Minggu, 29 Agustus 2010

AL-MUNQIDH MIN AL-DHALAL: Melerai Perdebatan Filsafat dan Tasawuf


Mukti Ali el-Qum

AL-GHAZALI adalah salah seorang raksasa intelektual Islam Sunni. Di Indonesia, nama al-Ghazali masuk dalam daftar ulama klasik yang dianggap sebagai ikon sufi yang diperhitungkan. Kitab monumentalnya, Ihya ‘Ulumuddin, hampir dikaji di semua pesantren salaf-tradisional, dan bahkan menjadi “kitab suci” dalam literatur sufisme. Mayoritas umat Islam menaruh hormat dengan penuh takdzim dan khidmat terhadapnya dan banyak mengikuti doktrin-doktrin yang ada di dalam karyanya tersebut. Selain kitab Ihya, al-Ghazali juga pernah menulis dalam bidang yang sama, Minhaj al-‘Abidin. Kitab ini disambut hangat bagi para pegiat tasawuf di seluruh dunia. Bahkan, salah seorang putra terbaik bangsa Indonesia, Syekh Ihsan Muhammad Dahlan dari Jampes Kediri atau yang lebih dikenal dengan Syekh Ihsan Jampes memberikan komentar terhadap karya al-Ghazali tersebut, yang diberi tajuk Sirajut at-Thalibin, dengan jumlah dua jilid.

Bagi para pengagumnya, al-Ghazali seringkali diberi predikat sebagai maha guru atau bahkan disebut sebagai “bukan manusia biasa”, oleh karena kepiawaiannya dalam menyusun banyak karya intelektual. Tak heran jika di tengah kalangan pengagumnya bermunculan sikap yang cenderung mengkultuskannya, meski ia sendiri tidak begitu menyukai sikap “kultus individu” ini. Hal ini cukup beralasan karena dibalik layar karya-karya intelektualnya sesungguhnya ia memiliki epistemologi keilmuan yang merupakan fondasi bagi pemikiran religiusitasnya. Al-Ghazali dengan demikian tidak ubahnya sebagai salah seorang ulama yang juga berpredikat sebagai “manusia biasa”.

Selain karya al-Ghazali di atas, karya lainnya yang sangat memadai untuk disimak dalam bidang filsafat dan tasawuf adalah al-Munqidl min ad-Dzalal (Mengelak dari Ketersesatan). Meski karya ini ditulis dalam catatan hariannya, kitab ini dianggap bagi sebagian kalangan sebagai bentuk respon atas perkembangan filsafat kala itu.

Catatan hariannya tersebut berisi tentang “keresahan” seorang intelektual yang cukup kritis berkaitan dengan kondisi dirinya yang tengah bingung dalam pencarian epistemologi ilmu. Percaturan ide dan gagasan pada zamannya telah memaksanya berpikir ulang mengenai relasi agama dan filsafat. Bahkan kondisi zamannya inilah telah membuat al-Ghazali sendiri bersikap skeptis (syak) yang berlangsung lama, selama kurang lebih dua bulan lamanya. Ia menjadi seperti golongan Sopis (safsatha) yang menjaga jarak dari semua asumsi tentang kebenaran. Postulat-postulat dan doktrin agama dipertanyakan kembali validitas dan diujicoba daya tahan argumentasinya seberapa kuat pada saat dikritisi dan didekati dengan berbagai macam perspektif dan metodologi. Selama dua bulan itu ia membisu, tidak menulis dan memberikan ceramah agama. Ia bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan. Pada masa-masa itulah ia hendak mendenahkan antara keyakinan yang suci, bening dan orisinil hasil dari pencarian, penalaran dan penemuannya sendiri dan keyakinan warisan konstruksi para pendahulu baik guru dan kedua orang tua. Keduanya hendak dipisahkan dengan tegas.

Meski di tengah kegalauan intelektualnya yang cukup serius al-Ghazali masih terus berempati dengan teks-teks hadist Nabi dan kandungan kebenarannya. Salah satu hadist yang menjadi pegangan dan sekaligus membantu landasan epsitemologi keilmuannya adalah perkataan nabi Muhammad SAW, “kullu mauludin yuladu ‘ala alfitrah. Fa abawahu yahudanihi, wa yunshiranihi, wa yumajjisanihi” (setiap anak itu yang dilahirkan dalam keadaan suci. Maka kedua orang tua lah yang mempengaruhi menjadikan Yahudi, Nashradi, dan Majusi seorang anak). Bagi al-Ghazali, hadist ini memiliki dua makna yakni bahwa setiap insan memiliki keyakinan orisinil yang bersifat fitrah dan keyakinan aksidental (al-‘aridliyyah) yang mendapat pengaruh dari orang tua dan guru.

Bagi al-Ghazali, keyakinan aksidental merupakan hasil dari taklid kepada para pendahulu (guru dan orang tua), dan karenanya ia menyarankan untuk meninggalkannya. Di balik itu, ia berambisi untuk merancang bangun keyakinan yang orisinil dan fitrah. Sebab, menurutnya syarat bagi orang yang bertaklid adalah bahwa ia tidak tahu dirinya menjadi muqallid (orang yang taklid). Jika sudah mengetahui bahwa dirinya bertaklid, maka dengan sendirinya pecahlah kaca bertaklid yang mengkerangkengnya. Bagi al-Ghazali, proses mengetahui bahwa seseorang bertaklid ini dan lepas darinya tidaklah mudah. Selain ia membutuhkan proses yang panjang, juga melewati pergulatan keilmuan yang tidak jarang mengernyitkan dahi.

Masa skeptis al-Ghazali inilah bagi banyak kalangan disebut sebagai masa transisi di antara kesadaran yang muncul di dalam dirinya dan kebutuhan untuk meninggalkan bertaklid. Al-Ghazali yang dalam pengakuannya masih bertaklid, berambisi untuk melepas taklidnya dan berhijrah untuk berpikir secara orisinil dan independen.
Setelah sembuh dari skeptis dan kebingungannya dalam urusan taklid dan teologi, al-Ghazali berupaya menyuguhkan orisinilitas pemikirannya. Sebagai buah pemikirannya, ia melakukan pemetaan epistemologi, antara lain: (1) kelompok para teolog (mutakallim) sebagai ahli ar-ra’yi dan an-nadzlar; (2) kelompok sekte Syi’ah Bathiniyyah, yang menganggap bahwa kebenaran teks primer agama hanya berlaku pada makna bathin, dan mensakralkan imam; (3) kelompok filosuf, sebagai ahli mantiq (logika) dan burhan (demonstratif); dan (4) kelompok sufi, sebagai golongan yang mampu menyibak kebenaran dengan intuisi. Dari pemetaan epistemologi berdasarkan klasifikasi aliran teologis inilah, al-Ghazali selanjutnya menganalisis dan mengkritisi keempat aliran tersebut.

Pertama, kelompok mutakallimin. Bagi al-Ghazali, kelompok ini cenderung menguatkan argumentasi teologi untuk mencari kelemahan argumentasi lawannya. Sekte-sekte Islam tumbuh subur dan mengklaim paling benar sendiri (truth claim), menyatakan sebagai sekte yang paling selamat (firqah an-najiyyah), dan sekaligus menafikan sekte yang lain. Teori depensif dan apologetik teologi ini menurut al-Ghazali tidak menghasilkan ilmu hakiki, lantaran sifatnya yang hanya responsif dan reaksionis atas asumsi lawannya. Meski menurutnya ilmu kalam bagi sebagian golongan cukup memuaskan dan dapat menjadi obat yang dapat menyembuhkan penyakit skeptisnya, dalam kenyataannya bukanlah sebagai obat manjur yang dapat menyembuhkan dari sakitnya. Ia berdalih bahwa epistemologi yang dihasilkan bukanlah berasal dari ilmu yaqin.

Kedua, filsafat dan para filosuf. Dalam menyoal aliran ini, al-Ghazali mengklasifikasi filosuf ke dalam tiga golongan, yaitu (1) Ad-dahriyyun. Kelompok filosuf ini menganggap bahwa alam semesta itu wujud dengan sendirinya, tanpa ada pencipta yang mewujudkan. Mereka meyakini teori evolusi, seperti hewan berasal dari setes air mani, dan mani berasal dari hewan, dan seterusnya; (2) At-Thabi’iyyun.
Kelompok filosuf ini getol membahas tentang naturalisme, alam semesta, dan ketakjuban hewan serta tumbuh-tumbuhan. Dengan cara merenungi keindahan alam, mereka meyakini bahwa alam semesta ada penciptanya yang Maha Indah. Hanya saja, mereka tidak mengimani permasalahan eskatologis, seperti mengingkari adanya surga, neraka, kebangkitan kubur dan lain-lain. Sedangkan persoalan eskatologis merupakan hal-hal yang harus diyakini dalam agama (Islam); dan (3) Ilahiyyun. Kelompok filosuf ini getol membahas tentang ketuhanan. Tokoh-tokoh dalam aliran ini yaitu seperti Plato, Socrates dan Aristoteles. Pemikiran para filosuf Yunani itu dalam perkembangannya memberikan pengaruh terhadap golongan filosuf Islam, seperti Ibnu Sina, al-Farabi, dan lain-lain. Dari pemaparan peta ketiga aliran di atas, al-Ghazali tampaknya tidak memahami pemikiran filsafat Yunani dari akses langsung buku-buku Yunani sebagai referensi primer. Dalam mengetengahkan peta filsafat Yunani, al-Ghazali lebih banyak memanfaatkan literatur-literatur sekunder seperti buku-buku yang ditulis oleh Ibnu Sina, al-Farabi, dan lain-lainnya.

Dalam pandangan al-Ghazali, setidaknya terdapat tiga poin produk pemikiran para filosuf ilahiyyun yang dianggap menyesatkan dan kafir, yaitu (1) keyakinan mengenai tidak adanya siksa jasmani dan hanya ada siksa ruhani yang akan diterima kelak di akhirat. Sebab, doktrin agama menurut al-Ghazali menegaskan akan adanya kebangkitan jasad (khasyr), siksa dan nikmat akan diguyurkan kepada jasad dan jiwa manusia, bukan hanya jiwanya saja; (2) mereka meyakini bahwa Tuhan hanya mengetahui kullyat (universalitas), dan tidak mengetahui partikular-partikularnya (juziy). Ayat-ayat al-Quran dan hadits serta didukung dengan logika yang benar, kata al-Ghazali, mustahil jika pengetahuan Tuhan sepenggal-sepenggal. Tuhan Maha Mengetahui segala sesuatu; dan (3) mereka menyakini qadim dan azali alam semesta. Dengan lain ungkapan, mereka meyakini keabadian kosmos. Dalam menyoal agama dan logika, al-Ghazali menyatakan bahwa tidak masuk akal jika ada dua dzat yang sama-sama qadim, azali, dan abadi, yaitu Tuhan dan alam semesta. Sementara itu, dzat yang abadi dan qadim hanya Tuhan, Sang Pencipta. Tiga pemikiran inilah yang dianggap sebagai pemikiran yang kafir menurut al-Ghazali. Sedangkan pemikiran-pemikiran filsafat yang lainnya bebas, tidak masuk pada kategori kafir (takfir).

Pengkafiran (takfir) yang dituduhkan al-Ghazali kepada para filosuf tidak dalam konteks mengkafirkan secara membabi buta dan serampangan. Hanya terdapat tiga pemikiran saja yang menurutnya tidak tepat di mata agama. Sedangkan seluruh produk-produk pemikiran filsafat yang tak terbatas (unlimited) oleh al-Ghazali diberi keleluasaan dan kelonggaran. Pengkafiran dalam pandangan al-Ghazali juga harus dibaca dalam konteks sosio-historisnya, dimana pengkafiran merupakan fenomena yang terus menghiasi perjalanan peradaban Islam pada masa sebelum dan tepat pada masa al-Ghazali hidup. Bukan hanya al-Ghazali, namun hampir seluruh pemikir Islam dari berbagai kecenderungan dan sekte telah terjebak pada lingkaran setan yang bernama takfir (pengkafiran). Bahkan di setiap ada perbedaan pandangan dan pendapat seringkali berujung pada saling menuding kafir. Dalam konteks ini al-Ghazali nampaknya menangkap adanya gejala yang cukup janggal dan ketidakjelasan batasan takfir. Karena itu al-Ghazali membatasi dan meminimalisir wilayah takfir hanya pada tiga poin produk pemikiran tersebut.

Setelah menjelaskan filsafat ketuhanan, al-Ghazali menjelaskan filsafat non-ketuhanan, seperti ilmu eksakta, kedokteran, ilmu alam, politik, dan lain-lain. Menurutnya ilmu-ilmu tersebut sangat mendukung bagi kemajuan peradaban manusia. Hanya saja bukan sebagai tujuan, melainkan diposisikan sebagai pelantara untuk mengenal tanda-tanda kebesaran Tuhan. Meskipun ilmu-ilmu tersebut menurut al-Ghazali bukan ilmu-ilmu agama, namun bagi umat Islam harus mempelajari dan harus ada yang menguasai serta menjadi pakar. Sehingga kedudukan hukum mempelajarinya adalah fardlu kifayah.

Al-Ghazali selanjutnya menjelaskan tentang sekte Syi’ah Bathiniyah yang berkembang pada masa al-Ghazali hidup. Kita mengetahui bahwa di dalam internal sekte Syi’ah memiliki sejumlah sekte cabang yang cukup banyak, di antaranya: Syi’ah Zaidiyyah, Fathimiyyah, Imamiyyah, Bathiniyyah, dan lain-lain. Ketika menguraikan sekte syiah ini, al-Ghazali tidak mengkritik aliran ini secara keseluruhan. Melainkan hanya salah satunya saja, yaitu Bathiniyyah. Setidaknya ada dua poin pemikiran sekte Syi’ah Batiniyah yang dikritik al-Ghazali, yaitu mensakralkan atau mengkultuskan imam (ma’shum) dan menganggap tidak adanya kebenaran dalam makna tekstualitas teks primer agama (al-Quran dan al-Hadits) dan kebenaran yang sesungguhnya hanya terletak pada makna bathinnya. Dalam konteks ini, menyakini hanya dipahami sebagai sisi makna esoteris teks primer agama. Karenanya, mengingkari sisi eksoterisme teks bagaikan mata seseorang yang salah satu matanya buta. Berbeda dengan meyakini adanya kebenaran pada dua sisi makna tersebut dipahami bagaikan seorang yang kedua matanya benar-benar berfungsi.

Setelah menguraikan beberapa aliran filsafat di atas, sampailah pada penghujung petualangan intelektualnya. Al-Ghazali akhirnya mendapatkan epistemologi yang tepat dan cocok. Bahkan penyakit skeptis mutlak yang pernah dideritanya tersembuhkan. Ia telah mendapat penyegaran pemikiran kembali setelah melalui petualangan intelektualnya yang berjasa melalui pintu epistemologi yang jernih, yaitu tasawuf. Skeptis (syak) yang dirasakan al-Ghazali bukanlah keragu-raguan yang berlarut-larut, namun skeptisnya dalam upaya mencari kebenaran sejati. Secara teoritis, ada dua macam skeptisisme. Pertama, skeptisisme mutlak yaitu sikap skeptis terhadap segenap dogma-dogma kebenaran dan jargon-jargonnya, tidak meyakini adanya sebuah kebenaran. Berawal dari ragu, di tengah-tengah ragu, dan berakhir dengan ragu yang tanpa ujung. Skeptis macam inilah yang dialami oleh golongan Sopis dan al-Ghazali sendiri selama dua bulan lamanya—seperti yang disinggung di atas. Dan kedua, skeptisisme metodis syak manhaji), yaitu sikap skeptis yang bertujuan mencari kebenaran dan keyakinan dengan melalui berbagai proses pengalaman dan pergulatan pemikiran sang pelaku. Dengan kata lain, keyakinan akan muncul setelah sebelumnya melampaui proses keraguan. Dan apa yang diyakininya merupakan kebenaran. Dalam kasus al-Ghazali, ia tidaklah larut ke dalam skeptisisme yang tanpa makna, melainkan dari skeptis yang dialaminya telah memacu untuk terus mencari dan akhirnya menemukan kebenaran yang layak diyakini. Di samping itu, ia juga menemukan metode yang tepat untuk dijadikan sebagai perspektif dan mesin reproduksi pengetahuan yang benar.

Di akhir uraiannya, al-Ghazali memberikan advise yang bersifat epistemologik. Ia menyatakan bahwa puncak ilmu pengetahuan manusia adalah tasawuf. Petualangan dan pergulatan pemikiran yang matang menurutnya akan berlabuh pada tasawuf. Sebab tasawuf dapat melampaui dan menyempurnakan syariah, ilmu kalam, dan filsafat.
__________
Penulis adalah alumni Universitas al-Azhar al-Syarief Mesir, koordinator Kajian dan Penelitian Rumah Kitab, Bekasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar