Sabtu, 02 Oktober 2010

Laporan Bahtsul Masail Rumah KitaB ke-II


Tema : "Pembangunan Gereja dan Batasan Toleransi Menurut Kitab Kuning"
Waktu : Ahad 29 Agustus 2010, jam: 09.00 s/d 18.00
Tempat: Sekretariat Rumah KitaB, Taman Rafflesia Bekasi Timur
Dilaporkan oleh Mukti Ali el-Qum (Koordinator Kajian Teks Kitab Kuning di Rumah KitaB)
Untuk kedua kalinya, Rumah Kitab telah menyelenggarakan Bahtsul Masail pada hari Ahad, 29 Agustus 2010, bertepatan dengan tanggal 20 Ramadhan 1431 H. Tema dalam bahtsul masail kali ini adalah “Pembangunan Gereja dan Batasan Toleransi Antar Agama dalam Pandangan Kitab Kuning”. Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama unit Kajian dengan unit Pengembangan Masyarakat Yayasan Rumah Kitab. Adapun peserta yang turut hadir dan secara aktif memberikan pandangan dan argumentasi adalah kalangan alumnus Pondok Pesantren Tradisional-Salafiyah. Mayoritas mereka berasal dari daerah Bekasi, Ciputat, Pulogadung dan Cakung serta para alumnus pondok pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Dalam Bahtsul Masail yang diselenggarakan Rumah Kitab ini senantiasa menempatkan kitab kuning atau literatur khasanah klasik sebagai perspektif, basis pengetahuan, dan sekaligus alat analisis terhadap persoalan-persoalan yang dianggap aktual dan membutuhkan respon keagamaan.

Narasumber dalam Bahtsul Masail untuk kedua kalinya ini adalah ketua Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kab. Bekasi, KH. DR. Zamakhsyari Abd. Majid dan Ustadz Sa’dullah Affandi, MA. Narasumber yang disebut kedua ini adalah sekaligus bertindak selaku sail, penanya. Adapun peserta yang hadir berjumlah 35 orang, antara lain Ustadz Ahmad Khudzlari dan Ustadz Ade Akfan Aminudin (perwakilan Masjid al-Falah Keranji-Bekasi Barat), Ustadz Ahmad Zarkasyih, Nurhidayah, Ustadz Muhammad Trisna, Zul Qoffal (delegasi Pondok Pesantren An-Nida), Ustadz Abdul Basith (perwakilan Pondok Pesantren Miftah al-‘Ulum Jakarta Utara), Ustadz M. Afifi Aidon dan Ustadz Ayatullah (perwakilan PSPP/Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren, Ciputat), Ustadz Faiq Ihsan Anshari (perwakilan Formal, Ciputat), KH. Ramli (perwakilan Pengajian Maqam Albab Jakarta), Ifan Mistahudin, Muaz, Andi Satiri, A. Khudri, Miladi, Ade Maulana, Khairon, Hidayatullah, Akfan Miladi dan Tajudin. Bahtsul Masail ini juga dihadiri para staf Rumah Kitab.

Persoalan yang dibahas dalam bahtsul masail kali ini adalah termasuk kategori kasus SARA yang akhir-akhir ini muncul dalam pemberitaan media dan bahkan kejadiannya tidak jauh, yaitu di sekitar Bekasi, Jawa Barat. Kasus ini mencuat terkait dengan niat Umat Kristiani membangun gereja, sebagai tempat peribadatannya. Konon, pembanguan tersebut telah mendapatkan izin dari pemerintah daerah dan pusat, serta dilindungi undang-undang negara. Tak diduga-duga, pembangunan tersebut mendapatkan respon berupa penentangan dan penolakan dari sebagian Umat Islam. Sebagai dampaknya, lahirlah resistensi dari kalangan umat Islam yang tak terbendung dan melakukan demonstrasi serta melarang-larang umat Kritiani dalam pembangunan gereja tersebut.

Dari kasus ini, ada dampak lain yang membutuhkan perhatian banyak pihak, berupa toleransi yang seakan-akan kembali terancam. Persoalan toleransi yang terjadi di negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, seperti Indonesia, yang berupa penolakan sebagian umat Muslim terhadap pembangunan gereja bisa jadi dapat menyulut amarah kaum non-Muslim, seperti Kristen, yang berada di negara-negara yang mayoritas berpenduduk Kristiani. Umat Kristiani yang merasa dirinya adalah penduduk mayoritas di negara tertentu, dikhawatirkan akan memperlakukan kasar terhadap umat Muslim yang minoritas. Sebagai ilustrasi, pemberitaan media baru-baru ini, Jumat 13 Agustus 2010, Presiden Obama telah mendukung pembangunan masjid di kawasan Manhattan, New York. Dalam sebuah kesempatan ketika mengadakan acara buka puasa di Gedung Putih, Jumat 13 Agustus 2010, Obama menyatakan bahwa Islam merupakan bagian dari Amerika dan umat Muslim berhak mendirikan tempat ibadah di manapun, termasuk di Manhattan. Sontak saja, peryataan Presdien AS tersebut menuai tuduhan dari sebagian kalangan Kristen konservatif bahwa Obama adalah Muslim. Kasus lain lagi juga terjadi dan bahkan memicu kebencian dari kalangan umat Muslim se-dunia, sebagai akibat rencana penyelenggaraan pembakaran al-Quran massal di USA. Semua kasus tersebut hampir memiliki langgam yang sama, berupa menyulut emosi dan kebencian dari kedua belah pihak/umat beragama.

Dari latar belakang tersebut muncul beberapa pertanyaan sebagai acuan diskusi dalam Bahtsul Masail, sebagai berikut:

1. Bagaimana hukum membangun gereja untuk beribadah umat Kristiani atas dasar izin pemerintah dan dilindungi undang-undang negara?
2. Bagaimana hukum penolakan pembagunan gereja oleh sebagian umat Islam tersebut. Padahal akan berdampak negatif bagi masa depan umat Islam di negara yang ketepatan berpenduduk mayoritas non-Muslim?
3. Adakah batasan toleransi beragama dalam pandangan Kitab Kuning yang mu’tabarah?

Sebelum mendiskusikan pokok persoalan di atas, moderator dalam bahtsul masail, Mukti Ali el-Qum, mengajukan dua hal penting untuk memudahkan dalam pembahasannya, yaitu: pertama, memperjelas kronologi dan kedudukan masalah, khususnya undang-undang atau peraturan negara berkaitan dengan pembangunan gereja di Indonesia, dan menjelaskan alasan-alasan yang melatarbelakangi penolakan pembangunan gereja; dan kedua, memformulasikan persoalan dan pertanyaan agar mendapatkan jawaban yang tepat dan relevan sesuai dengan persoalan yang muncul di lapangan. Dua langkah ini diajukan, mengingat dari segi redaksi pertanyaan dapat saja berubah setelah didiskusikan lebih lanjut.

Dua langkah tersebut harus ditempuh sebab dalam menghukumi sesuatu, terlebih dahulu harus dijelaskan secara komprehensif kedudukan mahkum ‘alayh-i (obyek yang dihukumi). Cara seperti ini mutlak dalam metodologi pengambilan hukum yang dikembangkan oleh Bahtsul Masail. Karena secara metodologis, tidaklah mungkin menghukumi sesuatu yang belum atau tidak diketahui (majhul) duduk masalahnya. Untuk kepentingan tersebut moderator meminta kepada narasumber pertama menjelaskan masalah yang berkaitan dengan undang-undang yang mengatur pembangunan gereja dan kronologi peristiwa yang terjadi di lapangan. Untuk hal ini, moderator mempersilahkan kepada Bapak KH. DR. Zamakhsyari Abd. Majid, dan disusul oleh narasumber kedua dan sekaligus sebagai penanya (sa’il), Ustadz Sa’dullah Affandi, MA. menjelaskan masalah yang disampaikan oleh.

Sebelum memasuki pokok persoalan, Kyai Zamakhsyari terlebih dahulu mengajak para peserta bahtsul masail untuk bersama-sama membaca surah al-Fatihah. Selanjutnya, Kyai Zamakhsyari menyampaikan sambutan dan penjelasan bahwa; “Bahtsul Masail adalah bagian dari tradisi pembahasan hukum Islam genuin NU. Karena itu, PCNU Bekasi sangat tertarik dan berkepentingan dengan acara ini. Untuk penyelenggaraan Bahtsul Masail di Rumah Kitab berikutnya diharapkan dapat bekerjasama dengan PCNU Bekasi. Tentu saja, diharapkan bagi anak-anak didik kami, santri kami, di Pondok Pesantren An-Nida dan para ustadz di Bekasi dapat belajar banyak melalui diskusi dan bahtsul masail yang secara rutin digelar Rumah Kitab.

Selanjutnya, Kyai Zamakhsyari memberikan penjelasn bahwa kita ini hidup di Indonesia, sebuah negara yang menjamin kebebasan beragama dan peribadatan agama-agama yang ada. Negara yang diami ini memberikan kebebasan dalam mengekspresikan kepercayaan dan ritual ibadah. Banyak ayat al-Qur`an, hadits dan pandangan ulama yang mengharuskan kita menghormati umat agama lain, menghargai perbedaan dan sebaliknya, melarang kita untuk melakukan tindakan intoleransi, apalagi berbuat anarkis. Berkaitan dengan tempat ibadah di Indonesia, khususnya Bekasi, maka ada aturan-aturannya, dari aturan yang bersifat nasional hingga aturan Perda. Bila ditanya apa hukumnya pembangunan gereja bila sudah sesuai dengan prosedur dan aturan pemerintah? Yah jelas sekali jawabannya, Islam tidak melarang. Kalau sudah memenuhi aturan, misalnya gereja tersebut dibangun sesuai kebutuhan, telah ada 90 tanda tangan dari anggota jamaah gereja yang didirikan, dan ada 60 tanda tangan persetujuan dari masyarakat setempat. Bila aturan sudah dipenuhi memang tidak ada masalah. Asalkan aturan tersebut harus dipenuhi secara benar dan tanpa ada manipulasi data.

Sebagai orang NU kita memang toleran, karena NU memegang prinsip tawazun (moderatisme), tasamuh (toleran), dan i’tidal (keseimbangan). Toleransi NU tidak diragukan lagi. Sikap NU yang sangat toleran terhadap perbedaan agama dan kepercayaan telah diakui di mata dunia internasional sebagai buktinya adalah bahwa sering kali NU diberi kepercayaan oleh dunia internasional seperti Mendiang KH. Abdurrahman Wahid dipercaya sebagai ketua persatuan agama-agama sedunia, dan sekarang digantikan oleh KH. Hasyim Muzadi, dimana kedua tokoh tersebut adalah mantan ketua umum tanfidziyah PBNU.

Sebagai orang Islam, sebenarnya kita berharap tidak ada gereja. Karena itu aturannya di FKUB kita perketat. Di samping, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah penggerebekan dan penolakan yang kerap terjadi disebabkan ada indikasi manipulasi data pemenuhan aturan dan syarat yang dilakukan pihak panitia pembangunan gereja.”

Sementara itu, penjelasan yang dikemukakan Ustadz Sa’dullah Affandi, MA yang juga wakil sekretaris PP LDNU, duduk perkara yang sebenarnya, terkait pendirian gereja adalah perlunya pemahaman bahwa “gereja berbeda dengan masjid, di masjid setiap orang muslim bisa shalat, tidak melihat aliran Islamnya apa. Tidak demikian halnya dengan di gereja. Setiap gereja hanya menjadi tempat ibadah bagi umat Kristiani yang memang sealiran dengan gereja. Bisa saja gerejanya di daerah sini tetapi para jamaahnya berasal dari luar”.

Bagi Kang Sa’dun, perbedaan kultur antara umat Islam dan Kristen haruslah dipahami betul, agar tidak mudah menuduh bahwa “kok ada gerejanya”, jamaatnya didatangkan dari mana-mana, padahal memang anggota jamaat gereja itu basisnya adalah kesamaan sekte (aliran) keagamaan dan bukan kesamaan tempat tinggal atau berdekatannya tempat tinggal. Dalam melihat persoalan pendirian gereja, kang Sa’dun mengajak “Janganlah dilihat dari subyektifitas kita sebagai umat Islam, tetapi mari kita melihatnya secara obyektif, dalam konteks bernegara Indonesia”.

Lebih lanjut, pria yang tengah menulis kaligrafi bagi proyek Mushaf pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon ini menuturkan bahwa “fakta di lapangan masih memperlihatkan bahwa umat Kristiani seringkali kesulitan mendapatkan izin pendirian gereja, sehingga mereka mencoba menyewa hotel atau ruangan lainnya untuk beribadah. Hal ini akhirnya mendapat protes sebagian masyarakat bahwa mereka menggunakan tempat umum sebagai tempat ibadah. Ketika ummat Kristiani lalu mencoba beribadah di rumah-rumah penduduk, juga diprotes, mereka tidak boleh menggunakan rumah penduduk sebagai tempat ibadah. Mereka mengadakan ibadah dan kebaktian di ruko-ruko saja mendapat protes dan menuai demo. Para pemprotes beralasan dilarang mengadakan ibadah dan kebaktian di luar gereja. Dengan nada guyon, Kang Sa’dun berkata “Hanya untuk beribadah saja dipersulit”. Menurutnya, kasus seperti ini banyak terjadi, karena itu kita perlu membahas masalah pendirian gereja ini. Dalam perenungannya, ia mengatakan “Coba kita bayangkan, jika kita sendiri yang diperlakukan seperti itu, shalat dilarang-larang, dan tidak merasakan kenyamanan dalam beribadat. Perasaan insan sama, ingin dihormati. Dan tenggang rasa adalah tiang penyangga kokohnya bangunan kerukunan anarumat beragama.”

Setelah kedua narasumber menjelaskan duduk persoalan dan para peserta menyimak dengan cermat, moderator kemudian mengajak para peserta untuk memperhatikan redaksi pertanyaan yang diajukan. Ini dilakukan sebagai upaya untuk menemukan pokok persoalan dan alternatif-alternatif solusi. Dari sebagian peserta (musyawirin), seperti Ustadz Khudzlari, Ustadz Zamakhsyari, dan yang lainnya, dalam kenyataannya mengungkapkan keberatan dengan redaksi yang diajukan dan mengusulkan agar diganti dengan redaksi lain atau dirubah. Dalam redaksi itu tidak ada alamat yang pasti pertanyaan dan hukum itu mau ditunjukkan kemana atau ke siapa(?). Mereka beralasan bahwa hukum syariat Islam ditunjukkan untuk umat Muslim. Sementara peserta yang lain seperti pendapat Ustadz Faiq Ihsan Anshori dan Roland Gunawan, mengusulkan agar redaksi tidak perlu diubah, dan yang terpenting adalah jawaban atas pertanyaan itu. Sementara hukum syariat untuk umat Muslim adalah maklum dan bisa dipaparkan dalam redaksi jawaban. Untuk memberikan jalan tengah dari dua redaksi yang berbeda, moderator akhirnya menawarkan sedikit perubahan dan modivikasi redaksi dan menjadi redaksi yang ada di bawah ini:

1. Bagaimana hukum kaum Muslim yang membiarkan dan mempersilahkan bagi kaum Kristiani membangun gereja untuk peribadatan mereka (umat Kristiani) seizin pemerintah dan dilindungi undang-undang negara?
2. Bagaimana hukum penolakan pembagunan gereja oleh sebagian umat Islam?
3. Adakah batasan toleransi beragama dalam pandangan Kitab Kuning yang mu’tabarah?



Hukum Pembiaran dalam Pembangunan Gereja

DARI redaksi pertanyaan yang diajukan moderator, para musyawirin (audiens) sepakat dan menyetujuinya. Pembahasan mulai dibuka satu persatu. Pembahasan pertama difokuskan untuk menjawab pertanyaan: “Bagaimana hukum kaum Muslim yang membiarkan dan mempersilahkan bagi kaum Kristiani membangun gereja untuk beribadat mereka (umat Kristiani) seizin pemerintah dan dilindungi undang-undang negara?”

Demi tersistematisasi dan menghindari kerancuan pembahasan, moderator langsung mendenahkan alternatif-alternatif jawaban hukum sebagai pilihan, yaitu pertama jawaban terperinci (tafshil) melihat situasi dan kondisi obyek hukum (mahkum ‘alayhi); kedua, boleh mutlak; dan ketiga, haram mutlak. Dari ketiga pilihan, ternyata setelah satu persatu dari musyawirin dimintai jawaban, pendapat dan argumentasinya, maka semakin jelas bahwa pendapat-pendapat yang ada dapat dikelompokkan ke dalam tiga jawaban tersebut.

Kelompok yang menjawab tafshil (terperinci) terdapat dua argumentasi, sebagian menggunakan argumentasi yang bersifat universal dan umum, seperti pendapat Kyai Romli dan ustadz Ade Akfan Miladi yang mengutip kaidah fikih “dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” (menolak mafsadah harus lebih diprioritaskan daripada mengambil kemaslahatan). Dengan mengacu pada kaidah tersebut, maka pembangunan gereja dapat dipertimbangkan dari sudut kemaslahatan dan kemadlaratannya. Jika pembangunan tersebut dapat menimbulkan madlarat maka harus dihindari.

Sedangkan sebagian audiens (musyawirin) lain yang menjawab tafsil (terperinci) sebagaimana yang diungkapkan Ustadz Khudori Ahmad, Ustadz Zamakhsyari, dan sebagian ustadz-ustadz yang lain, dengan bertendensi pada sebuah penjelasan (ibarat) dari Kitab Kuning mu’tabarah, Raudhlatut at-Thalibin, karya Imam al-Nawawi yang dibacakan oleh Ustadz Chudori Ahmad sebagai landasan argumentasinya. Kutipan kitab tersebut sebagai berikut:


(فصل) إذا صالحنا طائفة من الكفار على أن تكون أرضهم لهم ويؤدوا خراجاً عن كل جريب في كل سنة كذا جاز ويستمر ملكهم ويكون المأخوذ جزية تصرف مصرف الفيء والتوكيل بإعطائه كالتوكيل بإعطاء الجزية ويشترط أن يبلغ قدراً يخص كل واحد من أهل الجزية منه ديناراً إذا وزع على رؤوسهم ويلزمهم ذلك زرعوا أم لا ولا يؤخذ من أرض صبي ولا مجنون ولا امرأة ولهم بيع تلك الأرض وهبتها وإجارتها وإذا أجر بعضهم بعضها لمسلم بقي الخراج على المكري ويلزم المستأجر الأجرة وإن باع لمسلم انتقل الواجب إلى رقبة البائع ولا خراج على المشتري ولو أسلموا بعد الصلح سقط الخراج ويلزمهم أن يؤدوا عن الموات الذي يمنعوننا منه دون ما لا يمنعون منه ولو أحيوا منه شيئاً بعد الصلح لم يلزمهم شيء لما أحيوا إلا إذا شرط عليهم أن يؤدوا عما يحيون ولو صالحناهم على أن الأرض لنا ويسكنونها ويؤدون عن كل جريب فهو عقد إجازة والمأخوذ أجرة فتجب معها الجزية ولا يشترط أن تبلغ ديناراً عن كل رأس وتؤخذ من أرض النساء والصبيان والمجانين ويجوز توكيل المسلم في أدائها وليس لهم بيع تلك الأرض ولا هبتها ولهم إجارتها.
* الطرف الثاني في أحكام عقد الذمة
فإذا صح عقدها لزمنا شيء ولزمهم شيء، أما ما يلزمنا فأمران:
[أحدهما] الكف عنهم بأن لا يتعرض لهم نفساً ومالا ويضمنهما المتلف ولا يتعرض لكنائسهم على تفصيل سنذكره إن شاء الله تعالى ولا تتلف خمورهم وخنازيرهم إلا إذا أظهروها فمن أراق أو قتل من غير إظهار عصى ولكن لا ضمان ولو باع ذمي لمسلم خمراً أريقت على المسلم ولا ثمن للذمي وإن غصبها من ذمي وجب ردها على الصحيح وعليه مؤنة الرد قال البغوي ولو كان لمسلم على ذمي دين فقضاه وجب القبول إذا لم يعلم أن المؤدى ثمن محرم فإن علم بأن باع الخمر بين يديه وأخذ ثمنها فهل يجبر على قبوله وجهان أصحهما لا يجبر وهو المنصوص بل لا يجوز القبول ولو كان لذمي على ذمي دين ورهن به خمراً لم يتعرض لهما كما لو باعه الخمر فإن وضعاها عند مسلم لم يكن له إمساكها ولو كان لمسلم على ذمي دين فرهن به خمراً لم يجز.
[الأمر الثاني] يلزم الإمام دفع من قصدهم من أهل الحرب إن كانوا في دار الإسلام فإن كانوا مستوطنين دار الحرب وبذلوا الجزية لم يجب الذب عنهم وإن كانوا منفردين ببلدة في جوار الدار وجب الذب على الأصح هذا إذا جرى العقد مطلقاً فإن جرى بشرط أن يذب أهل الحرب وجب الوفاء بالملتزم وفيه احتمال للإمام وإن جرى بشرط أن لا يذب عنهم فإن كانوا مع المسلمين أو في موضع إذا قصدهم أهل الحرب كان مرورهم على المسلمين فسد الشرط وكذا العقد على الصحيح وإن كانوا منفردين ولا يمر أهل الحرب بهم صح الشرط وحكى الإمام وجهاً أن شرط ترك الذب فاسد مطلقاً والصحيح الأول وهل يكره فيه نصان حملوهما على حالين فإن طلب الإمام الشرط كره لأن فيه إظهار ضعف المسلمين وإن طلب أهل الذمة فلا ويجب دفع المسلمين وأهل الذمة عنهم كما يجب دفع أهل الحرب فإن لم يدفع عنهم حتى مضى حول لم تجب جزيته كما لا تجب الأجرة إذا لم يوجد التمكن من الانتفاع ولو أغار أهل الحرب على أهل الذمة وأخذوا أموالهم ثم ظفر الإمام بهم فاسترجعها لزمه ردها على أهل الذمة فإن أتلفوا فلا ضمان عليهم كما لو أتلفوا مال المسلمين ومن أغار من بيننا وبينه هدنة وأتلف أموال أهل الذمة ضمن فإن نقضوا العهد وامتنعوا ثم أغاروا وأتلفوا لهم مالا أو نفساً ففي الضمان قولان كأهل البغي.
(فصل) وأما ما يلزمهم فخمسة أمور:
[الأول] في الكنائس والبيع فالبلاد التي في حكم المسلمين قسمان (أحدهما) ما أحدثه المسلمون كبغداد والكوفة والبصرة فلا يمكن أهل الذمة من إحداث بيعة وكنيسة وصومعة راهب فيها ولو صالحهم على التمكن من إحداثها فالعقد باطل والذي يوجد في هذه البلاد من البيع والكنائس وبيوت النار لا ينقض لاحتمال أنها كانت في قرية أو برية فاتصل بها عمارة المسلمين فإن عرف أحدث شيء بعد بناء المسلمين نقض.
(الثاني) بلاد لم يحدثوها ودخلت تحت أيديهم فإن أسلم أهلها كالمدينة واليمن فحكمها كالقسم الأول وإلا فإما أن تفتح عنوة أو صلحاً الضرب الأول ما فتح عنوة فإن لم يكن فيها كنيسة أو كانت وانهدمت أو هدمها المسلمون وقت الفتح أو بعده فلا يجوز لهم بناؤها وهل يجوز تقريرهم على الكنيسة القائمة وجهان أصحهما لا وبه قطع جماعة الثاني ما فتح صلحاً وهو نوعان أحدهما فتح على أن رقبة الأرض للمسلمين وهم يسكنونها بخراج فإن شرطوا إبقاء البيع والكنائس جاز وكأنهم صالحوا على أن الكنائس لهم وما سواها لنا وإن صالحوا على أحدثها أيضاً جاز ذكره الروياني وغيره وإن أطلقوا لم تبق الكنائس على الأصح الثاني ما فتح على أن البلد لهم يؤدون خراجه فيقرون على الكنائس ولا يمنعون من إحداثها فيه على الأصح لأن الملك والدار لهم ويمكنون فيها من إظهار الخمر والخنزير والصليب وإظهار ما لهم من الأعياد وضرب الناقوس والجهر بالتوراة والإنجيل ولا شك في أنهم لا يمنعون من إيواء الجاسوس وتبليغ الأخبار وما يتضرر به المسلمون في ديارهم وحيث قلنا لا يجوز الإحداث وجوزنا إبقاء الكنيسة فلا منع من عمارتها إذا استرمت وهل يجب إخفاء العمارة وجهان أحدهما نعم لأن إظهارها زينة تشبه الاستحداث وأصحهما لا فيجوز تطيينها من داخل وخارج ويجوز إعادة الجدار الساقط وعلى الأول يمنعون من تطيين خارجها وإذا أشرف الجدار على الخراب فلا وجه إلا أن يبنوا جداراً داخل الكنيسة وقد تمس الحاجة إلى جدار ثالث ورابع فينتهي الأمر إلى أنه لا يبقى من الكنيسة شيء ويمكن أن يكتفي من يوجب الإخفاء بإسبال ستر تقع العمارة وراءه أو بإيقاعها في الليل وإذا انهدمت الكنيسة المبقاة فلهم إعادتها على الأصح ومنعها الاصطخري وابن أبي هريرة فإن جوزنا فليس لهم توسيع خطتها على الصحيح ويمنعون من ضرب الناقوس في الكنيسة كما يمنعون من إظهار الخمر وقيل لا يمنعون تبعاً للكنيسة وهذا الخلاف في كنيسة بلد صالحناهم على أن أرضه لنا فإن صالحناهم على أن الأرض لهم فلا منع قطعاً كما سبق قال الإمام وأما ناقوس المجوس فلست أرى فيه ما يوجب المنع وإنما هو محوط وبيوت يجمع فيها المجوس جيفهم وليس كالبيع والكنائس فإنها تتعلق بالشعار.
[الأمر الثاني] في البناء فيمنعون من إطالته ورفعه على بناء جيرانهم من المسلمين فإن فعلوا هدم هذا هو المذهب وحكى ابن كج قولاً آخر أن لهم الرفع فعلى المذهب الاعتبار ببناء جاره على الصحيح وفي وجه لا يطيل على بناء أحد من المسلمين في ذلك المصر وسواء كان بناء الجار معتدلا أو في غاية القصر وللإمام احتمال فيما هو في غاية القصر ثم المنع لحق الدين لا لمحض حق الجار فيمنع ولو رضي الجار وهذا المنع واجب وقيل مستحب ويمنعون من المساواة على الأصح ولو كان أهل الذمة في موضع منفرد كطرف من البلد منقطع عن العمارة فلا منع من رفع البناء على الصحيح ولو ملك ذمي داراً رفيعة البناء لم يكلف هدمها فإن انهدمت فأعادها منع من الرفع وفي المساواة الوجهان ولو فتحت بلدة صلحاً على أنها للمسلمين لم تهدم أبنيتهم الرفيعة فيها ويمنعون من الإحادث، ذكره البغوي.

( روضة الطالبين وعمدة المفتين – النووي، ج 4، مبحث ما يتعلق بأحكام عقد الذمة )


Hukum Penolakan Pembagunan Gereja
Oleh Sebagian Umat Islam

SETELAH persoalan pertama telah selesai dibahas. Kemudian moderator dan fasilitator memandu kembali dan mengajak musyawirin memfokuskan pembahasan berikutnya, yaitu menjawab pertanyaan “Bagaimana hukum penolakan pembangunan gereja oleh sebagian umat Islam?”

Dalam membahas pertanyaan kedua ini, para audiens memfokuskan pada satu kata yaitu “penolakan” dengan segala mekanisme, cara, dan latar belakangnya. Sebagian audiens (musyawirin) berpendapat bahwa bagi sebagian umat Islam diperbolehkan mengajukan penolakan dengan catatan harus disampaikan secara damai, tidak anarkis, tidak ada pengrusakan, dan beralasan. Salah satu alasan penolakan adalah dugaan adanya takdzib (kebohongan) seperti unsur manipulasi data dalam memenuhi persyaratan pembangunan gereja yang telah diajukan ke pihak pemerintah. Selain itu, pengajuan penolakan tersebut harus sesuai dengan pelaturan perundang-undangan yang diatur Negara, tidak bisa semaunya sendiri—apalagi main hakim sendiri sangat tidak diperbolehkan.

Fenomena penolakan pembangunan gereja yang seringkali terjadi adalah diwarnai dengan aksi anarkisme dan perusakan terhadap fisik bangunan atau bahkan mendzalimi para pemuka agama atau sebagian umat non-Islam. Cara-cara seperti inilah yang tidak diperkenankan dalam pandangan hukum positif Negara, lebih-lebih di mata syariat Islam.

Namun demikian, jika pembangunan gereja sudah memenuhi peraturan dan syarat-syarat yang ditentukan tanpa ada manipulasi data, maka penolakan tidak dapat dibenarkan. Bahkan penolakan dan pengrusakan gereja termasuk tindakan melecehkan dan mencerca non-Muslim yang tidak diperbolehkan menurut Islam. Sebab mencerca umat non-Muslim yang dilakukan umat Muslim, baik mencerca kredo, doktrin, keyakinan dan Tuhan mereka akan timbul reaksi balik (radl al-fi’li) dari pihak umat non-Muslim. Perasaan tersinggung dan marah adalah manusiawi, siapa dan beragama apa pun, akan merasakan hal yang sama pada saat dihina dan dicerca. Terlebih yang dihina adalah sesuatu yang paling prinsipil dan fundamental, seperti keyakinan dan agama.

Manusia memiliki hak untuk hidup terhormat dan dihormati hak-haknya. Sebagaimana Allah berfirman “wa laqad karramna bani adam” (dan sungguh telah kami muliyakan anak-anak cucu Adam). Pemuliaan Allah terhadap manusia tidak memandang jenis kelamin, warna kulit, suku, keyakinan, dan agama. Dalam ayat tersebut digunakan terma universal, yaitu “bani Adam” (anak cucu Adam), yang bermakna manusia sejagad tanpa kecuali yang harus dimuliakan dan dihormati. Karena begitu mulianya eksistensi manusia, sehingga menghinakan, melecehkan, mencerca, dan mendzalimi adalah perbuatan yang dilarang dalam agama Islam. Ada sesuatu yang sangat sensitif bagi siapa pun yang jika disinggung dan dilecehkan secara otomatis dan spontan akan melakukan perlawanan dan defensip. Dan sesuatu itu adalah keyakinan dan agama.

Untuk menguatkan pernyataan di atas, Ustadz Ali Mursyid dan Mukti Ali el-Qum mengutip pendapat Imam Aby ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsir yang monumental, al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an, atau disebut juga dengan Tafsir al-Qurthuby yang menulis:

“Allah berfirman “Dan janganlah kalian mencerca dan menghinakan umat manusia yang menyembah selain Allah, maka niscaya mereka akan mencerca Allah dengan sikap permusuhan yang teramat sangat, dengan tanpa ilmu” (ayat: 108). Ayat ini adalah salah satu ayat yang menganjurkan tenggang rasa dan toleransi di antara umat beragama. Perbedaan adalah kenyataan sejarah. Dan perbedaan tidak untuk dijadikan minyak tanah yang dapat menyulut kobaran api amarah dan destruktif bagi peradaban.

Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsir yang monumental, al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an, dan dikenal dengan Tafsir al-Qurthuby, menafsiri dan menjelaskan ayat tersebut yang dapat kita ringkas sebab-sebab atau alasan-alasan kenapa Allah melarang dan mengharamkan umat Muslim melecehkan dan menghinakan umat non-Muslim. Di antara penyebabnya yaitu pertama, Allah melarang umat Muslim mencerca dan melecehkan berhala, tempat beribadah (autsan) dan agama non-Muslim, sebab melecehkan justru akan semakin menguat dan menambah kekafiran mereka. Dengan kata lain, penentangan dan pengingkaran mereka terhadap Islam akan semakin menjadi-jadi atau ekstrim.

Kafir Quraisy memberi masukan pada Abi Thalib agar beliau memberi nasihat pada Muhammad bahwa “hendaknya Anda mencegah Muhammad dan para sahabat-sahabatnya dari mencerca dan melecehkan Tuhan kami. Jika tidak, maka kami pun akan melecehkan Tuhan Muhammad dan menghujatnya.” Inilah kronologi turunnya ayat (asbabunnuzul) tersebut.

Dengan demikian muncul sebab kedua, yaitu akan menimbulkan reaksi balik (raddl al-fi’li) jauh lebih parah yang akan dilakukan non-Muslim sebagai respon dari sikap melecehkan yang dilakukan umat Muslim kepada mereka.

Adapun sebab ketiga adalah mencegah atau menutup kran potensi madlarat yang jauh lebih parah (sadd ad-dzarai’). Artinya jika sikap melecehkan kepada umat non-Muslim tidak dilarang maka sudah pasti akan membuka potensi-potensi negatif dan madharat yang begitu banyak dan merusak, seperti saling menghina, konflik, disintegrasi bangsa, disharmonis, dan titik kulminasinya adalah perang antaragama.” (Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsir yang monumental, al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an, diedit dan dikaji oleh Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi dan Dr. Mahmud Hamid ‘Utsmani, Cairo: Dar el-Hadits, jilid. 7, hal. 56-57).

Lebih lanjut Imam al-Qurthubi dengan mengutip pendapat Ibnu Khuwaizmandad menyatakan:

“Ayat tersebut mengandung pelarangan atas penghancuran dan pengrusakan gereja, wihara, pura, dan sinagog non-Muslim yang termasuk pada kategori ahli dzimmah. Di sisi lain, tidak boleh mengembang-biakkan gereja yang telah ada menjadi semakin banyak dan tidak pula membangun dengan konstruksi bangunan yang megah dan tinggi”. (Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi dalam kitab tafsir yang monumental, al-Jami’ li-Ahkami al-Qur’an, diedit dan dikaji oleh Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi dan Dr. Mahmud Hamid ‘Utsmani, Cairo: Dar el-Hadits, jilid. 7, hal. 385).

Argumentasi pelarangan terhadap pengrusakan gereja tersebut diperkuat oleh pendapat Imam Fakhruddin bin Muhammad bin ‘Umar al-Husein bin al-Hasan ibnu ‘Ali at-Tamimi al-Bakri ar-Razi as-Syafi’i, yang dikenal dengan nama Fakhruddin ar-Razi, dalam kitabnya, Tafsir al-Kabir (Grand Tafsir) yang diberi judul Mafatih al-Ghaib, dengan menulis:

“...para sahabat ketika mencerca berhala-berhala, maka pada saat yang sama mereka sedang mencerca Nabi Muhammad dan Allah. Lantaran segala perbuatan akan selalu beriringan dengan efek-efek dan konsekuensi-konsekuensinya. Jika ada seseorang dari kalangan umat Islam yang berpandangan bahwa bukankah mencerca dan menghina berhala-berhala adalah sebuah perbuatan ketaatan kepada Allah dan bagaimana bisa Allah melarangnya dan bagi-Nya melarang lebih baik? Ia, Imam Fakhruddin ar-Razi, menjawab, meski perbuatan mencerca berhala adalah perbuatan taat, kecuali perbuatan tersebut lazim akan memunculkan kemungkaran dan madharat yang lebih besar wajib dihindari. Karena sikap mencerca sudah pasti akan menimbulkan cercaan yang sama yang dilakukan umat non-Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya, karena di dalam hati umat non-Muslim sudah tertanam kebencian dan amarah. Dan ini adalah perbuatan yang tidak layak dilakukan oleh orang-orang yang berakal (al-‘uqala’).

Cercaan bukanlah sikap yang konstruktif. Kebaikan dan kebenaran yang dipromosikan dan dianjurkan dengan sikap dan langkah-langkah penghinaan atau cercaan, tentu dijamin tidak ada yang tertarik. Justru mereka akan menjauhkan diri dari kebenaran yang telah dipromosikan itu. Hal inilah yang menjadi catatan dalam kaidah fiqh, yang menyatakan bahwa tujuan hukum itu harus selaras dengan cara-cara dan wasilah pencapaiannya (hukum al-washail kahukmi al-maqashid). Untuk itu, cara, strategi, dan prosedur tidak kalah pentingnya daripada tujuan. Ketiganya sangat menentukan tercapai atau tidaknya sebuah tujuan.

Pentingnya cara, strategi, dan prosedur, ayat di atas juga menyiratkan makna bahwa memerintahkan perkara yang ma’ruf terkadang menjadi buruk ketika dengan menggunakan cara-cara buruk dan menghantarkan pada kemungkaran yang berlapis-lapis (murakkab). Dan melarang perkara yang mungkar terkadang jika menggunakan cara-cara mungkar juga akan menambah kemungkaran. Ayat ini menganjurkan pada orang yang mengajak ke jalan agama dan benar jangan sampai mencari dan melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat. Sebab berhala dan tuhan-tuhan palsu tidak berfaidah dan tidak membahayakan sehingga tidak butuh untuk dicerca.” (Imam Fakhruddin bin Muhammad bin ‘Umar al-Husein bin al-Hasan ibnu ‘Ali at-Tamimi al-Bakri ar-Razi as-Syafi’i, Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, Cairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, diedit oleh ‘Ammar Zaky al-Barudy dan dikasih pengantar oleh Hany al-Haj, jilid. 13, hal. 115-117)

Dengan demikian, jika penolakan terhadap pembangunan gereja akan memunculkan madlarat lebih besar niscaya tidak bisa dibenarkan dalam pandangan agama.



Batasan Toleransi Antar Umat Agama

SELANJUTNYA, persoalan yang berkaitan dengan batasan toleransi antar umat agama dalam pandangan Kitab Kuning diketengahkan dan dijawab secara beruntun dan sistematis oleh para peserta. Hal ini bertolak dari pertanyaan, “Adakah batasan toleransi antar umat beragama dalam pandangan Kitab Kuning yang mu’tabarah?”

Setidaknya ada dua aspek penekanan dalam penjelasan dan pencarian jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, aspek toleransi dalam ranah pergaulan sosial antar umat beragama, dan kedua, toleransi dalam aspek keyakinan, akidah, dan kepercayaan.

Pertama, aspek pergaulan sosial antar umat beragama. Ustadz Muhammad Afifi dan Ustadz Ayatullah, delegasi dari Ciputat, mengungkapkan bahwa umat Islam diharuskan untuk berinteraksi dan bergaul secara baik (mu’asyarah al-jamilah) dengan non-Muslim. Sebagaimana diungkapkan as-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab monumentalnya, Murah Labidz atau dikenal dengan sebuat Tafsir an-Nawawi, yang menulis:

“Ketahuilah bahwa orang Muslim mencintai non-Muslim (kafir) melihat tiga situasi dan sikap. Pertama, tidak boleh jika rida akan ke-kafir-an dan bahkan mencintai orang kafir lantaran kekafirannya. Hal ini dilarang. Sebab rida akan kekafiran adalah kafir. Kedua, pergaulan dan interaksi sosial dengan baik dan elegan (al-mu’asyarah al-jamilah) di dunia. Dan hal ini boleh atau tidak dilarang. Dan ketiga, menolong orang kafir, entah dengan sebab ada tali persaudaraan (kerabat) atau dengan sebab simpati (cinta), dan serta tetap meyakini bahwa agamanya adalah tidak benar..” (as-Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Murah Labidz yang dikenal dengan nama Tafsir an-Nawawi, jilid. I, hal. 94)

Masih terkait dengan interaksi sosial, Imam ar-Ramli dalam kitab Fatawa ar-Ramli juga memperbolehkan Muslim berjabat tangan dengan non-Muslim. Hal ini dilakukan sebagai simbol persahabatan, keakraban dan kesopanan. Imam ar-Ramli menulis:

“(Pertanyaan): Berkaiatn dengan berjabat tangan dengan orang kafir. Apakah diperbolehkan atau tidak dan apakah disunnahkan berjabat tangan orang Muslim dengan orang kafir? (Jawab). Berjabat tangan dengan orang kafir diperbolehkan, dan tidak disunnahkan..” (Imam ar-Ramli, Fatawa ar-Ramly, jilid. 4, hal. 52).

Meski Imam ar-Ramli tidak mengkategorikan berjabat tangan dengan orang kafir sebagai pekerjaan yang sunnah. Melainkan termasuk sebagai pekerjaan yang diperbolehkan (jaizah). Inilah kiranya relasi uhkuwah insaniyah yang menanggalkan dan tidak menghiraukan perbedaan identitas agama.

Pergaulan dan relasi sosial cukup luas cakupannya, diantaranya yaitu relasi atau hubungan bisnis antara muslim dan non-Muslim. Mengadakan kerjasama bisnis dalam berbagai macam bentuknya, seperti jual-beli, sewa, pesan, jasa, dan lain-lain adalah hubungan sosial kemanusiaan yang diperbolehkan, tidak menjadi soal dan sebuah keniscayaan, karena manusia adalah makhluk sosial.

Pendapat di atas dikemukakan dengan baik oleh Ustadz Khudori, dengan mengutip pendapat Imam Ibnu Hajar al-‘Asyqalani, dalam kitab Fath al-Bari, yang menjelaskan:


قوله : ( باب الشراء والبيع مع المشركين وأهل الحرب )
قال ابن بطال : معاملة الكفار جائزة ، إلا بيع ما يستعين به أهل الحرب على المسلمين . واختلف العلماء في مبايعة من غالب ماله الحرام ، وحجة من رخص فيه قوله صلى الله عليه وسلم للمشرك " أبيعا أم هبة " ؟ وفيه جواز بيع الكافر وإثبات ملكه على ما في يده ، وجواز قبول الهدية منه ، وسيأتي حكم هدية المشركين في كتاب الهبة . قلت : وأورد المصنف فيه حديث الباب بإسناده هذا أتم سياقا منه ، ويأتي الكلام عليه هناك إن شاء الله تعالى . وقوله فيه " مشعان " بضم الميم وسكون المعجمة بعدها مهملة وآخره نون ثقيلة أي طويل شعث الشعر ، وسيأتي تفسيره للمصنف في الهبة . وقوله " أبيعا أم عطية " ؟ منصوب بفعل مضمر أي أتجعله ونحو ذلك ، ويجوز الرفع أي أهذا ، وقد تقدم قريبا في " باب بيع السلاح في الفتنة " ما يتعلق بمبايعة أهل الشرك .
قوله : ( باب شراء المملوك من الحربي وهبته وعتقه )
قال ابن بطال : غرض البخاري بهذه الترجمة إثبات ملك الحربي وجواز تصرفه في ملكه بالبيع والهبة والعتق وغيرها ، إذ أقر النبي صلى الله عليه وسلم سلمان عند مالكه من الكفار وأمره أن يكاتب ، وقبل الخليل هبة الجبار وغير ذلك مما تضمنه حديث الباب .
قوله : ( وقال النبي صلى الله عليه وسلم لسلمان )
أي الفارسي
( كاتب . وكان حرا فظلموه وباعوه )
هذا طرف من حديث وصله أحمد والطبراني من طريق ابن إسحاق عن عاصم بن عمر عن محمود بن لبيد عن سلمان قال " كنت رجلا فارسيا " فذكر الحديث بطوله وفيه " ثم مر بي نفر من كلب تجار فحملوني معهم ، حتى إذا قدموا بي وادي القرى ظلموني فباعوني من رجل يهودي " الحديث وفيه " فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كاتب يا سلمان ، قال فكاتبت صاحبي على ثلثمائة ودية " وأخرجه ابن حبان والحاكم في صحيحيهما من وجه آخر عن زيد بن صوحان عن سلمان نحوه ، وأخرجه أبو أحمد وأبو يعلى والحاكم من حديث بريدة بمعناه .
( تنبيه ) :
قوله " كان حرا فظلموه وباعوه " من كلام البخاري لخصه من قصته في الحديث الذي علقه ، وظن الكرماني أنه من كلام النبي صلى الله عليه وسلم بعد قوله لسلمان " كاتب يا سلمان " فقال : قوله وكان حرا حال من قال النبي لا من قوله كاتب ، ثم قال : كيف أمره بالكتابة وهو حر ؟ وأجيب بأنه أراد بالكتابة صورتها لا حقيقتها وكأنه أراد افد نفسك وتخلص من الظلم ، كذا قال ، وعلى تسليم أن قوله وكان حرا من كلام النبي صلى الله عليه وسلم لا يتعين منه حمل الكتابة على المجاز لاحتمال أن يكون أراد بقوله " وكان حرا " أي قبل أن يخرج من بلده فيقع في أسر الذين ظلموه وباعوه ويستفاد من هذا كله تقرير أحكام المشركين على ما كانوا عليه قبل الإسلام ، وقد قال الطبري : إنما أقر اليهودي على تصرفه في سلمان بالبيع ونحوه لأنه لما ملكه لم يكن سلمان على هذه الشريعة وإنما كان قد تنصر ، وحكم هذه الشريعة أن من غلب من الكفار على نفس غيره أو ماله ولم يكن المغلوب فيمن دخل في الإسلام أنه يدخل في ملك الغالب .
قوله : ( وسبي عمار وصهيب وبلال )
أما قصة سبي عمار فما ظهر لي المراد منها ، لأن عمارا كان عربيا عنسيا بالنون والمهملة ما وقع عليه سبي ، وإنما سكن أبوه ياسر مكة وحالف بني مخزوم فزوجوه سمية وهي من مواليهم فولدت له عمارا ، فيحتمل أن يكون المشركون عاملوا عمارا معاملة السبي لكون أمه من مواليهم داخلا في رقهم . وأما صهيب فذكر ابن سعد أن أباه من النمر بن قاسط وكان عاملا لكسرى فسبت الروم صهيبا لما غزت أهل فارس فابتاعه منهم عبد الله بن جدعان ، وقيل بل هرب من الروم إلى مكة فحالف ابن جدعان ، وستأتي الإشارة إلى قصته في الكلام على الحديث الثالث . وأما بلال فقال مسدد في مسنده " حدثنا معتمر عن أبيه عن نعيم بن أبي هند قال : كان بلال لأيتام أبي جهل ، فعذبه ، فبعث أبو بكر رجلا فقال : اشتر لي بلالا فأعتقه " . وروى عبد الرزاق من طريق سعيد بن المسيب قال " قال أبو بكر للعباس : اشتر لي بلالا فاشتراه فأعتقه أبو بكر " وفي المغازي لابن إسحاق ، حدثني هشام بن عروة عن أبيه قال " مر أبو بكر بأمية بن خلف وهو يعذب بلالا فقال : ألا تتقي الله في هذا المسكين ؟ قال : أنقذه أنت مما ترى ، فأعطاه أبو بكر غلاما أجلد منه وأخذ بلالا فأعتقه " ويجمع بين القصتين بأن كلا من أمية وأبي جهل كان يعذب بلالا ولهما شوب فيه .
قوله : ( وقال الله تعالى ( والله فضل بعضكم على بعض في الرزق ) الآية )
موضع الترجمة منه قوله تعالى ( على ما ملكت أيمانهم ) فأثبت لهم ملك اليمين مع كون ملكهم غالبا كان على غير الأوضاع الشرعية ، وقال ابن المنير : مقصوده صحة ملك الحربي وملك المسلم عنه ، والمخاطب في الآية المشركون ، والتوبيخ الذي وقع لهم بالنسبة إلى ما عاملوا به أصنامهم من التعظيم ولم يعاملوا ربهم بذلك، وليس هذا من غرض هذا الباب . {فتح البارئ لابن حجر،ج4،ص}
2325 - قوله : ( حدثنا مسلم بن إبراهيم )
تقدم في أوائل البيوع مقرونا بإسناد آخر ، وساقه هناك على لفظه وهنا على لفظ مسلم بن إبراهيم .
قوله : ( ولقد رهن درعه )
هو معطوف على شيء محذوف ، بينه أحمد من طريق أبان العطار عن قتادة عن أنس " أن يهوديا دعا رسول الله صلى الله عليه وسلم فأجابه " والدرع بكسر المهملة يذكر ويؤنث .
قوله : ( بشعير )
وقع في أوائل البيوع من هذا الوجه بلفظ " ولقد رهن النبي صلى الله عليه وسلم درعا له بالمدينة عند يهودي وأخذ منه شعيرا لأهله " وهذا اليهودي هو أبو الشحم ، بينه الشافعي ثم البيهقي من طريق جعفر بن محمد عن أبيه " أن النبي صلى الله عليه وسلم رهن درعا له عند أبي الشحم اليهودي رجل من بني ظفر في شعير " انتهى ، وأبو الشحم بفتح المعجمة وسكون المهملة اسمه كنيته ، وظفر بفتح الظاء والفاء بطن من الأوس وكان حليفا لهم ، وضبطه بعض المتأخرين بهمزة موحدة ممدودة ومكسورة اسم الفاعل من الإباء ، وكأنه التبس عليه بأبي اللحم الصحابي ، وكان قدر الشعير المذكور ثلاثين صاعا كما سيأتي للمصنف من حديث عائشة في الجهاد وأواخر المغازي . وكذلك رواه أحمد وابن ماجه والطبراني وغيرهم من طريق عكرمة عن ابن عباس ، وأخرجه الترمذي والنسائي من هذا الوجه فقالا : " بعشرين " ولعله كان دون الثلاثين فجبر الكسر تارة وألغى أخرى ، ووقع لابن حبان من طريق شيبان عن قتادة عن أنس أن قيمة الطعام كانت دينارا وزاد أحمد من طريق شيبان الآتية في آخره " فما وجد ما يفتكها به حتى مات" .
قوله : ( ومشيت إلى النبي صلى الله عليه وسلم بخبز شعير وإهالة سنخة )
والإهالة بكسر الهمزة وتخفيف الهاء ما أذيب من الشحم والإلية ، وقيل هو كل دسم جامد ، وقيل ما يؤتدم به من الأدهان ، وقوله : " سنخة " بفتح المهملة وكسر النون بعدها معجمة مفتوحة أي المتغيرة الريح ، ويقال فيها بالزاي أيضا . ووقع لأحمد من طريق شيبان عن قتادة عن أنس " لقد دعي نبي الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم على خبز شعير وإهالة سنخة " فكأن اليهودي دعا النبي صلى الله عليه وسلم على لسان أنس فلهذا قال : " مشيت إليه " بخلاف ما يقتضيه ظاهره أنه حضر ذلك إليه .
قوله : ( ولقد سمعته )
فاعل " سمعت " أنس والضمير للنبي صلى الله عليه وسلم وهو فاعل يقول ، وجزم الكرماني بأنه أنس وفاعل سمعت قتادة ، وقد أشرت إلى الرد عليه في أوائل البيوع . وقد أخرجه أحمد وابن ماجه من طريق شيبان المذكورة بلفظ " ولقد سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : والذي نفس محمد بيده " فذكر الحديث لفظ ابن ماجه وساقه أحمد بتمامه .
قوله : ( ما أصبح لآل محمد إلا صاع ولا أمسى )
كذا للجميع ، وكذا ذكره الحميدي في " الجمع " ، وأخرجه أبو نعيم في " المستخرج " من طريق الكجي عن مسلم بن إبراهيم شيخ البخاري فيه بلفظ " ما أصبح لآل محمد ولا أمسى إلا صاع " وخولف مسلم بن إبراهيم في ذلك فأخرجه أحمد عن أبي عامر والإسماعيلي من طريقه والترمذي من طريق ابن أبي عدي ومعاذ بن هشام والنسائي من طريق هشام بلفظ " ما أمسى في آل محمد صاع من تمر ولا صاع من حب " وتقدم من وجه آخر في أوائل البيوع بلفظ " بر " بدل تمر .
قوله : ( وإنهم لتسعة أبيات )
في رواية المذكورين " وإن عنده يومئذ لتسع نسوة " وسيأتي سياق أسمائهن في كتاب المناقب إن شاء الله تعالى . ومناسبة ذكر أنس لهذا القدر مع ما قبله الإشارة إلى سبب قوله صلى الله عليه وسلم هذا وأنه لم يقله متضجرا ولا شاكيا - معاذ الله من ذلك - وإنما قاله معتذرا عن إجابته دعوة اليهودي ولرهنه عنده درعه ، ولعل هذا هو الحامل الذي زعم بأن قائل ذلك هو أنس فرارا من أن يظن أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ذلك بمعنى التضجر والله أعلم . وفي الحديث جواز معاملة الكفار فيما لم يتحقق تحريم عين المتعامل فيه وعدم الاعتبار بفساد معتقدهم ومعاملاتهم فيما بينهم ، واستنبط منه جواز معاملة من أكثر ماله حرام . وفيه جواز بيع السلاح ورهنه وإجارته وغير ذلك من الكافر ما لم يكن حربيا ، وفيه ثبوت أملاك أهل الذمة في أيديهم وجواز الشراء بالثمن المؤجل واتخاذ الدروع والعدد وغيرها من آلات الحرب وأنه غير قادح في التوكل ، وأن قنية آلة الحرب لا تدل على تحبيسها قاله ابن المنير ، وأن أكثر قوت ذلك العصر الشعير قاله الداودي ، وأن القول قول المرتهن في قيمة المرهون مع يمينه حكاه ابن التين . وفيه ما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم من التواضع والزهد في الدنيا والتقلل منها مع قدرته عليها ، والكرم الذي أفضى به إلى عدم الادخار حتى احتاج إلى رهن درعه ، والصبر على ضيق العيش والقناعة باليسير ، وفضيلة لأزواجه لصبرهن معه على ذلك ، وفيه غير ذلك مما مضى ويأتي . قال العلماء : الحكمة في عدوله صلى الله عليه وسلم عن معاملة مياسير الصحابة إلى معاملة اليهود إما لبيان الجواز ، أو لأنهم لم يكن عندهم إذ ذاك طعام فاضل عن حاجة غيرهم أو خشي أنهم لا يأخذون منه ثمنا أو عوضا فلم يرد التضييق عليهم ، فإنه لا يبعد أن يكون فيهم إذ ذاك من يقدر على ذلك وأكثر منه فلعله لم يطلعهم على ذلك وإنما أطلع عليه من لم يكن موسرا به ممن نقل ذلك . والله أعلم . {فتح البارئ لابن حجر}


Penjelasan panjang lebar di atas dapat disimpulkan bahwa menurut pendapat Ibnu Batthal yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-‘Asyqalani tersebut, bahwa diperolehkan mengadakan hubungan bisnis (jual-beli) dengan orang kafir. Tindakan yang tidak diperkenankan adalah menjual sesuatu kepada kafir yang memerangi umat Muslim. Demikian juga tidak diharamkan (halal) bagi umat Muslim menerima hadiah dari orang kafir atau sebaliknya umat Muslim memberi hadiah pada non-Muslim. Sebab Nabi sendiri telah memberi contoh sebagai suri tauladan seringkali mengadakan transaksi jula-beli, sewa, dan bagi hasil (investasi) dengan orang Yahudi. (Ibnu Hajar al-‘Asyqalani, Fath al-Bari, jilid. 4). Bahkan, Nabi pun bukan hanya menjual barang pada non-Muslim, Yahudi, tapi juga membeli produk mereka untuk dipakai atau dikonsumsi. Hadits Nabi tertulis:


280 - الحديث الأول : عن عائشة رضي الله عنها { أن رسول الله صلى الله عليه وسلم اشترى من يهودي طعاما ، ورهنه درعا من حديد .} .
الشرح
اللفظة مأخوذة من الحبس والإقامة ، رهن بالمكان : إذا أقام به .
والحديث دليل على جواز الرهن ، مع ما نطق به الكتاب العزيز ودليل على جواز معاملة الكفار ، وعدم اعتبار الفساد في معاملاتهم .
ووقع في غير هذه الرواية ما استدل به في جواز الرهن في الحضر .
وفيه دليل على جواز الشراء بالثمن المؤخر قبل قبضه ؛ لأن الرهن إنما يحتاج إليه حيث لا يتأتى الإقباض في الحال غالبا ، وقد يستدل به على جواز الشراء لمن يقدر على الثمن في وقته لما ذكرناه .{ إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام}

Hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, istri tercinta Nabi, menceritakan bahwa Rasulullah membeli makanan kepada salah seorang penganut Yahudi dan beliau juga mengadakan transaksi rahn (gadai). Hadits ini jelas merupakan dalil yang menunjukkan bahwa membeli, transaksi gadai (rahn) dan yang lainnya diperbolehkan. Nabi dalam hal ini mencontohkan bahwa Islam adalah agama yang terbuka, inklusif, dan bukan agama yang eksklusif dan alergi bergaul atau bekerjasama dengan non-Muslim.

Berkaitan dengan mu’amalah, seperti kerjasama bisnis, dan relasi sosial lainnya yang dipertimbangkan bukan status agama atau ras, melainkan prinsip-prinsip universal kemanusiaan. Seperti persoalan bisnis, yang diperhatikan adalah memberikan keuntungan diantara kedua belah pihak, tidak ada yang dirugikan dan tidak ada yang tertipu.

Dalam konteks relasi Muslim dan non-Muslim, hal yang paling fundamental adalah nilai-nilai kemanusiaan tetap dijaga. Sebab, seluruh umat manusia tidak boleh melakukan penganiayaan dan berbuat kedzaliman terhadap siapapun, tanpa melihat status agamanya.

Untuk memperkuat prinsip universalitas di atas, moderator, Mukti Ali el-Qum, mengutip dan membacakan sebuah penjelasan yang ada dalam As-Syaikh Ahmad bin as-Syaikh Ahmad al-Hijazy dalam kitab al-Majalis as-Saniyyah, yang menulis:

“Pada salah satu hadits dikatakan: Sesama orang Muslim adalah bersaudara. Artinya harus baik dalam pergaulan dan interaksi sosialnya atau baik dalam aspek-aspek yang lainnya juga. Dan tidak boleh mendzalimi...[..].. Karena berbuat dzalim kepada orang non-Muslim (kafir) adalah haram, lebih-lebih berbuat dzalim kepada orang Muslim. Berbuat dzalim itu artinya sikap yang merugikan dan membahayakan pada jiwa, harta, dan kekayaan seseorang. Dan seluruhnya ini dilarang berlandaskan pada hadits lain yang juga melarang berbuat dzalim.” (Syaikh Ahmad bin as-Syaikh Ahmad al-Hijazy, al-Majalis as-Saniyyah, hal. 105).

Senada dengan penjelasan di atas, Ustadz Sa’dullah Affandi (dipanggil Kang Sa’dun) mengungkapkan bahwa kafir dzimmi harus mendapatkan perlindungan. Ia bahkan mengatakan bahwa salah satu perbuatan jihad adalah melindungi dan mengayomi rakyat dari usikan dan serangan musuh dari luar. Pengertian rakyat di sini adalah kaum Muslim dan kafir dzimmi. Jika ada kafir dzimi yang miskin dan tidak memiliki baju dan tidak mampu membayar resep obat dari dokter, maka haruslah dibantu. (Lihat, Kitab I’anah at-Thalibin, bab Jihad, jilid. 4).

Oleh karena itu, Allah melarang berbuat dzalim kepada umat manusia tanpa kecuali, baik kepada Muslim atau non-Muslim. Jika mereka non-Muslim didzalimi niscaya doa-doanya dikabulkan oleh Allah. Sebagaimana hadits Nabi, “du’aul madzlum mustajabah” (doa orang yang dianiaya atau didzalimi benar-benar akan dikabulkan). Hadits ini bersifat universal, artinya baik yang dianiaya itu adalah Muslim ataupun non-Muslim. Hal ini juga selaras dengan hadits yang dikutip Imam Ramli dalam kitabnya, Fatawa ar-Ramli. Ia menulis:

“(Pertanyaan): Tentang doa orang kafir ketika didzalimi (madzlum), apakah doanya dikabulkan atau tidak? (Jawaban): Terkadang doanya dikabulkan. Sebagaimana dikabulkannya doa atau permohonan Iblis agar dirinya terus hidup sampai akhir zaman.” (Imam ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, jilid. II, hal. 31).

Meski pembahasan doa itu termasuk pada ranah teologis, secara prinsipil memiliki keeratan dengan persoalan sosial. Jika pun ada pertanyaan, kenapa bisa doanya orang non-Muslim dapat dikabulkan oleh Allah? Pertanyaan ini sesungguhnya dapat dijawab jika kita memahami bahwa betapa Allah adalah Tuhan yang memiliki sifat ar-rahman. Istilah ar-rahman telah akrab dan biasa diterjemahkan oleh para kyai-kyai di Pondok Pesantren dengan “kang welas asih ingdalem dunia maring wong mukmin lan wong kafir” (Yang Mahawelas asih di dunia kepada orang Islam dan orang kafir). Dengan lain ungkapan, selama hamba-Nya meminta dan berusaha Allah SWT pasti akan mengabulkannya di dunia tanpa melihat agama seseorang.
Ustadz Abdul Basith al Ashab, Pengasuh Pondok Pesantren Miftahul ‘Ulum, mengutip penjelasan yang ditulis Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahally dalam kitab al-Mahally, menyatakan,

“orang-orang Muslim boleh menjawab doanya orang-orang non-Muslim (kafir), dan boleh mendoakannya, walaupun doa memohon ampunan (maghfirah) dan kasihsayang (rahmat). Berbeda dengan mendoakan orang kafir dalam memintakan ampunan atas kekafirannya, sedangkan orang yang didoakan sudah mati dalam keadaan kafir, maka tidak diperbolehkan”. (Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahally, al-Mahally, jilid. I, hal. 315).

Penjelasan yang dapat mendukung pandangan di atas ditulis oleh Jalaluddin al-Mahally dalam kitab al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj:

“Menurut pendapat yang diunggulkan bahwa doa orang kafi akan dijawab atau dikabulkan. Firman Allah SWT yang berbunyi tidak ada doa orang-orang kafir kecuali dalam kesesatan, yang dimaksud dengan doa tersebut adalah ibadah. Meski sejatinya kalau dilihat dalam penjelasan tersebut terdapat perbedaan pendapat, sebagian ulama berpendapat bahwa doa orang kafir tidak dikabulkan dan tidak boleh diamini; sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa doanya orang kafir dikabulkan. Nampaknya, penulis kitab al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj mengunggulkan pendapat yang mengatakan bahwa doanya orang kafir dikabulkan, meski Allah dalam rangka mengabulkan ada tujuan istidraj (meleh-melehake). Sebagaimana Allah mengabulkan doanya Iblis.”

Diakhir pembahasan, para musyawirin memfokuskan terhadap diskursus relasi umat Islam dan non-Islam dalam ranah teologis. Menurut mereka, umat Islam dan non-Islam menghargai dan memberikan kebebasan dalam ranah teologi dan berkeyakinan. Sebab, hidayah atau petunjuk ke jalan Islam merupakan hak perogratif Allah. Manusia atau bahkan Nabi sendiri tidak memiliki kemampuan dan daya untuk menentukan keyakinan seseorang.

Nabi SAW dalam hal ini memberikan contoh yang sangat baik, sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Dr. Zamakhsyari, bahwa Nabi telah bersama-sama dengan seluruh tokoh dan pemuka agama yang bermukim di Madinah menyusun Piagam Madinah. Piagam ini berisi sebuah komitmen kebersamaan dan saling menghargai hak dan kewajiban antar umat beragama, saling hormat menghormati dan tidak ada pemaksaan satu agama kepada orang yang sudah memeluk agama tertentu.

Senada dengan KH. Dr. Zamakhsyari, ustadz Faiq Ihsan Anshori menambahkan keterangan dengan mengutip kitab al-‘Alaqah ad-Dauliyyah fi al-Islam karya Syaikh Abu Zahrah, yang mendukung terhadap Piagam Madinah. Intinya kebebasan beragama dijamin dalam Islam. Sebab tidak ada pemaksaan dalam memeluk dan memilih Islam sebagai agama. Prinsip inilah yang menemukan relevansinya dengan firman Allah, “Tidak ada paksaan dalam beragama...,” [QS. al-Baqarah: 256]

Di perkuat sekaligus sebagai penutup acara, Mukti Ali el-Qum selaku moderator dan fasilitator mengatakan bahwa Islam sangat mementingkan sikap pasrah yang luruh dan keikhlasan yang murni yang terpancar dari hati seseorang dengan kesadaran penuh memilih bahwa Islam adalah agama yang benar dan tepat bagi dirinya, tanpa ada paksaan dari siapapun. Syarat sahnya orang masuk Islam adalah tidak ada paksaan dan tidak ada keterpaksaan. Karena itu tidak sah jika seseorang yang masuk Islam lantaran ada paksaan. Dan pihak yang memaksa adalah pihak yang masuk pada kelompok orang yang melakukan kejahatan dan dosa besar.[]

2 komentar:

  1. aku Mau nanya Bagaimana Hukum seorang MUSLIM ke, Gereja?????

    Muhon jawaban nya Yang jelas
    Terimakasih

    BalasHapus
  2. Yang jelas ke gereja itu mau apa dulu, kalau mau kerja jadi tukang sapu di gereja, karena belum ada kerjaan lain, yah nggak apa apa, jadi yang jelas dulu ke gerjeanya mau apa

    BalasHapus