Minggu, 29 Agustus 2010

Puasa dan Generasi Baru


Affandi Mochtar

PUASA merupakan ibadah yang senantiasa diperintahkan oleh Allah dari generasi ke generasi secara estafet dan kontinu. Tidak ada satu generasi manusia di muka bumi ini yang luput dari perintah berpuasa. Allah SWT berfirman, “Diwajibkan bagi kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, agar kalian bertaqwa.” Hal ini mengandung makna yang tersirat secara eksplitis maupun implisit bahwa puasa bagaikan sarana untuk menciptakan dan mewujudkan generasi baru dalam akselerasi peradaban. Puasa merupakan satu proses penggemblengan, penggodokan, pendadaran, dan pematangan yang nantinya diandaikan terjadinya transformasi dinamis ke arah yang lebih matang dari generasi lama ke generasi baru yang lebih baik.

Terciptanya generasi baru, sejatinya tidak baru sama sekali. Akan tetapi lanjutan dari generasi lama. Sebagaimana puasa, yang selalu hadir menyertai perjalanan peradaban manusia, doktrin yang tidak baru sama sekali, lantaran kehadirannya bagaikan ibu yang selalu mengandung dan akan terus melahirkan generasi-generasi tangguh dan matang.

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Syubbân al-yawm, rijâl al-ghad” (pemuda hari ini adalah pemimpin hari esok). Masa muda merupakan masa penentu bagi hitam-putih dan maju-mundurnya peradaban, lantaran investasi ide, gagasan dan mimpi besarnya akan dapat dipanen tepat pada masa dimana ia mendapatkan peran sebagi pemimpin di masa depan.

Korelasi generasi baru dan generasi lama tepat sekali digambarkan dalam satu ungkapan bijaksana, “Al-muhâfazhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih, wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah.” Bagi generasi baru ada dua tugas sekaligus, yaitu mempertahankan apa yang dicapai generasi lama yang konstruktif dan masih relevan, dan mengambil hal baru yang lebih konstruktif dan lebih relevan yang tidak atau belum dicapai oleh generasi lama. Sebab, generasi baru sejatinya adalah generasi yang berada di tengah-tengah himpitan antara realitas yang diciptakan generasi lama dan mimpi yang dicita-citakannya sendiri untuk diejawantahkan ke permukaan realita, yang keduanya (realita dan cita-cita) harus senantiasa diharmonisasikan.

Pemuda memang tidak bisa menentukan dan mengatur sepenuhnya hasil yang dicita-citakan: terlalu banyak kemungkinan dan konsekuensi yang tak diketahui di masa depan. Isaiah Berlin berkata, “We cannot legislate for the unknown consequences of consequences of consequences.” Selarik kata-kata ini rupanya benar dan realistis. Lantaran, rupa-rupanya, dalam kenyataan bahwa hidup seakan-akan selalu mengelak untuk kita pahami sepenuhnya. Hidup tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Al-Qur`an mengingatkan, “Mâ tadrîy nafs-un mâ dzâ taksib-u ghadâ” (Kamu tidak tahu apa yang akan kamu kerjakan esok). Memang, problem terbesar bagi pemuda adalah “masa depan yang belum jelas”, dan karena ketidak jelasannya itu mendorong pemuda untuk terus mengejarnya dengan melalui proses pembelajaran, pendidikan, pematangan pemikiran-mental-spiritual dan pergulatan panjang dengan realitas sembari mencari cara penyikapan dan penyelesaiannya agar menjadi jelas dan terang. Seperti dalam teori iluminasi dikatakan bahwa sejatinya tidak ada kegelapan, cahaya hakikatnya ada namun intensitas sinarnya saja yang berbeda. Siapapun yang terus mendekat pada pusat cahaya, maka ia akan semakin mendapatkan intensitas pendaran sinar yang lebih maksimal dibanding dengan seorang yang jauh dari pusat cahaya. Puasa merupakan perlambang bagi satu usaha keras yang payah dan terasa berat, dalam upaya mendaki tangga-tangga mendekati pusat cahaya. Dalam arti, meski gamang dan masa depan belum jelas, tapi secercah cahaya harapan akan tetap selalu ada bagi pemuda yang tidak mengenal lelah terus berjuang menghampiri dan meraihnya.

Proses pergantian generasi (re-generasi) pun bagaikan proses evolusi Kepompong: dari ulat menjadi kempompong dan berubah menjadi kupu-kupu. Apa yang telah dicapai oleh generasi lama, yang bersifat konstruktif, mestinya harus difahami, dipertahankan dan dapat dilalui secara maksimal oleh para pemuda sebagai pemimpin masa depan. Dalam level ini generasi baru dan lama sama-sama menjadi kepompong, tidak ada lonjakan kemajuan yang cukup berarti. Dan setelah menyelesaikan apa yang telah dicapai generasi lama itu, kemudian menganalisa dan mengevaluasi apa kekurangan dan kelebihannya, pada titik inilah sebagai titik penentu terciptanya generasi baru. Jika mereka dapat menyadari betul (dan harus) mampu melampaui generasi lama, dengan visi dan misi yang matang dan mampu menjangkau seluruh aspek niscaya mereka layak disebut sebagai “generasi emas” yang bagaikan kupu-kupu yang bisa terbang dengan sayap-sayapnya membumbung tinggi melintasi cakrawala peradaban, dan dengan sayapnya ia dapat membawa cita-citanya terbang tinggi setinggi kemauan dan keinginanya untuk kemajuan dan kemaslahatan. Karena itu, sudah barang tentu ada proses yang komprehensif, tidak sepenggal-sepenggal dan setengah-setengah. Puasa, dalam konteks ini, hendak membekali visi dan misi ke depan dalam satu kata kunci “takwa”. Takwa memberikan dua sayap, yaitu sayap cinta dan cita-cita, sayap harapan dan kewaspadaan, sayap khauf dan raja’ yang akan membawa seseorang pada puncak kesadaran paripurna.

Ketakwaan, dengan berpuasa, meniscayakan adanya upaya pemuda sebagai generasi baru untuk menghindar dari sifat-sifat destruktif, puasa dari perbuatan kotor, nista, dehumanis, dan keji. Puasa juga mengandaikan pemuda untuk melatih diri agar tidak tergoda dari iming-iming duniawi-materi yang kenikmatannya sesaat pada akhirnya akan menuai penyesalan yang berlarut-larut. Pepatah Cirebon telah mengingatkan bahwa “enake saklenteng, getune saendeng-endeng” (enaknya sekecil biji kapuk/klenteng, tapi seumur hidup penyesalannya). Karena itu, pemuda harus tertanam sifat sabar. Kesabaran sebagai buah dari hikmah berpuasa merupakan kunci yang harus ada di genggaman tangan pemuda agar dapat membuka gedung kesuksesan yang abadi. Lantaran tanpa ada kesabaran, ia hanya mendapatkan “kesuksesan semu” dan temporal.
Spirit puasa hendak mensinergikan antara kedua kecenderungan yang bergelut hampir di segenap pemuda, yaitu kecenderungan idealisme dan pragmatisme. Tarik-ulur dan benturan keduanya (idealisme dan pragmatisme) niscaya terjadi, dan akan terus menyeret pemuda, generasi baru, pada posisi yang mau-tidak-mau harus memilih. Dan akhirnya sadar bahwa hidup adalah soal pilihan. Sebab pilihan adalah jalan hidup seseorang yang dapat menentukan alur cerita dan cita-cita besarnya pun akan hanyut terbawa arus jalan yang dipilihannya itu. Puasa hendak mempertahankan agar idealisme tetap terjaga, dan tidak tergoda oleh pragmatisme sesaat.

Adalah sebuah keniscayaan seorang pemuda, sebagai generasi baru, ditumbuhkan kesadaran akan tanggungjawab akan cerah atau muram-durja masa depan sendiri dan masa depan peradabannya sekaligus, ia akan mampu memperjuangkan dan membumikan idealisme ke ranah riil, secara gradual, bertahap dan kontinu, idealismenya tidak hanya ada di menara gading, mengawang-awang. Justru, generasari baru yang penuh dengan vitamin wacana dan setamina wawasan akan dapat memberikan kontribusi ide-ide segar sebagai terobosan yang mencerahkan bagi peradaban manusia dan bangsanya secara khusus. Dan yang memprihatinkan jika generasi baru hanya bersandar pada pola pragmatisme politik praktis tanpa konsep idealisme. Karena itu, sejatinya puasa ingin mengawal idealisme yang berorientasi kemajuan jangka panjang dengan melalui pelatihan diri agar dapat menahan dari iming-iming duniawi yang kenikmatannya sesaat.
________
Penulis adalah Sekertaris Dirjen Pendis Kemenag RI dan Wakil Sekretaris Tanfidhiyah PBNU. Tulisan ini telah dimuat di Koran Sindo, edisi Sabtu 28 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar