيعمل فيها بعرف محلها المطرد وإلا فبعرف أقرب محل إليه كما هو قياس نظائره ا هـ حج أقول وعليه فلو أخذ من جماعة في بلاد متفرقة مثلا ليبني زاوية في محلة كذا كان العبرة بعرف محلة الزاوية دون الدافعين لكن هل يشترط علم الدافعين بعرف محلة الزاوية ولو لم يقصد الآخذ محلا بعينه حال الأخذ لبناء الزاوية حتى يصح ذلك ويتخير في المحل الذي يبني فيه أو لا بد من التعيين ؟ فيه نظر ولا يبعد الصحة وكره في النظر لجهة الوقف ما أمكن ثم لو بقي من الدراهم التي أخذها لما ذكر شيء بعد البناء فينبغي حفظه ليصرف على ما يعرض له من المصالح وفي سم على حج
)نهاية المحتاج الجزء الخامس صـ 372(
(فرع) أعطى آخر دراهم ليشترى بها عمامة مثلا ولم تدل قرينة حاله على أن قصده مجرد التبسط المعتاد لزمه شراء ما ذكر وإن ملكه لأنه ملك مقيد يصرفه فيما عينه المعطى ولو مات قبل صرفه فى ذلك انتقل لورثته ملكا مطلقا كما هو ظاهر لزوال التقييد بموته كما لو ماتت الدابة الموصى بعلفها قبل التصرف به فإنه يتصرف فيه مالكها كيف شاء ولا يعود لورثة الموصى أو بشرط أن يشترى بها ذلك بطل الإعطاء من أصله لأن الشرط صريح فى المناقضة لا يقبل تأويلا بخلاف غيره اهـ تحفة ) بغية المسترشدين صـ 177 دار الفكر(
(فرع لا يعامل الطفل وصي) هذا أعم من قول أصله ليس للوصي بيع ماله لنفسه ولا مال نفسه له والقاضي وأمينه كالوصي والمجنون والسفيه كالطفل أما الأب والجد فلهما ذلك كما مر في البيع -الى أن قال- (ولا يهب) ماله (بثواب ولا غيره) لأنها تبرع ولأن الهبة والعتق لا يقصد بهما العوض نعم إن شرط ثوابا معلوما في الهبة بغبطة جازت بناء على ما مر في الخيار من أنها إذا قيدت بثواب معلوم كانت بيعا ولا يدبر رقيقه ولا يعلق عتقه بصفة كما يؤخذ من منعه من كتابته (ولا يطلق زوجته ولا يخالعها) لأن الطلاق لمن أخذ بالساق ولا بصرف ماله للمسابقة كما سيأتي في بابها ولا يشترى له ما يسرع فساده للتجارة وإن كان مربحا وله أن يزرع له (ولا يشتري له إلا من ثقة) فقد يخرج المبيع مستحقا قال ابن الرفعة ولا يظهر جواز شراء الحيوان له للتجارة لغرر الهلاك (قوله بغبطة) أي بمصلحة (قوله قال ابن الرفعة ولا يظهر إلخ) أشار إلى تصحيحه (قوله لغرر الهلاك) قال شيخنا يؤخذ من التعليل أنه لو رأى أن يشتري له حيوانا مذبوحا ويمكن بيعه بسرعة جاز شراؤه له )أسنى المطالب الجزء الثانى صـ 213(
Sejatinya, dari penjelasan panjang lebar di atas, persoalan mengenai upaya membisniskan sarana, prasarana, dan kekayaan atau aset masjid diperbolehkan selama nadzir optimis (yakin) atau ada dugaan mendapat ghibthah (keuntungan) serta dana masjid yang dibisniskan tersebut bukan hasil dari wakaf atau hibah yang tujuan alokasi/tasharuf-nya bukan untuk dikembangkan.
Di samping itu, nadzir harus termasuk orang yang dapat dipercaya (tsiqah), dan nadzir harus mencari pihak yang akan diajak kerjasama dalam menjalankan bisnis kekayaan masjid pun merupakan pihak yang dapat dipercaya (tsiqah). Dan sembari menggunakan perhitungan atau spekulasi yang tepat. Untuk menguatkan kebolehan ini, dicontohkan dalam kasus menjualbelikan hewan sembelihan seperti ayam potong yang jika dimungkinkan untuk dijual dengan cepat --dengan kata lain cepat lakunya--, maka menjualbelikan atau membisniskannya diperbolehkan. Sebaliknya, jika ayam potong tersebut dimungkinkan tidak mudah lakunya dan ada kemungkinan membutuhkan waktu lama yang akhirnya dagingnya akan kadaluarsa dan membusuk sebelum laku, maka bisnisnya tidak diperbolehkan. Lantaran akan merugikan harta kekayaan wakaf.
Peliknya persoalan di atas, Ustadz Jamaluddin Muhammad mengajak para musyawirin untuk mengamati seberapa jauh definisi ‘imarah sebagai tugas nadzir. Hal ini menurutnya perlu dijelaskan terlebih dahulu pengertian mengenai ‘imarah atau ta’mir sebagai tugas nadzir, sebab demi mendedahkan hukum agar lebih jelas.
Dalam beberapa literatur, istilah ‘imarat al-masjid seringkali diartikan dengan meramaikan atau menghidupkan suasana masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan. Namun, jika dilihat arti yang sebenarnya, ‘imarah berarti membangun, baik membangun dalam pengertian konstruksi bangunan fisik maupun membangun secara non-fisik—‘imarah digunakan dalam bahasa Arab kontemporer artinya apartemen sebagaimana berlaku di negara-negara Arab modern sekarang ini—seperti meramaikan masjid dengan kegiatan keagamaan semisal mengadakan shalat berjamaah, mengadakan shalat Jumatan, pengajian, halaqah, seminar keagamaan, dan lain-lain. ‘Imarah al-masjid sebagai wewenang nadzir berarti menjaga serta memajukan atau mengembangkan secara utuh masjid baik fisik maupun non-fisik.
Dalam konteks inilah, penjelasan mengenai ‘imarah dapat mengutip pendapat Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam karyanya al-Mahalli yang dikomentari (syarh) oleh kitab Qulyubiy wa ‘Umayrah;
فروع : عمارة المسجد هي البناء والترميم والتجصيص للأحكام والسلالم والسواري والمكانس والبواري للتظليل أو لمنع صب الماء فيه لتدفعه لنحو شارع والمساحي وأجرة القيم ومصالحه تشمل ذلك , وما لمؤذن وإمام ودهن للسراج وقناديل لذلك , والوقف مطلقا يحمل على المصالح , ولا يجوز صرف شيء من الوقف ولو مطلقا في تزويق ونقش ونحوهما بل الوقف على ذلك باطل , وقال شيخنا بصحة الوقف على الستور ولو بحرير وإن كان حراما , وفيه نظر ثم رجع عنه ولا يجوز صرف ما وقف لشيء من ذلك على غيره منه , ولا يجوز سراج لا نفع فيه ولو عموما وجوزه ابن عبد السلام احتراما له ودفع الوحشة بالظلمة) ,قليوبى ج 3 ص 109
Dari narasi di atas, ‘imarah al-masjid itu mencakup membangun, menjaga kebersihannya, mengapur atau mengecat, atau juga mencegah air yang akan membanjirinya, dan memberikan upah (honor) bagi pengurus masjid, muadzin (tukang adzan), imam shalat, membeli minyak untuk lampu (di zaman modern bisa diartikan sebagai membayar listrik). Segala macam aktivitas yang maslahat bagi masjid secara mutlak adalah termasuk dalam pengertian ‘imarah. Dengan demikian, jika ada perusakan dan membahayakan atau yang bersifat destruktif bagi masjid maka tidak diperbolehkan dan tidak termasuk ‘imarah, atau bahkan anti-tesa dari ‘imarah. Sesuatu yang tidak terlalu bermanfaat seperti lampu yang watt-nya berlebihan menurut sebagian ulama tidak memperbolehkannya, sedangkan menurut Ibnu ‘Abd as-Salam membolehkan karena demi memuliakan masjid dan menghindari kekumuhan akibat dari suasana yang gelap atau remang-remang.
Dengan demikian, adalah sah bagi nadzir mengadakan kegiatan bisnis demi mengembangkan pembangunan fisik masjid, ataupun bertujuan bahwa hasil dari bisnisnya itu dapat dijadikan upah (honor) bagi staf pengurus masjid, mulai dari gajih ketua pengurus masjid, tukang membersihkan karpet masjid, tukang sapu, Offis Boy (OB), tukang parkir, sampai dengan penjaga sandal. Atau pun hasilnya dapat dijadikan sebagai dana bisyarah atau honor bagi khatib, muaddzin (tukang adzan), guru, pencerahan, dan lain-lain.
Jika kekayaan masjid sudah lebih dari kadar kesejahteraan dan kemakmuran, sudah lebih dari cukup untuk membayar pengurus dan merenovasi bangunan yang rusak, menurut Ustadz Mukti Ali el-Qum, maka dana lebihannya dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum seperti rumah sakit, sekolahan, dan lain-lain. Termasuk juga dalam hal ini adalah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial, seperti baksos (bhakti sosial), menyembelih hewan kurban yang disedekahkan ke fakir dan miskin yang membutuhkan.
Hukum Menukar Tanah Wakaf Dengan Tanah Yang Lain
Setelah menyudahi persoalan kedua ini, musyawirin diajak moderator kedua, ustadz Jamaluddin Muhammad, kembali berkonsentrasi pada persoalan berikutnya, yaitu bagaimana hukum menukar tanah wakaf dengan tanah yang lain atau dengan cara menjual dan dana hasil penjualannya untuk dibelikan tahan lain yang sebanding, lantaran tanah wakaf tersebut hendak digunakan fasilitas umum, yang diistilahkan dengan “tukar guling”?
Ada dua arus pendapat yang berbeda dalam forum. Sebagian musyawirin, seperti Ustadz H. Abdul Muiz, ustadz Afifi dan Abdul Basith al-Ashab, membacakan sebuah keterangan dari salah satu kitab madzhab as-Syafi’iyah, Nihayah az-Zayn, yang menyatakan bahwa pergantian tanah wakaf tidak diperbolehkan. Sedangkan ustadz Hidayat yang alumnus pesantren Sarang sekarang sedang menimba ilmu di UIN Ciputat, membacakan sebuah keterangan yang berbeda dengan pendapat madzhab as-Syafi’iyah. Berikut keterangannya,
اعْلَمْ أَنَّ الِاسْتِبْدَالَ عَلَى ثَلَاثَةِ وُجُوهٍ : الْأَوَّلُ : أَنْ يَشْرِطَهُ الْوَاقِفُ لِنَفْسِهِ أَوْ لِغَيْرِهِ أَوْ لِنَفْسِهِ وَغَيْرِهِ ، فَالِاسْتِبْدَالُ فِيهِ جَائِزٌ عَلَى الصَّحِيحِ وَقِيلَ اتِّفَاقًا .وَالثَّانِي : أَنْ لَا يَشْرُطَهُ سَوَاءٌ شَرَطَ عَدَمَهُ أَوْ سَكَتَ لَكِنْ صَارَ بِحَيْثُ لَا يُنْتَفَعُ بِهِ بِالْكُلِّيَّةِ بِأَنْ لَا يَحْصُلَ مِنْهُ شَيْءٌ أَصْلًا ، أَوْ لَا يَفِي بِمُؤْنَتِهِ فَهُوَ أَيْضًا جَائِزٌ عَلَى الْأَصَحِّ إذَا كَانَ بِإِذْنِ الْقَاضِي وَرَأْيِهِ الْمَصْلَحَةَ فِيهِ .وَالثَّالِثُ : أَنْ لَا يَشْرُطَهُ أَيْضًا وَلَكِنْ فِيهِ نَفْعٌ فِي الْجُمْلَةِ وَبَدَلُهُ خَيْرٌ مِنْهُ رِيعًا وَنَفْعًا ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ اسْتِبْدَالُهُ عَلَى الْأَصَحِّ الْمُخْتَارِ كَذَا حَرَّرَهُ الْعَلَّامَةُ قَنَالِي زَادَهْ فِي رِسَالَتِهِ الْمَوْضُوعَةِ فِي الِاسْتِبْدَالِ ، وَأَطْنَبَ فِيهَا عَلَيْهِ الِاسْتِدْلَالَ وَهُوَ مَأْخُوذٌ مِنْ الْفَتْحِ أَيْضًا كَمَا سَنَذْكُرُهُ عِنْدَ قَوْلِ الشَّارِحِ لَا يَجُوزُ اسْتِبْدَالُ الْعَامِرِ إلَّا فِي أَرْبَعٍ وَيَأْتِي بَقِيَّةُ شُرُوطِ الْجَوَازِ) .رد المختار ج 17ص( 329
Keterangan di atas, menyimpulkan bahwa istibdal (tukar guling) barang wakaf terdapat tiga kondisi yang sudah pasti berdampak pada konsekuensi hukum yang berbeda. Pertama, pihak yang mewakafkan (waqif) ketika mewakafkan barang dalam pernyataannya telah mensaratkan kepada dirinya sendiri atau pada yang lain agar barang wakaf tersebut diperbolehkan untuk ditukar guling. Jika demikian adanya, dengan pernyataan waqif tersebut maka tukar guling diperbolehkan. Kedua, waqif sama sekali tidak mensaratkan apa-apa atau diam seribu bahasa, jika barang wakaf ditukar gulingkan maka di antara ulama terjadi perbedaan pendapat. Sebagian ulama tidak memperbolehkan. Dan sebagain ulama lain, yang termasuk qaul al-ashah, memperbolehkan dengan syarat atas restu (izin) pemerintah dan berdasarkan kebijakan yang maslahat. Dan ketiga, waqif juga tidak mensaratkan apa-apa, akan tetapi tukar guling adalah lebih bermanfaat bagi keberadaan barang wakafan, maka lagi-lagi terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian tidak memperbolehkan dan sebagian lainnya memperbolehkan.
Jelas bahwa hukum tukar guling terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama baik antar madzhab seperti Syafi’iyah yang tidak memperbolehkan dan Hanafiyah membolehkan, atau pun internal madzhab masing-masing. Kita harus faham betul bahwa perbedaan itu terjadi lantaran perbedaan pendekatan dalam penalaran hukum (istinbath) dalam menyikapi ma la nashalah (problematika yang tidak ada dalam teks sentral Islam, al-Quran dan hadits). Syafi’iyah menggunakan qiyash (analogi). Sedangkan Hanafiyah menggunakan istihsan (kebaikan bagi manusia). Adanya perbedaan dalam pendekatan atau metodologi keilmuan tentu sudah pasti akan menghasilkan perbedaan produk hukum.
Pembahasan pun melebar dan meluas. Sebab, persoalan tukar guling barang wakaf, nampaknya tidak sederhana pembahasannya. Terdapat anak turunan yang cukup krusial. Di antaranya yaitu persoalan jika barang wakaf tersebut semisal berupa tanah yang terdapat bagunan masjid, yang sudah barang tentu disamping menukar tanah dengan tanah yang lain, juga secara niscaya bangunan masjid pun harus dibongkar. Pembongkaran inilah yang juga memunculkan persoalan baru lagi, sebagaimana dilontarkan ustadz Ahmad Khudori.
Dalam menyoal pembongkaran masjid atau merubahnya, kita dapat menyimak penjelasan di kalangan ulama, sebagaimana dinarasikan di bawah ini;
فقد استظهر فى فتاويه رأي القائلين بجواز تغيير الوقف للمصلحة حيث بقي الاسم ونقل مثله عن الخادم وابن الرفعة والقفال. ومنهم الامامان عجيل والامام أبو شكيل فقد أطلقا الجواز ولم يقيداه بشئ بل نقل بعضهم عنهما عدم التقييد. ومنهم الشيخ أحمد بن عبد الله بلحاج وقد وسع كثيرا ولم يشترط الاعدم زوال اسم المسجد. )فى النص الوارد فى حكم تجديد المساجد : 13-14)
وَقِيلَ يَجُوزُ أَنْ يُهْدَمَ الْمَسْجِدُ وَيُجَدَّدَ بِنَاؤُهُ لِمَصْلَحَةٍ نَصَّ عَلَيْهِ .)كشاف القناع ج 4 ص 355(
Keterangan tersebut menjelaskan bahwa pada dasarnya Syafi’iyah berpendapat bahwa membongkar masjid tidak boleh. Sedangkan menurut Ibnu Ujail, Syaikh Abu Syaqil dan Syekh Ahmad bin ‘Abdullah Balhaj berpendapat memperbolehkan secara mutlak. Disusul dengan penjelasan selanjutnya yang menegaskan bahwa diperbolehkan membongkar bangunan masjid dan memperbaharui (merenovasi) demi kemaslahatan bagi masjid.
Selain kutipan di atas, penjelasan dalam kitab Fath al-Bari, sebuah kitab komentar (syarh) atas kitab hadits Shahih al-Bukhari, layak disuguhkan. Kitab ini merupakan karya yang termasuk level pertama dalam hierarki kitab-kitab hadits sahih, ditulis oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
وَأَوَّل مَنْ زَخْرَفَ الْمَسَاجِد الْوَلِيد بْن عَبْد الْمَلِك بْن مَرْوَان ، وَذَلِكَ فِي أَوَاخِر عَصْر الصَّحَابَة ، وَسَكَتَ كَثِير مِنْ أَهْل الْعِلْم عَنْ إِنْكَار ذَلِكَ خَوْفًا مِنْ الْفِتْنَة ، وَرَخَّصَ فِي ذَلِكَ بَعْضهمْ - وَهُوَ قَوْل أَبِي حَنِيفَة - إِذَا وَقَعَ عَلَى سَبِيل التَّعْظِيم لِلْمَسَاجِدِ ، وَلَمْ يَقَع الصَّرْف عَلَى ذَلِكَ مِنْ بَيْت الْمَال . وَقَالَ اِبْن الْمُنِير : لَمَّا شَيَّدَ النَّاس بُيُوتهمْ وَزَخْرَفُوهَا نَاسَبَ أَنْ يُصْنَع ذَلِكَ بِالْمَسَاجِدِ صَوْنًا لَهَا عَنْ الِاسْتِهَانَة . وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ الْمَنْع إِنْ كَانَ لِلْحَثِّ عَلَى اِتِّبَاع السَّلَف فِي تَرْك الرَّفَاهِيَة فَهُوَ كَمَا قَالَ ، وَإِنْ كَانَ لِخَشْيَةِ شَغْل بَال الْمُصَلِّي بِالزَّخْرَفَةِ فَلَا لِبَقَاءِ الْعِلَّة (فتح البارى لابن الحجر : 2/176)
Dalam sejarah Islam, orang yang pertama kali merenovasi atau menghiasi (dekorasi) masjid dengan diberi fariasi dan ornamen adalah al-Walid bin ‘Abdul Muluk bin Marwan, di akhir masa para sahabat Nabi. Kebanyakan para ulama pada zamannya lebih memilih diam, tidak mengkritisi, atau tidak melontarkan ketidaksetujuannya. Demi menghindari fitnah dan chash di kalangan internal umat Islam, sebagian ulama merespon peristiwa itu. Sebagiamana Abu Hanifah memetik pelajaran dari peristiwa tersebut bahwa menghiasi atau merenovasi masjid yang termasuk kategori “merubah” (taghyir) bangunan masjid, diperbolehkan sebab demi memuliakan keberadaan masjid. Sudah barang tentu, jika masjid direnovasi sedemikian rupa, maka akan tampak elegan, megah, unik, dan membikin nyaman para jamaah. Ibnul Munir juga mebolehkan renovasi masjid karena alasan menjaga dari hinaan (shounan laha ’anil istihanah).
Renovasi masjid dengan melalui pembongkaran bangunan, niscaya menyisahkan reruntuhan-reruntuhan atau puing-puing dan serpihan-serpihan seperti bongkahan tembok, dinding, pasir, semen, dan batu bata, atau bahkan besi-besi.
Reruntuhan tersebut sudah menjadi kelaziman jika sebuah bangunan diruntuhkan. Untuk menghindari kemubadziran (dhiya’ul mal) yang sudah pasti dalam Islam tidak diperbolehkan, maka galibnya reruntuhan tersebut oleh kebanyakan umat Islam digunakan kembali jika masih layak, atau dijual kepada pihak yang membutuhkan dan hasilnya dibelikan barang matrial baru untuk pembangunan masjid yang baru. Lalu, sikap demikian bagaimana dalam pandangan hukum fikih Islam?
Seorang ulama kenamaan Indonesia, yang dikenal produktif menulis, Abu al-Fadhl bin ‘Abd as-Syukur, Senori Jawa Tengah, dalam salah satu kitab monumental-nya, Mawahib Dzi al-Fadhl bi Fatwa Bafadhal, menjelaskan hukum yang berkaitan dengan reruntuhan bangunan masjid tersebut. Bafadhal menulis:
وسئل العلامة الشيخ ابو بكر ابن احمد الخاطب مفتي تريم أما بقي فتات النورة والطين والأخشاب بعد الهدم فأجاب بجواب طويل مال به الى جواز بيعها اذا لم تظهر حاجة لهل للمسجد المذكور ولو فى المستقبل وخيف ضياعه أو أخذ ظالم أو غاصب لها اما اذا لم يخش شيء من ذلك فتحفظ الى اخر ما اطال به رحمها الله اهـ. النص الوارد فى حكم تجديد المسجد للعلامة علوى ابن عبد الله ابن حسين – الى أن قال – ثم إختلفوا فى جواز بيعه وصرف ثمنه فى مثله وإن كان مسجدا فقال المالك والشافعي يبقى على حاله ولا يباع وقال أحمد يجوز بيعه وصرف ثمنه فى مثله وكذالك فى المسجد اذا كان لايرجى عوده وليس عيد أبي حنيفة نص فيها.(مواهب الفضال بفتوى بافضال: 1/228)
Dijelaskan oleh Bafadhal bahwa ada seorang Mufti kota Tarim, Negara Yaman, menjawab panjang lebar sebuah pertanyaan yang menyoal tentang sisa-sisa (reruntuhan) bangunan masjid yang telah dihancurkan, seperti pasir, batu bata, semen, kapur, dan lain-lain. Apakah boleh sisa-sisa reruntuhan tersebut dijual? Sikap sang Mufti, pada dasarnya reruntuhan bangunan masjid tersebut diperbolehkan untuk dijual—sudah pasti hasilnya untuk membeli matrial lagi—jika reruntuhan tersebut sudah tidak dibutuhkan atau sudah tidak layak bagi masjid; atau ditakutkan termasuk pada sikap menyia-nyiakan harta atau dikhawatirkan diambil oleh orang dzalim atau pencuri. Namun jika melihat pendapat para ulama kuno, hukumnya Khilaf (berbeda pendapat). Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik tidak boleh dijual dan barang yang masih bisa digunakan diberikan pada masjid lain yang membutuhkan. Menurut Imam Ahmad boleh dijual dan hasilnya (tsaman) digunakan untuk membeli matrial sesamanya.
Jika renovasi masjid masih dimungkinkan dengan cara melapisi bangunan yang sudah ada (bangunan lama), maka cara ini yang lebih diprioritaskan untuk meminimalisir hilangnya bangunan masjid lama, dan menghindar dari khilaf para ulama yang tidak memperbolehkan membongkar masjid kecuali untuk alasan tausi’ (menyelamatkan bangunan masjid). Sebagaimana dijelaskan,
قَوْلُهُ : ( وَلَوْ انْهَدَمَ مَسْجِدٌ ) أَيْ وَتَعَذَّرَتْ الصَّلَاةُ فِيهِ لِخَرَابِ مَا حَوْلَهُ مَثَلًا .قَوْلُهُ : ( وَتَعَذَّرَتْ إعَادَتُهُ )
أَيْ بِنَقْصِهِ ثُمَّ إنْ رَجَى عَوْدَهُ حُفِظَ نَقْضُهُ وُجُوبًا وَلَوْ بِنَقْلِهِ إلَى مَحِلٍّ آخَرَ ، إنْ خِيفَ عَلَيْهِ لَوْ بَقِيَ وَلِلْحَاكِمِ هَدْمُهُ وَنَقْلُ نَقْضِهِ إلَى مَحِلٍّ أَمِينٍ ، إنْ خِيفَ عَلَى أَخْذِهِ وَلَوْ لَمْ يُهْدَمْ ، فَإِنْ لَمْ يَرْجُ عَوْدَهُ بُنِيَ بِهِ مَسْجِدٌ آخَرُ لَا نَحْوُ مَدْرَسَةٍ وَكَوْنُهُ بِقُرْبِهِ أَوْلَى ، فَإِنْ تَعَذَّرَ الْمَسْجِدُ بُنِيَ بِهِ غَيْرُهُ وَأَمَّا غَلَّتُهُ الَّتِي لَيْسَتْ لِأَرْبَابِ الْوَظَائِفِ وَحُصْرُهُ وَقَنَادِيلُهُ فَكَنَقْضِهِ ، وَإِلَّا فَهِيَ لِأَرْبَابِهَا وَإِنْ تَعَذَّرَتْ لِعَدَمِ تَقْصِيرِهِمْ ،(حاشيتان قليوبي :ج : 10/ص: 40)
(وسئل ) عن جماعة عن أهل الخير ارادوا القيام فى عمارة مسجد " الخوقة " ببلد شام بهدمه اولا ثم البناء بكون المسجد المذكور قديم البناء وجانب منه اشرف على الخراب بل قد يتضرر المصلون اوقات المطر بتقطير السقوف وعدم نفوذ السقوف وعدم نفوذ الماء الخارج بارتفاع الارض عليه من جميع الوانب والجماعة المذكور له النظر من منذ سنين قديمة على هذا المسجد يولون من يرونه أهلا لحفظ غلة وقف المسجد ويعزلون من أكن بالعكس . فهل يجوز لهم والحالة هذه الاقدام على هدم المسجد وبنائه وكبسه وعلوه نحوا من ثلاثة أذرع الى ان يساوي الارض او يزيد قليلا ثم الى جهة العلو كذلك زيادة على ارتفلعه الان وبيع حصره وأبوابه وأخشابه القديمة وابدالها بالجديد وصرف ما زاد من غلة وقف المسجد المذكور فى عمارته مع ما اجبمع معهم من أهل الخير المعاونين فى البناء؟ هل يجوز لاحد الاعتراض عليهم فى هذا الصنيع او التنكيش فى شيئ مما ذكر؟.(فاجاب بقوله) اذا اقتضت الضرورة ومثلها الحاجة والمصلحة كما صرحوابه هدمه او رفعه او توسعته كخوف سقوط جدار ودفع حر وبردو ضيق على المصلين وغير ذلك مما يدخل تحت المصلحة والحاجة جاز ما ذكر للناظر الخاص الاهل الثابت له النظر من جهة الواقف المشروط له ذلك حال الوقف ثم الحاكم - الى ان قال- وأما بيع الحصر والاخشاب فلا يجوز ولا يصح الا اذا بليت الحصر بأن ذهب جمالها ونفعها كما فى الفتح او انكسرت الاخشاب او اشرفت ولم تصلح الا للا حراق فيجوز حينئذ وصرف الثمن لمصالح المسدد ان لم يكن شراء حصير او خشب به والا وجب وان صلحت لشيئ غير الاحراق ولو بادراجها فى الات العمارة امتنع البيع, قد تقدم قطعة جذع او خشبه مقام أججوره ( الاجورة: هو الاجر المعروف ) والنحاتة مقام التبن للتراب كما صرح به فى التحفة. والذي يظهر للفقير ان الابواب كالحصر والجذوع فى التفصيل المذكور- هذا كله اذا كانت موقوفة, واما اذا كانت مملوكة فيجوز بيعها مطلقا بشرط ظهور المصلحة . (الفتاوى النافعة فى مسائل الاحوال الواقعة : 13-14)
Penjelasan di atas menegaskan bahwa ada kondisi-kondisi tertentu yang diperbolehkan membongkar masjid dan merenovasi atau membangun masjid yang lebih layak dari bangunan sebelumnya. Di antara kondisi yang membolehkan atau bahkan mengharuskan adanya renovasi atau rekonstruksi bangunan masjid adalah semakin membludaknya jamaah, dan bangunan masjid tidak memadai untuk menampungnya; atau bangunan masjid yang sudah tua dan rapuh yang jika dibiarkan ditakutkan roboh dan menjatuhi para jamaah. Termasuk juga adalah merekonstruksi bangunan masjid dengan cara meninggikan bangunan demi terhindar dari banjir. Kondisi-kondisi semacam itulah yang memperbolehkan atau mengharuskan renovasi masjid tersebut.