Oleh: KH. Husein Muhammad
NABI Muhammad saw. hadir sendirian ketika seluruh masyarakatnya berpestapora dalam tradisi-tradisi Politeistik dan tiraniknya. Ia tampil seorang diri untuk mendeklarasikan prinsip-prinsip kemanusiaan paling tinggi dan paling asasi, melalui kata-katanya, “Lâ Ilâh-a Illa Allâh”, menjawab seruan Tuhan, “Katakan, O, Muhammad, Dia, Allah, adalah Esa.” Inilah kata-kata yang selalu dikumandangkan di hadapan masyarakatnya. Kalimat pendek dan amat sederhana ini ternyata sangat mengusik nurani, pikiran dan tradisi mereka. Karena kalimat itulah mereka menjadi sangat marah, terpukul dan menyimpan kebencian mendalam dan meledak-ledak. Para petinggi komunitas yang kapitalis itu “semaput”. Kepercayaan mereka terhadap Nabi sebagai “al-Amîn” (orang yang terpercaya) dan kebanggaan mereka selama berpuluh tahun terhadap anak muda yang gagah, tampan dan brilian itu segera ditarik dan dibatalkan. Persahabatan mereka dengan Nabi diputuskan dan diganti menjadi permusuhan. Sejuta cara kemudian dilakukan mereka untuk membungkam mulut Nabi. Tetapi alih-alih mau kompromi sejengkal, Nabi dengan tegar menolaknya. Keyakinan Monoteistik (Tauhid) itu tak pernah bisa digoyahkan oleh siapapun dan oleh apapun. Tak bisa ditawar dengan apapun. Nabi yang mulia menjalankan pesan Keesaan Tuhan itu dengan seluruh keyakinannya. Ini karena ia berarti bahwa manusia harus tunduk dan patuh pada Tuhan semata, tidak kepada yang lain. Ia berarti bahwa manusia harus dibebaskan dari belenggu-belenggu yang menindas dan praktik-praktik kebudayaan dan peradaban yang tiranik, yang ahumanistik. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan mempertahankan, menyebarkan dan memperjuangkan prinsip Tauhid tersebut meski harus dengan menyerahkan nyawanya.
Abu Thalib, pamannya yang tercinta dan yang amat mencintainya, diminta para pembesar Quraisy membujuknya dengan cara yang mungkin agar ia menghentikan seruan Tauhidnya itu. Kepada sang paman itu Nabi dengan tegas mengatakan, “O, paman, demi Tuhan, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku untuk memaksaku agar meninggalkan tugas suci ini, sungguh, tidak akan aku tinggalkan sampai Tuhan memberiku kemenangan atau aku mati karenanya.” Ini kalimat yang amat dikenang berjuta muslim.
Pribadi Nabi yang lembut itu ternyata juga pribadi yang kokoh dan teguh dalam pendiriannya yang satu itu, seteguh karang berabad dilaut. Tuhan menyuruh Nabi untuk mengatakan kepada mereka dan tanpa ragu dan gentar, “Lâ a’bud-u mâ ta’budûn wa lâ antum ‘âbidûn-a mâ a’bud, lakum dînukum waliya dîn” (Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kamu juga tidak harus menyembah apa yang aku sembah. Keyakinan kamu adalah keyakinan kamu, dan keyakinanku adalah keyakinanku).
Meski gagal membujuk sang keponakan terkasih, Abu Thalib tetap saja melindungi dan mencintainya dengan seluruh ketulusan. Bahkan cintanya semakin mendalam. Mata para pemimpin Quraisy yang musyrik-pagan, itu semakin gelap. Mereka tak lagi bisa berpikir normal. Mereka kehilangan akal sehat. Pikiran mereka terus berambisi memburu dan menghabisi Muhammad yang telah dianggap meruntuhkan previlase dan harga diri mereka. Mereka merencanakan cara lain yang diharap akan mampu melumpuhkan Nabi. Muhammad, dan pengikutnya, menurut mereka, harus dibunuh pelan-pelan dan rame-rame, melalui aksi pembiaran lapar. Masyarakat diserukan untuk tidak berhubungan dengan Nabi dan para pengikut setianya berikut melakukan transaksi ekonomi. Seluruh kebutuhan hidup mereka diboikot. Berhari dan berbulan, Nabi dan para sahabatnya tak lagi menjumpai makanan sebagaimana hari-harinya kemarin. Tetapi mereka tetap setia dalam keyakinan Tauhid itu. Daun-daun yang ada di sekitar mereka tak pelak menjadi makanan mereka sehari-hari, karena itulah yang tersedia. Kulit pisang yang sudah jatuh di tanah dan kotor, dicuci lalu dimakan.
Bilal, budak belian berkulit hitam dari Ethiopia, tak goyah, meski terik matahari sahara yang bisa membuat kulit tubuh terkelupas terus menebar di sekujur tubuhnya, bahkan meski bersama dengan itu batu besar panas menindihnya. Bilal tetap setia kepada kepercayaan Tauhid itu, meski penderitaan terus menderanya berhari-hari, sampai Abu Bakar membebaskannya. Dan Bilal diminta Nabi menjadi orang pertama yang berdiri gagah di atas bukit Kubais, menyerukan Ke-esaan Tuhan dan Kemahabesaran-Nya. Nabi memilihnya lantaran kualitas suaranya yang merdu mendayu-dayu.
Mengapa mereka begitu luar biasa kokoh dalam keyakinan itu. Kalimat Tauhid, “Tidak ada tuhan selain Allah,” dan kumandang takbir Bilal, “Allah Akbar,” memang begitu singkat dan sederhana. Tetapi mereka amat mengerti bahwa ia menyimpan makna yang amat dahsyat dan mengguncang tradisi dunia kuno, bagai magma gunung berapi yang meledak dan melelehkan panas. Kalimat itu sejatinya merupakan statemen amat tegas dan sangat gamblang tentang basis bagi prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Allah Akbar bermakna; Hapuskan diskriminasi manusia atas nama apapun. Bebaskan manusia dari system politik despotic dan Aristokratik. Hentikan perampokan dan perampasan harta rakyat. Sudahi pembunuhan bayi-bayi perempuan dan perendahan atas mereka. Ajari rakyat tentang arti menjadi manusia, ciptaan Tuhan yang paling terhormat dan bermartabat.
Kalimat Tauhid itu jelas sekali merupakan deklarasi tentang keharusan penghapusan perbudakaan manusia atas manusia, penghentian monopoli kekayaan ekonomi dan sumberdaya alam, pembebasan manusia dari kekuasaan politik yang menindas, penghapusan kekerasan terhadap perempuan sekaligus memajukanya hingga menjadi setara. Dalam waktu yang sama ia juga merupakan deklarasi Islam tentang keharusan manusia membangun system social dan ekonomi yang adil, ditegakkannya dan hukum yang benar, jujur dan berkeadilan, pembentukan system politik yang demokratis, pembangunan relasi persaudaraan atas dasar kemanusiaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pencerdasan masyarakat serta melakukan kontestasi (perlombaan) dalam kebajikan dan kesalehan baik individu maupun sosial.
Tak pelak, tak lama sesudah deklarasi kemanusiaan universal itu didengungkan, dunia lama yang kelam tiba-tiba berubah menjadi dunia baru yang bercahaya. Dan cahaya itu berpendar laksana matahari: menyinari semesta, menghidupkan, mencerdaskan dan mengairahkan.
(Cirebon, 30-09-10)
NABI Muhammad saw. hadir sendirian ketika seluruh masyarakatnya berpestapora dalam tradisi-tradisi Politeistik dan tiraniknya. Ia tampil seorang diri untuk mendeklarasikan prinsip-prinsip kemanusiaan paling tinggi dan paling asasi, melalui kata-katanya, “Lâ Ilâh-a Illa Allâh”, menjawab seruan Tuhan, “Katakan, O, Muhammad, Dia, Allah, adalah Esa.” Inilah kata-kata yang selalu dikumandangkan di hadapan masyarakatnya. Kalimat pendek dan amat sederhana ini ternyata sangat mengusik nurani, pikiran dan tradisi mereka. Karena kalimat itulah mereka menjadi sangat marah, terpukul dan menyimpan kebencian mendalam dan meledak-ledak. Para petinggi komunitas yang kapitalis itu “semaput”. Kepercayaan mereka terhadap Nabi sebagai “al-Amîn” (orang yang terpercaya) dan kebanggaan mereka selama berpuluh tahun terhadap anak muda yang gagah, tampan dan brilian itu segera ditarik dan dibatalkan. Persahabatan mereka dengan Nabi diputuskan dan diganti menjadi permusuhan. Sejuta cara kemudian dilakukan mereka untuk membungkam mulut Nabi. Tetapi alih-alih mau kompromi sejengkal, Nabi dengan tegar menolaknya. Keyakinan Monoteistik (Tauhid) itu tak pernah bisa digoyahkan oleh siapapun dan oleh apapun. Tak bisa ditawar dengan apapun. Nabi yang mulia menjalankan pesan Keesaan Tuhan itu dengan seluruh keyakinannya. Ini karena ia berarti bahwa manusia harus tunduk dan patuh pada Tuhan semata, tidak kepada yang lain. Ia berarti bahwa manusia harus dibebaskan dari belenggu-belenggu yang menindas dan praktik-praktik kebudayaan dan peradaban yang tiranik, yang ahumanistik. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan mempertahankan, menyebarkan dan memperjuangkan prinsip Tauhid tersebut meski harus dengan menyerahkan nyawanya.
Abu Thalib, pamannya yang tercinta dan yang amat mencintainya, diminta para pembesar Quraisy membujuknya dengan cara yang mungkin agar ia menghentikan seruan Tauhidnya itu. Kepada sang paman itu Nabi dengan tegas mengatakan, “O, paman, demi Tuhan, andaikata mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku untuk memaksaku agar meninggalkan tugas suci ini, sungguh, tidak akan aku tinggalkan sampai Tuhan memberiku kemenangan atau aku mati karenanya.” Ini kalimat yang amat dikenang berjuta muslim.
Pribadi Nabi yang lembut itu ternyata juga pribadi yang kokoh dan teguh dalam pendiriannya yang satu itu, seteguh karang berabad dilaut. Tuhan menyuruh Nabi untuk mengatakan kepada mereka dan tanpa ragu dan gentar, “Lâ a’bud-u mâ ta’budûn wa lâ antum ‘âbidûn-a mâ a’bud, lakum dînukum waliya dîn” (Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kamu juga tidak harus menyembah apa yang aku sembah. Keyakinan kamu adalah keyakinan kamu, dan keyakinanku adalah keyakinanku).
Meski gagal membujuk sang keponakan terkasih, Abu Thalib tetap saja melindungi dan mencintainya dengan seluruh ketulusan. Bahkan cintanya semakin mendalam. Mata para pemimpin Quraisy yang musyrik-pagan, itu semakin gelap. Mereka tak lagi bisa berpikir normal. Mereka kehilangan akal sehat. Pikiran mereka terus berambisi memburu dan menghabisi Muhammad yang telah dianggap meruntuhkan previlase dan harga diri mereka. Mereka merencanakan cara lain yang diharap akan mampu melumpuhkan Nabi. Muhammad, dan pengikutnya, menurut mereka, harus dibunuh pelan-pelan dan rame-rame, melalui aksi pembiaran lapar. Masyarakat diserukan untuk tidak berhubungan dengan Nabi dan para pengikut setianya berikut melakukan transaksi ekonomi. Seluruh kebutuhan hidup mereka diboikot. Berhari dan berbulan, Nabi dan para sahabatnya tak lagi menjumpai makanan sebagaimana hari-harinya kemarin. Tetapi mereka tetap setia dalam keyakinan Tauhid itu. Daun-daun yang ada di sekitar mereka tak pelak menjadi makanan mereka sehari-hari, karena itulah yang tersedia. Kulit pisang yang sudah jatuh di tanah dan kotor, dicuci lalu dimakan.
Bilal, budak belian berkulit hitam dari Ethiopia, tak goyah, meski terik matahari sahara yang bisa membuat kulit tubuh terkelupas terus menebar di sekujur tubuhnya, bahkan meski bersama dengan itu batu besar panas menindihnya. Bilal tetap setia kepada kepercayaan Tauhid itu, meski penderitaan terus menderanya berhari-hari, sampai Abu Bakar membebaskannya. Dan Bilal diminta Nabi menjadi orang pertama yang berdiri gagah di atas bukit Kubais, menyerukan Ke-esaan Tuhan dan Kemahabesaran-Nya. Nabi memilihnya lantaran kualitas suaranya yang merdu mendayu-dayu.
Mengapa mereka begitu luar biasa kokoh dalam keyakinan itu. Kalimat Tauhid, “Tidak ada tuhan selain Allah,” dan kumandang takbir Bilal, “Allah Akbar,” memang begitu singkat dan sederhana. Tetapi mereka amat mengerti bahwa ia menyimpan makna yang amat dahsyat dan mengguncang tradisi dunia kuno, bagai magma gunung berapi yang meledak dan melelehkan panas. Kalimat itu sejatinya merupakan statemen amat tegas dan sangat gamblang tentang basis bagi prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Allah Akbar bermakna; Hapuskan diskriminasi manusia atas nama apapun. Bebaskan manusia dari system politik despotic dan Aristokratik. Hentikan perampokan dan perampasan harta rakyat. Sudahi pembunuhan bayi-bayi perempuan dan perendahan atas mereka. Ajari rakyat tentang arti menjadi manusia, ciptaan Tuhan yang paling terhormat dan bermartabat.
Kalimat Tauhid itu jelas sekali merupakan deklarasi tentang keharusan penghapusan perbudakaan manusia atas manusia, penghentian monopoli kekayaan ekonomi dan sumberdaya alam, pembebasan manusia dari kekuasaan politik yang menindas, penghapusan kekerasan terhadap perempuan sekaligus memajukanya hingga menjadi setara. Dalam waktu yang sama ia juga merupakan deklarasi Islam tentang keharusan manusia membangun system social dan ekonomi yang adil, ditegakkannya dan hukum yang benar, jujur dan berkeadilan, pembentukan system politik yang demokratis, pembangunan relasi persaudaraan atas dasar kemanusiaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pencerdasan masyarakat serta melakukan kontestasi (perlombaan) dalam kebajikan dan kesalehan baik individu maupun sosial.
Tak pelak, tak lama sesudah deklarasi kemanusiaan universal itu didengungkan, dunia lama yang kelam tiba-tiba berubah menjadi dunia baru yang bercahaya. Dan cahaya itu berpendar laksana matahari: menyinari semesta, menghidupkan, mencerdaskan dan mengairahkan.
(Cirebon, 30-09-10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar