Rabu, 11 Agustus 2010

Menyambut Ramadhan



Oleh Ali Mursyid

Jika hari-hari ini akan Anda menyempatkan diri berjalan-jalan di beberapa pusat perbelanjaan, maka akan banyak menemukan seperangkat baju takwa, baju koko atau disebut juga baju muslim, yakni baju dengan potongan kerah dan lengan yang ‘khas’, dilengkapi dengan sarung, kopyah plus tasbih yang diperuntukkan bagi pria. Sementara untuk wanitanya tersedia baju gamis, kebaya panjang, dilengkapi dengan kain kerudung atau jilbab dengan berbagai ukuran dan modelnya. Sepertinya sudah mentradisi jika menjelang bulan Ramadhan, baju-baju model demikian stoknya bertambah di pasaran. Ini karena memang permintaan konsumen bertambah.

Menghadapi bulan Ramadhan, orang berduyun-duyun memborong berbagai keperluan, terutama yang berkaitan dengan perlengkapan peribadatan, persiapan buka dan sahur dan yang semacamnya. Mereka rela merogo kantong menguras kocek untuk mendapatkan baju takwa kopyah, jilbab, mukenah dan sajadah baru. Meski harga baju takwa, apa lagi yang ekslusif dengan berbagai pernik-pernik, tidaklah murah. Namun bagi mereka ini tidak jadi masalah. Ini semua demi kekhusuan ibadah di bulan Ramadhan. Ini semua demi menyambut Ramadhan yang penuh berkah.

Tetapi ironisnya, mereka seolah tidak terganggu dengan pemandangan mengenaskan di jalan-jalan. Masih banyak anak jalanan terlantar, yang mengamen di bis-bis kota hingga larut malam, tukang ojeg yang rebutan penumpang, gelandangan dan para tuna wisma yang tinggal di kolong-kolong tol, mereka yang tinggal di kawasan kumuh dan tak layak jadi tempat tingal.

Kalau kita tanya apa agama mereka? Maka hampir dipastikan, Islam jawabnya. Lalu adakah mereka siap menyambut Ramadhan. Baju takwa, sarung dan kopyah baru macam apa yang akan mereka kenakan untuk taraweh berjama’ah. Mukenah, gamis, jilbab seharga berapakah yang dikenakan perempuan-perempuan dari kalangan kurang beruntung ini. Menu atau buah-buahan macam mana yang mereka suguhkan untuk acara berbuka dan sahur keluarga. Dari hal ini, adakah rasa keprihatinan di hati kita, yang mampu memborong segala perlengkapan untuk bulan Ramadhan walau dengan harga yang tidak murah?

Padahal kita tahu, ibadah puasa bukan hanya untuk orang yang berharta saja. Lebih-lebih bila mengingat saudara-saudara kita di beberapa daerah yang pernah kena bencana, yang menjadi korban meledaknya gas, dan berbagai kemalangan lainnya. Bagaimana persiapan mereka menyambut Ramadhan?

Bercermin Pada Si Miskin

Ramadhan merupakan bulan istimesa bagi umat Islam, kedatangannya selalu dinantikan oleh mereka yang beriman. Di bulan ini, Allah menurunkan al-Qur’an dan Lailatul Qadar, malam bernilai seribu bulan. Siapa yang beribadah kepada Allah dengan , ikhlas dan sungguh-sunguh, pahalanya akan dilipatkan beribu kali. Bahkan untuk ibadah puasa, Allah sendiri yang akan membalas dengan pahala yang tiada terkira. Dikatakan dalam satu hadits bahwa tidurnya orang yang berpuasa itu bernilai ibadah. Di mata Allah bau mulut orang yang berpuasa adalah harum bagai perfume misik, demikian dalam hadis lain. Karena itu, tidaklah heran, jika kemudian umat Islam menyiapkan diri secara khusus untuk menyongsong kedatangan Ramadhan al-Mubarak ini.

Namun disayangkan kalau persiapan itu hanya persiapan fisik, tanpa diberangi persiapan mental keruhanian. Bukankah ibadah puasa mengajarkan kita untuk dapat merasakan penderitaan dan keprihatinan orang lain? Dengan tidak makan dan minum di siang hari, bukankah kita sedang merasakan mereka yang lapar? Dengan tarawih, tadarus dan bangun malam di bulan Ramadhan, bukankah kita sedang belajar merasakan penderitaan mereka yang hingga malam terpaksa terus mencari nafkah, seperti orang-orang pinggiran yang digambarkan di atas? Persiapan mental keruhanian itu penting, agar puasa kita tidak hanya bernilai lapar dan dahaga. Nabi Muhammad saw mensinyalir hal ini dengan bersabda, “Banyak orang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa, keculai lapar dan dahaga”.

Bukankah ibadah puasa yang dapat menyebabkan terhapusnya dosa-dosa itu adalah yang didasari atas keimanan dan kesunguhan mengharap ridha Allah swt. Lalu bagaimana ini dapat kita lakukan, sementara kita-kita membeli barang-barang mewah, walau itu untuk persiapan puasa, tanpa memperdulikan perasaan mereka yang lapar. Bagaimana kita dapat berpuasa atas dasar keimanan, kalau orang lapar, orang susah, anak yatim yang menderita di sekeliling kita, tidak mengganggu perasaan kemanusiaan kita sedikitpun.
Sedangkan Nabi Muhammad saw bersabda: “Seseorang tidak dapat disebut beriman jika masih ada tetangga yang masih lapar”. Jadi jangan-jangan persiapan menyongsong puasa yang kita lakukan justru merusak nilai ibadah puasa yang kita harapkan.

Untuk itu, mari bercermin pada orang-orang miskin yang memang sudah kenyang dengan penderitaan. Kita berpuasa, belajar memahami penderitaan mereka. Mereka inilah guru kita dalam menggapai ridhah Allah swt. Menyia-nyiakan, menelentarkan atau menganggap mereka hanya sebagai tempat beramal adalah tindakan dan anggapan yang keliru. Menjadikan mereka guru dalam menjalani penderitaan, bukan hanya memahami dan tidak menyakiti perasaan mereka, tetapi juga memberdayakan mereka secara bersama-sama kea rah kehidupan yang lebih baik. Pahala ibadah puasa memang hanya Allah yang dapat membalasnya, tetapi Allah dan Rasul-Nya selalu bersama mereka yang lapar dan miskin.
________
*Penulis adalah aktifis Rumah Kitab yang kebetulan bekerja sebagai dosen UIN Syarif Hidayatullah dpk di IIQ Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar